Fiat Voluntas Tua

Peranan Pastor Kepala (1)

| 0 comments

Sumber : Seri Pastoral 404 :Pastor Sebagai Fasilitator (T. Sweetwer & C.W. Holden) Terbitan dari Pusat Pastoral Yogyakarta 2007

Membahas vitalisasi paroki tidak terlepas dari peranan pastor kepala. Dalam komunitas jemaat katolik, umat relatif tidak berubah dan bergerak dari teritorialnya , tetapi peran pastor kepala sebagai gembala didalam paroki menjadi penting dalam periode penggembalaannya di teritorial tersebut. Ada kesan pada umat pada umumnya setiap ganti pastor kepala, nada liturgi berubah, prioritas paroki bergeser, titik berat dan arah baru pun muncul. Mereka yang sepemahaman dengan nilai dan gaya si pastor kepala yang baru akan menawarkan bantuan dan dukungan; sedangkan yang tidak sepaham akan mundur, mencari rancangan baru. Kalau tidak ya tunggu sampai ada pastor baru, malah kalau bisa pastor ini dipindahkan juga. Herannya kejadian ini tidak ada untuk pergantian pastor pembantu, staf atau pemimpin awam. Maka ubahlah pastor paroki kemudian paroki akan berubah pula walau derajatnya tidak sama.

Oleh karenanya kita sebagai awam terutama para aktivis paroki, perlu juga memahami problema umum yang dihadapi setiap pastor kepala. Memang cukup banyak pastor kepala yang menikmati sukacita kepemimpinan dengan adanya iklim cinta kasih dan perhatian dalam komunitas paroki. Kerjasama staff, dewan dan pemuka paroki sangat membantunya. Tapi ada juga pastor kepala yang merasakan tuntutan kepadanya terlalu besar dan tidak sebanding dengan sedikitnya persiapan dan dukungan dalam menjalankan tugasnya. Tuntutan itu datang dari staff disekelilingnya, pengurus Dewan Paroki, umat, Keuskupan bahkan rekan sesama imam.

 

Umumnya Pastor Kepala diharapkan para staff yang ada disekelilingnya sebagai rekan kerja dan berperan dalam pengembangan staffnya. Pastor Kepala bisa diharapkan saling berbagi kekuasaan dan tanggung jawab. Sementara disisi lain pastor yang mengalah pada tuntutan staf seperti mengingkari tugasnya sebagai orang yang “pegang kemudi”. Bilamana pastor kepala kurang memiliki ketrampilan dalam membagi tanggungjawab, bagaimana mencapai konsensus, mendengarkan, mengelola konflik, memberikan umpan balik dan evaluasi kinerja; sementara staff lain mempunyainya, maka bisa jadi pastor merasa dirinya kurang mendapat tempat dan terancam.

Lingkaran berikutnya adalah umat paroki yang berada dalam posisi kepemimpinan: Dewan Paroki (DP) yang diharapkan sebagai tim yang membantunya bisa menjadi beban terberat. Rapat dewan berkepanjangan, membicarakan hal sepele, bagan organisasi yang lepas dengan peran tidak jelas, serta delegasi tugas dan tanggung jawab tak setara; Semua ini cukup membuat tensi pastor bisa naik. Pastor kepala tidak banyak pilihan lain, tapi begitulah paroki sebagai suatu gerakan yang demikian kompleks. Sehingga akhirnya terserah kepada pastor untuk menjalankannya dengan lancar.

Disamping itu, masih ada umat yang memandang pastor sebagai pemimpin yang harus selalu hadir pada setiap pertemuan, setiap acara liturgi, setiap perayaan paroki, saat kritis dari kelahiran sampai kematian. Ada banyak Misa keluarga yang diminta dengan berbagai ujub, padahal jumlah pastor sangat sedikit. Orang bisa menjadi marah bila sekretariat bahkan answering machine berada diantara mereka dan pastornya.

 

 

Selain dari orang-orang yang ada disekeliling pastor, problema lain nya adalah mengenai sarana paroki yang akhirnya harus menjadi tanggungjawab pastor. Uang kolekte yang tidak seberapa harus dibagi untuk berbagai hal termasuk maintenance sarana paroki. Ruang rapat yang bocor, listrik yang byar pet, mau pake AC atau pakai genset? Belum lagi masalah sampah bunga dekorasi dan box makanan yang menggunung disetiap akhir Misa Pernikahan. Saluran air mampet dan kaca jendela pecah pun ada di kepala pastor.

Lalu kemana pastor meminta bantuan? Keuskupan? Hehe… tunggu dulu, untuk tahun ini tidak ada penambahan pastor pembantu. Kalaupun ada pasti di prioritaskan ke paroki lain. Kelihatannya lebih banyak tugas yang didapat daripada bantuan. Permintaan untuk serangkaian kolekte khusus, laporan-laporan yang terus menerus diminta. Program-program dari berbagai komisi di Keuskupan, ditambah lagi rapat-rapat yang harus dihadiri di Keuskupan dan di Dekenat. Belum lagi tugas administratif kasus perkawinan yang menuntut zero defect. Semua ini mempengaruhi raport pastor paroki setiap tahunnya.

 

Di atas itu semua masih ada hal sepele tapi juga menentukan dalam dinamika paroki yaitu relasi dalam komunitas, antara pastor kepala dan pastor pembantu; hal ini bisa menambah kompleksitas problema yang dihadapi pastor kepala. Bahkan bila tidak disikapi bijaksana dapat memecah belah umat. Bisa dibayangkan kalau yang satu curhat ke umat, maka umat pun bisa bingung. Sama bingungnya kalau suami-istri berbeda pendapat dan mereka curhat ke anak-anaknya. Siapa membela siapa?

