Tahun 2008 ini adalah tahun dimana pendapatan pajak negara digenjot habis-habisan, ironisnya sumber pajak yang disasar kali ini adalah rakyat sendiri yang kelas menengah kebawah, sehingga diwajibkanlah semua warga negara yang bekerja untuk memiliki NPWP (nomor peserta wajib pajak) tidak peduli berapapun penghasilannya dan apapun jabatan/pangkatnya. Ini akibat kecurigaan negara kepada rakyatnya yang punya penghasilan lain-lain tapi tidak mau bayar pajak, tetapi tidak untuk sebaliknya, yaitu hak rakyat sebagai stake-holder untuk mengetahui berapa besar pajak yang dihasilkan, digunakan untuk apa saja dan sejauh mana subsidi kepada yang sangat miskin?
Walaupun pajak penghasilan dari kami kaum pekerja ini sudah dibayarkan langsung oleh perusahaan dengan memotong dari penghasilan dengan nama Pph 21, tetapi negara tetap menuntut setiap warga negara wajib punya NPWP, akibatnya banyak terjadi kebingungan cara pengisisan, kesalahan data dan NPWP ganda, dan koreksinya tidak mudah, harus melalui prosedur. Mengapa seperti membabi-buta, karena pemerintah sudah panik untuk mencari penghasilan demi menutupi defisit APBN dan Pajak adalah sumber pemasukan negara (devisa) terbesar nomor dua setelah migas.
Padahal masih banyak cara-cara lain yang lebih elegan dalam meningkatkan devisa selain pajak, contohlah Singapore yang pandai memainkan perannya sebagai negara broker, atau China yang cerdas memanfaat jumlah rakyatnya sebagai aset, sehingga mampu membuat produk-produk masal dan menguasai dunia.
Memang wajib bagi rakyat Indonesia untuk bayar pajak, tetapi tentunya pajak itu digunakan untuk kebutuhan dalam negri, yaitu untuk biaya operasional kehidupan berbangsa dan bernegara, masyarakat dan pembangunan. Tetapi kenyataannya, pajak yang kami bayarkan hanya sedikit yang kami nikmati, kami bayar pajak kendaraan yang bernama STNK tapi jalan tetap rusak, kami bayar pajak hiburan tapi untuk terhibur harus bayar lagi, kami bayar pajak penerangan tapi terang sangat terbatas, kami bayar pajak penghasilan tapi kelaparan makin bertambah banyak, kami bayar pajak keamanan tapi kejahatan terus meningkat, kami bayar pajak kesehatan tapi penyakit dan orang sakit makin bertambah, lalu pajak apa lagi yang harus kami bayar agar hidup ini bisa aman, damai dan sejahtera?
Catatan:
Hidup di negeri kaya ini, bagai tikus mati dilumbung padi, dimana sumber alam begitu banyak dan luar biasa tapi tidak bisa dimanfaatkan, sedangkan pengelola negara ini sibuk dengan konflik internal, sehingga kreatifitasnya terpasung untuk mencari peluang lain, hanya mampu membuat pajak-pajak baru dan menaikkan harga. Semoga saja kami tidak hanya sibuk memberikan apa yang menjadi hak Kaisar sehingga tidak sempat lagi untuk memberikan kewajiban kepada Allah.
Salam,
Samsi Darmawan
June 3, 2008 at 10:25 am
Benar sekali mas Samsi, kalau saja segala sumber daya ini dimanfaatkan sungguh-sungguh dan dikelola dengan baik, negara ini bener2 gemah ripah loh jinawi, makmur dan sentosa.
Di sisi lain kita sebagai warna negara, juga melakukan bagian kita. Lha kalau kita gak mau setor ke “Kaisar” yang jelas-jelas kelihatan, apa kita pasti membayarkan kewajiban kita ke “Tuhan” yang gak kelihatan?
Pada hakekatnya iman TANPA perbuatan membuat kita jadi zombie… mayat hidup. AMDG
Salam kenal juga untuk VQ, mas atau mbak ya? Thanx aniway udah mampir kesini.