Ada banyak umat non-Katolik yang sering mempertanyakan mengapa umat Katolik merayakan Ekaristi. Mereka sering mempertanyakan dasar Kitab Suci untuk pengajaran Ekaristi. Sebaliknya, ada juga sebagian umat Katolik yang juga ‘merasa’ bahwa perayaan Ekaristi kurang menyentuh perasaan mereka, sehingga terasa membosankan. Namun, di tengah-tengah situasi ini, mengapa sebagai umat Katolik kita harus tetap menempatkan Ekaristi sebagai bentuk penyembahan yang tertinggi? Jawabannya sederhana: Karena itu adalah perintah Kristus, yang menginginkan untuk dikenang dan disembah dengan cara Ekaristi.
Rasul Yohanes menulis bahwa bukti kita mengasihi Allah adalah jika kita menjalankan semua perintah-Nya (lih. 1 Yoh 5:3). Perintah yang mana? Semua perintah yang telah diberikan oleh Kristus, termasuk perintah untuk makan tubuh-Nya dan minum darah-Nya. Walaupun semua perintah Kristus adalah penting, perintah untuk merayakan Ekaristi – makan tubuh-Nya dan minum darah-Nya – adalah sungguh teramat penting, karena menyangkut keselamatan kita. Kristus dalam Injil Yohanes mengatakan, “Barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia mempunyai hidup yang kekal dan Aku akan membangkitkan dia pada akhir zaman” (Yoh 6:54). Peristiwa penting ini telah digambarkan secara samar-samar dalam peristiwa penggandaan roti (lih. Mat 14:13-21; Mrk 6:30-44; Luk 9:10-17; Yoh 6:1-13). Dalam peristiwa ini, Yesus menunjukkan bahwa Dia dapat melakukan mukjizat dan memberikan makanan yang berlimpah kepada semua orang yang hadir.
Namun, Kristus datang ke dunia bukan hanya sekedar untuk memberikan makanan fisik; dan bukan hanya untuk melakukan mukjizat. Ketika orang-orang Yahudi melihat bahwa Kristus dapat menggandakan roti dan kemudian ingin menjadikan-Nya sebagai raja, Kristus menolak dan menyingkir ke gunung seorang diri (lih. Yoh 6:15). Dan ketika Ia bertemu dengan orang-orang Yahudi setelah pergandaan roti, Kristus menegaskan bahwa mereka harus bekerja bukan untuk mendapatkan makanan yang dapat binasa, namun untuk makanan yang bertahan sampai hidup yang kekal (lih. Yoh 6:27).
Makanan yang bertahan sampai pada hidup yang kekal ini adalah Yesus sendiri, sebab Dia adalah Roti Hidup yang turun dari Sorga (lih. Yoh 6:51). Barang siapa yang datang kepada-Nya tidak akan lapar lagi (lih. Yoh 6:35), yang makan roti hidup tidak akan mati (lih. Yoh 6:50-51). Yesus menegaskan bahwa roti ini adalah daging-Nya sendiri (lih. Yoh 6:51) yang memberi hidup kepada dunia. Sebab barangsiapa yang tidak makan daging-Nya dan minum darah-Nya, ia tidak mempunyai hidup (lih. Yoh 6:53), sedangkan barangsiapa yang makan daging-Nya dan minum darah-Nya akan dibangkitkan pada akhir zaman (lih. Yoh 6:54). Untuk mempertegas hal ini, Yesus mengatakan, “Sebab daging-Ku adalah benar-benar makanan dan darah-Ku adalah benar-benar minuman. Barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia.” (Yoh 6:55-56). Maka, siapa yang makan daging-Nya dan minum darah-Nya akan memperoleh hidup yang kekal, yaitu hidup untuk selama-lamanya (lih. Yoh 6:54,56,58). Hidup yang kekal ini merupakan penggenapan janji keselamatan Allah.
Apakah orang-orang Yahudi mengerti bahwa Yesus berbicara secara harafiah bahwa tubuh-Nya dan darah-Nya adalah benar-benar makanan? Tentu saja. Itulah sebabnya, mereka bertengkar satu sama lain dan mempertanyakan bagaimana mungkin Yesus dapat memberikan daging-Nya untuk dimakan (lih. Yoh 6:52). Namun, Yesus tidak mengoreksi pandangan mereka, bahkan semakin mempertegas bahwa Tubuh dan Darah-Nya adalah sungguh-sungguh makanan dan minuman (lih. Yoh 6:55). Sampai tahap ini, tidak ada yang salah paham lagi akan maksud Yesus, sehingga para murid-Nya pun mengatakan bahwa ini adalah pengajaran yang keras dan sulit diterima (lih. Yoh 6:60). Mendengar hal ini, Yesus tidak memberikan penjelasan atau mengoreksi ajaran-Nya, namun sebaliknya, Ia mengatakan, “Adakah perkataan itu menggoncangkan imanmu?” (Yoh 6:61) Dan mulai dari saat itu, banyak murid Yesus yang mengundurkan diri dan tidak lagi mengikuti Dia (lih. Yoh 6:66). Lalu, bagaimana dengan para rasul? Yesus tidak mengoreksi pengajaran-Nya, karena bagi Yesus suatu kebenaran tidak dapat diubah. Untuk mempertegas bahwa pengajaran yang diberikan-Nya adalah sungguh benar: Dia bermaksud mengatakan bahwa tubuh-Nya adalah benar-benar makanan dan darah-Nya adalah benar- benar minuman yang harus dimakan dan diminum agar seseorang memperoleh hidup yang kekal, maka Yesus bertanya kepada para rasul, “Apakah kamu tidak mau pergi juga?” (Yoh 6:67) Petrus, yang mewakili para rasul yang lain menjawab, “Tuhan, kepada siapakah kami akan pergi? Perkataan-Mu adalah perkataan hidup yang kekal; dan kami telah percaya dan tahu, bahwa Engkau adalah Yang Kudus dari Allah” (Yoh 6:68-69).
Dari sini kita melihat, bahwa Yesus tidak memberikan pengajaran bahwa tubuh-Nya dan darah-Nya adalah hanya sekedar simbol, namun sungguh-sungguh Dia mengajarkan bahwa tubuh-Nya adalah benar-benar makanan dan darah-Nya adalah benar-benar minuman. Inilah yang kita kenangkan di dalam setiap Perjamuan Ekaristi. Kita dapat mempunyai sikap seperti orang-orang Yahudi yang bertengkar karena sulit menerima tentang pengajaran ini, atau seperti banyak murid Yesus yang meninggalkan-Nya karena tidak dapat menerima pengajaran ini. Namun, Yesus tidak pernah bergeming terhadap kebenaran ajaran tentang Roti Hidup tersebut. Sebagai murid Kristus, sudah seharusnya kita mempunyai sikap seperti Petrus, yang walaupun kadang tidak mengerti (atau tepatnya belum sepenuhnya mengerti) ataupun sulit memahami kebenaran ini, tapi tetap mempercayai Kristus yang karena kasih-Nya, ingin bersatu dengan kita dengan memberikan tubuh dan darah-Nya. Apakah mungkin kebenaran ini sulit diterima, karena terdengar “too good to be true“?
Oleh: Stefanus Tay, M.TS & Ingrid Listiati Tay, M.T.S.