Fiat Voluntas Tua

Peranan Pastor Kepala (2)

| 0 comments

Sumber : Seri Pastoral 404 :Pastor Sebagai Fasilitator (T. Sweetwer & C.W. Holden) Terbitan dari Pusat Pastoral Yogyakarta 2007

Menghadapi berbagai problema yang umum dihadapi para pastor paroki, layaknya manusia maka para pastor merespon dalam berbagai gaya yang berbeda, namun ada lima gaya yang dapat diidentifikasikan:

  1. GAYA PASTOR SEBAGAI PENYURUH Gaya ini paling banyak digunakan di banyak tempat, tandanya sering orang berkata ” Beritahu saja apayang kami mesti lakukan Pastor, dan kami akan melaksanakannya”. Memang hal ini akan membuat orang bergerak tetapi juga sekaligus mencabut rasa kepemilikan paroki dari mereka. Ini cara paling efisien – tugas terselesaikan. Tapi semua orang tahu bahwa pastorlah yang menjalankan paroki. Gaya ini cocok dilakukan ketika pastor baru tiba dan paroki dalam keadaan kacao dan kebingungan. Diperlukan ketegasan menghadapi ketidakteraturan. Tapi ada juga bahayanya bila dijalankan dalam waktu lama. Secara tidak sadar maka pastor bergaya ‘penyuruh’ biasa melakukannya dan merasa betul dan sah-sah saja; akhirnya ia akan dikelilingi oleh orang-orang yang mau mengiakan pendekatan ini. Akibatnya keberbagian kepemimpinan dan kepemilikan bersama dari paroki harus menanti sampai ada pergantian pastor.
  2. GAYA PASTOR SEBAGAI PENJUAL Gaya penggembalaan ini membuat pastor mengkondisikan lingkungan dan sikap orang-orang sehingga bersatu dengan cara berpikirnya. Pastor sebagai penjual. Saat orang-orang merasa sejalan dan sepaham dengannya,ia akan menjualnya kepada dewan sehingga mereka menyangka itu adalah gagasan mereka dari awal mula. Pendekatan ini bisa berjalan sementara waktu, tapi umat bisa mempelajarinya dan merasa ‘dimanfaatkan’ sehingga memberikan resistensi pasif. Hal ini bisa nampak saat dibutuhkan relawan atau diminta usulan, tidak ada yang hadir. Karena gayanya pastor tidak langsung, maka resistensinya pun tidak langsung. Apa yang tertinggal dalah kevakuman kepemimpinan dan tidak ada yang dihasilkan.
  3. GAYA PENDEKATAN PERCOBAAN ATAU EVALUATIF DALAM PENGGEMBALAAN Pastor tetap memegang keputusan terakhir hanya sesudah ia meneliti idenya bersama mereka yang akan terkena keputusannya. Ia memimpin rapat dan mempunyai otoritas akhir namun staf atau para anggota dewan merasa pastor menyimak dan bertindak menurut pandangan dan pendapat mereka. Umat paroki memahami bahwa pastor lah yang memimpin, tapi mereka juga tahu bahwa pastor terbuka kepada reaksi dan kritikan sehingga keputusan penting baru dibuat setlelah berkonsultasi dengan mereka. Pendekatan ini lebih sukses untuk jangka panjang dari pada dua gaya di atas: Penyuruh dan Penjual. Memang tidak bisa memuaskan setiap orang, terutama para pemuka umat yang ingin berbagi tanggungjawab, namun ini lebih mendekati model kolegial dari Gereja pasca Vatikan II serta perkembanganbudaya demokratis
  4. GAYA PASTOR YANG PARTISIPATIF Gaya ini adalah gaya penggembalaan ideal tapi juga tidak mudah dicapai. Konfigurasinya lingkaran bukan top down. Keputusan dicapai melalui konsensus daripada melalui pemungutan suara atau pendapat mayoritas. Ini pendekatan ideal, karena tiap orang memiliki peran dalam suatu tugas dan mampu melaksanakannya dalam kesatuan. Tetapi membutuhkan waktu lama dan ketrampilan serta kesabaran sementara menunggu orang-orang memahamidan mempraktekan pendekatan baru. Peran pastor membantu proses pengumpulan informasi, membagikan ketiap orang yang terlibat, memastikan mereka memahami dan mengambil peran dalam tanggungjawab bersama. Dengan gaya ini terbentuklah kepemilikan bersama atas paroki.
  5. GAYA PASTOR YANG MEMBIARKAN (LAISSEZ-FAIRE) Ada juga pastor yang karena keinginanmereka untukberbagi kepemimpinan dalam paroki justru melepaskan semua tuntutan ke’pastor’annya. Disebut juga gaya ‘kerumunan’ saat pastor melepaskan peran sebagai gembala maka paroki menjadi suatu kegiatan yang berjalan sendiri. Dengan harapan mereka akan berjalan sendiri. Kalau ini dijalankan keseluruh unit dalam paroki, bisa timbul kebingungan karena tanpa arahan dan aturan. Dalam keadaan demikian orang akan menerima pendekatan otoriter dengan kelegaan, dari pada dibiarkan. Ada kalanya perlu juga sekali-kali gaya ini digunakan bila memang ingin diberikan suatu ‘pelajaran’ dalam berorganisasi.

