Pendiri Serikat Yesus yang terkenal ini dilahirkan pada tahun 1491. Ia berasal dari keluarga bangsawan Spanyol. Ketika masih kanak-kanak, ia dikirim untuk menjadi abdi di istana raja. Di sana ia tinggal sambil berangan-angan bahwa suatu hari nanti ia akan menjadi seorang laskar yang hebat dan menikah dengan seorang puteri yang cantik. Di kemudian hari, ia sungguh mendapat penghargaan karena kegagahannya dalam pertempuran di Pamplona.
Tetapi, luka karena peluru meriam di tubuhnya membuat Ignatius terbaring tak berdaya selama berbulan-bulan di atas pembaringannya di Benteng Loyola. Ignatius meminta buku-buku bacaan untuk menghilangkan rasa bosannya. Ia menyukai cerita-cerita tentang kepahlawanan, tetapi di sana hanya tersedia kisah hidup Yesus dan para kudus. Karena tidak ada pilihan lain, ia membaca juga buku-buku itu. Perlahan-lahan, buku-buku itu mulai menarik hatinya. Hidupnya mulai berubah. Ia berkata kepada dirinya sendiri, “Mereka adalah orang-orang yang sama seperti aku, jadi mengapa aku tidak bisa melakukan seperti apa yang telah mereka lakukan?” Semua kemuliaan dan kehormatan yang sebelumnya sangat ia dambakan, tampak tak berarti lagi baginya sekarang. Ia mulai meneladani para kudus dalam doa, silih dan perbuatan-perbuatan baik.
St. Ignatius harus menderita banyak pencobaan dan penghinaan. Sebelum ia memulai karyanya yang hebat dengan membentuk Serikat Yesus, ia harus bersekolah. Ia belajar tata bahasa Latin. Sebagian besar murid dalam kelasnya adalah anak-anak, sementara Ignatius sudah berusia tiga puluh tiga tahun. Meskipun begitu, Ignatius pergi juga mengikuti pelajaran karena ia tahu bahwa ia memerlukan pengetahuan ini untuk membantunya kelak dalam pewartaannya. Dengan sabar dan tawa, ia menerima ejekan dan cemoohan dari teman-teman sekelasnya. Selama waktu itu, ia mulai mengajar dan mendorong orang lain untuk berdoa. Karena kegiatannya itu, ia dicurigai sebagai penyebar bidaah (=agama sesat) dan dipenjarakan untuk sementara waktu! Hal itu tidak menghentikan Ignatius. “Seluruh kota tidak akan cukup menampung begitu banyak rantai yang ingin aku kenakan karena cinta kepada Yesus,” katanya.
Ignatius berusia empat puluh tiga tahun ketika ia lulus dari Universitas Paris. Pada tahun 1534, bersama dengan enam orang sahabatnya, ia mengucapkan kaul rohani. Ignatius dan sahabat-sahabatnya, yang pada waktu itu masih belum menjadi imam, ditahbiskan pada tahun 1539. Mereka berikrar untuk melayani Tuhan dengan cara apa pun yang dianggap baik oleh Bapa Suci. Pada tahun 1540 Serikat Yesus secara resmi diakui oleh Paus. Sebelum Ignatius wafat, Serikat Yesus atau Yesuit telah beranggotakan seribu orang. Mereka banyak melakukan perbuatan baik dengan mengajar dan mewartakan Injil. Seringkali Ignatius berdoa, “Berilah aku hanya cinta dan rahmat-Mu, ya Tuhan. Dengan itu aku sudah menjadi kaya, dan aku tidak mengharapkan apa-apa lagi.” St. Ignatius wafat di Roma pada tanggal 31 Juli 1556. Ia dinyatakan kudus pada tahun 1622 oleh Paus Gregorius XV” .(dari: www.indocell, net/yesaya)
“Aku datang untuk melemparkan api ke bumi dan betapakah Aku harapkan, api itu telah menyala”(Luk 12:49 )