Bisa dibayangkan betapa pusingnya Keuskupan kalau setiap paroki memiliki konflik dengan pastor barunya, mereka minta diganti dan dipindahkan. Lha mau sampai kapan? Pastor juga manusia. Suami istri pun sebelum merasa cocok perlu waktu untuk saling berkenalan. Demikian juga umat dengan pastornya. Disisi lain ketrampilan menghadapi hal di atas sangat minim dipelajari para pastor yang umumnya di didik sebagai theolog. Maka masa pendidikan novis, Tahun Orientasi Pastoral atau apapun namanya dijadikan masa ‘pendidikan’ hidup berparoki bagi para calom imam.

Pada saat kami berdiskusi antar peserta, membandingkan pengalaman di beberapa paroki,maka ada beberapa cara yang dapat digunakan. Antara lain perlunya pembagian tugas yang jelas antara staff, pastor dan para anggota Dewan Paroki. Pastor hanya mengambil keputusan di bidang yang menyangkut iman seperti sakramen dan kebijakan yang menyangkut pertanggung jawabannya ke Keuskupan seperti hal keuangan. Staf sekretariat menangani administrasi gereja termasuk menjelaskan tata cara persiapan pernikahan, juga menerima warga baru dan menjelaskan prosedur pendaftaran umat sampai menolak secara halus tamu yang ‘tak dikenal’. Mereka adalah ujung tombak paroki, sehingga perlu dibekali ketrampilan sebagai “Customer Relation Officer”. Dewan Paroki khususnya Rumah Tangga menentukan kebijakan pemakaian ruang. Bila jumlah karyawan cukup banyak,bisa dibentuk bidang khusus mengatur kepegawaian,khususnya di KAJ yang mengharapkan diikutinya peraturan Depnaker dan penerapan upah minimum. Tugas ini tidak ada hubungannya dengan pastoral dan penggembalaan,sehingga bisa dikelola oleh umat yang memiliki kemampuan dibidang HRD atau personalia. Pusing juga kalau pastor masih juga harus memeriksa jatah cuti, pinjaman karyawan, rekrutment, surat2 pengangkatan pegawai dsb.

Dalam sharing timbul juga pengalaman para pastor kepala mengelola sarana paroki. Gara-gara fasilitas gereja bisa timbul kesan bahwa pastor pasang harga untuk pernikahan. Lho kok bisa? Perlu dipahami kembali latar belakang kebijakan tiap paroki. Ada yang membedakan pelayanan kepada umat resmi yang terdaftar sebagai anggota paroki tsb dengan umat tamu. Untuk memprioritaskan umat dari paroki sendiri, bisa saja dipasang tarif lebih tinggi untuk pengganti biaya penggunaan AC diluar jadual biasa. Sementara untuk warga sendiri, dibebaskan dari segala biaya. Kalau tidak dibedakan, bisa-bisa umat sendiri tidak pernah mendapat kesempatan menggunakan sarana paroki.

Contoh lain dalam hal sarana paroki: Kebersihan RT gereja. Untuk mengurangi sampah, semua dekorasi bunga harus diangkut panitya sejam setelah Misa Pernikahan selesai dan tidak ada box berserakan setelah Misa. Paroki kami lumayan hemat dalam hal dekorasi, karena saat merancang bangunan dipilih konsep arsitektur minimalis mengingat sempitnya lahan yang ada. Dengan mengekspos dinding batu sebagai elemen in/exterior maka tidak ada anggaran tahunan untuk mengecat dinding gereja. Untuk dekorasi altar pun disarankan menggunakan bunga/tanaman dalam pot daripada bunga potong. Hal-hal diatas dapat diputuskan pengurus/awam tanpa pertimbangan pastor kepala; pastor mana sih yang tidak cinta lingkungan, pastor pun tidak mau menghamburkan uang. Tugas DP selanjutnya membantu sosialisasi kebijakan2 tersebut ke umat lewat lingkungan2, bukan pastornya, sehingga umat bisa memahami bahwa keputusan tersebut bukan sebagai ‘komando’ pastor.

Untuk membuat tim yang solid antara DP dan pastornya, pada saat menjelang pergantian DP bisa dibentuk tim khusus (ad hoc) yang berfungsi serupa KPU, mencari calon-calon wakil umat, melakukan cek dan ricek, menanyakan kesediaannya sambil mempertimbangkan kemampuannya juga. Apakah nantinya akan mengadakan pemilu terbatas atau semacam fit n proper test tentunya perlu dibahas bersama PGDP. Sehingga kesan one man show bisa diminimalkan. Pastor pun tidak terlibat pada kesan like and dislike.

Pada akhirnya pastor perlu rekan kerja yang bisa memahami segala tuntutan yang diminta dari padanya, tapi juga bisa memahami setiap keputusan yang diambilnya. Pastor memerlukan teman rekan kerja yang juga bisa melakukan sosialisasi keliling atas nama DP. Kasihan pastor kalau semua kebijakan DP hanya dia sendiri yang woro woro, kecuali kalau mau one man show. Para pengurus PGDP perlu membantu dan berpartisipasi serta berbagi peran dengan pastor kepala seperti sebuah tim sepak bola yang kompak dengan pastor kepala sebagai kapten kesebelasan. After all, pastor kepala lah yang mendapat mandat dari Uskup.

 

Leave a Reply

Required fields are marked *.