Gaya penggembalaan konsultatif-partisipatif paling sesuai dengan konteks situasi parokial berikut ini:

  1. Paroki urban yang besar dimana sebagian besar terdiri dari umat katolik berusia lanjut. Disini dituntut pengetahuan akan apa yang akan terjadi termasuk polapertumbuhan dan kemunduran serta pergeseran etnis. Ketikaarah masa depan sudah dipahami,pastor mempersiapkan umatberusia lanjut untukmenghadapi perubahan dan mempersiapkan peluang-peluang baru bagi kelompok yang akan masuk ke daerah itu. Pastor bisa mengumpulkan mereka yang punya ketrampilan mendengarkan dan mendampingi para lansia. Dengan cara ini umat paroki mulai melihatperubahan sebagai peluang pertumbuhan dibandingkan sebagai pertanda kematian dan kemunduran.
  2. Paroki sub-urban dengan populasi umat muda. Disini dibutuhkan perangkat ketrampilan kepemimpinan yang kuat tapi tidakotoriter. Umat rata-rata memiliki pendidikan memadai, kelas pekerja yang bertanggungjawab. Tapi juga pada saat yang sama bergulat memenuhi kebutuhan merekayang sedang membangun rumah tangga, sehingga hanya sedikit sisa waktu yang ada untuk terlibat di paroki. Penggembalaan disini membutuhkan fokus pada energi dan sumber daya serta memanfaatkan talenta secara efektif tanpa membuat mereka kelelahan. Karenanya pastor sebaiknya tidak memberi tugas terlalu banyak pada satu orang, membantu memilih skala prioritas dan usahakan rapat seefisien mungkin.
  3. Paroki sub-urban yang umatnya lebih tua, mapan dan lebih kaya.Dalam hal ini umat sudah memiliki rumah dan bisnis mapan serta rutinitas sehingga ada godaan bahwa paroki adalah simbol status. Pastor dianggap sebagai bapa yangbaik yang dihormati selama dia menyesuaikan diri dan tidak menantang atau mempersoalkan pandangan dunia umatnya. Disini dibutuhkan ketrampilan pastor untuk menjadi panutan, membiarkan umat melihat kehidupan pastor,staff dan pemuka umat. Menunjukkan bagaimana Kitab Suci dihayati dalam hidup sehari-hari, bagaimana hidup sederhana yang tidak menekankan pada kebendaan membawa sukacita dan kebahagiaan; dan bagaimana komitmen untuk saling memperhatikan adalah sangat penting.
  4. Paroki dikota kecil atau pedesaan. Paroki jenis ini paling telak merasakan kekurangan tenaga imam, sehingga dibutuhkan keahlian khusus untuk memperlengkapi awam untuk mampu melakukan tugas penggembalaan. Mereka dilatih dan diberikan sarana sehingga dapat mengambil keputusan sensiri tanpa kehadiran imam. Dengan kata lain, penggembalaan paling baik diparoki pedesaan ialah pastor yang semakin lama semakin kurang diperlukan dan tak tergantikan.

Leave a Reply

Required fields are marked *.