Ignatius Loyola menandai kelompok atau ordo yang dibentuknya dengan nama “Serikat Yesus”, dengan dambaan agar para pengikutnya menjadi sahabat-sahabat Yesus, hidup dan bertindak meneladan cara hidup dan cara bertindak Yesus, yang antara lain “datang untuk melemparkan api ke bumi dan betapakah Aku harapkan, api itu telah menyala”. Di dalam Konggregasi Jendral SJ ke 35 tahun 2008 yang lalu antara lain dilahirkan dekrit yang berjudul “Menyulut kobaran api-api yang lain. Menemukan kembali karisma kita” (Dekrit 2). Mengawali dekrit ini antara dikatakan :”Selama hampir 500 tahun Seikat Yesus telah membawakan api ke dalam lingkungan sosial dan budaya yang tak terhitung banyaknya. Lingkungan sosial dan budaya ini sangat menantang Serikat dalam mempertahankan kobaran api itu tetap hidup dan bernyala. Situasi yang dihadapi dewasa ini tak berbeda. Dalam sebuah dunia yang merangkul umat manusia dengan pelbagai sensasi, gagasan dan pencitraan, Serikat Yesus mencari jalan agar nyala api inspirasi dasarnya tetap bernyala sehingga menghangatkan dan menjadi terang bagi dunia zaman sekarang” (Dekrit 2 no 1).
Kutipan dekrit di atas ini kiranya juga merupakan cita-cita atau dambaan untuk meneladan cara hidup dan cara bertindak Yesus, yang datang telah menimbulkan pembicaraan atau bahkan pertentangan, tentu saja pertentangan antara mereka yang hanya mau hidup dan bertindak menurut selera pribadi, hanya mengikuti keinginan dan keenakan diri sendiri. Api yang dilemparkan oleh Yesus diharapkan menyala di dan membakar hati manusia, sehingga hatinya melampaui tapal batas sendiri, berkobar untuk mengasihi sesamanya dan yang bersangkutan menjadi ‘man or woman for/with others’. Siapapun yang mengakui dan menghayati diri sebagai sahabat Yesus diharapkan tidak hidup untuk diri sendiri saja, melainkan demi keselamatan atau kebahagiaan seluruh dunia, dan untuk itu hendaknya hidup dan bertindak sesuai dengan karisma/spiritualia tas atau visi pendiri hidup bersama.
“Maksudku ialah: hiduplah oleh Roh, maka kamu tidak akan menuruti keinginan daging. Sebab keinginan daging berlawanan dengan keinginan Roh dan keinginan Roh berlawanan dengan keinginan daging — karena keduanya bertentangan — sehingga kamu setiap kali tidak melakukan apa yang kamu kehendaki” (Gal 5:16 -17). Hidup dan bertindak sesuai dengan karisma atau spiritualitas memang berarti hidup oleh Roh sehingga menghasilkan buah-buah Roh seperti “kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri” (Gal 5:22-23) serta melawan aneka bentuk perilaku yang dijiwai oleh setan seperti “percabulan, kecemaran, hawa nafsu, penyembahan berhala, sihir, perseteruan, perselisihan, iri hati, amarah, kepentingan diri sendiri, percideraan, roh pemecah, kedengkian, kemabukan, pesta pora dan sebagainya” (Gal 5:19-21).
Jika kita memiliki dan mengahayati keutamaan-keutamaan sebagai buah Roh tersebut di atas berarti api yang dilemparkan oleh Yesus telah menyala di dalam hati kita. Selanjutkan kita juga dipanggil untuk mengobarkan dan membakar hati orang lain agar berkobar-kobar dalam mengasihi sesamanya, keluar dari batas hatinya, melampaui batas egonya dan menjadi ‘man or woman with/for others’. Kita semua dipanggil untuk menjadi terang bagi dunia dan sepak terjang atau kehadiran kita senantiasa menghangatkan dan menggairahkan hidup dan kerja bersama. Memang untuk itu kita harus menghadapi aneka macam tantangan dan hambatan maupun hiburan dan dorongan, sebagaimana dikatakan di dalam kitab Ulangan di bawah ini.
“Ingatlah, aku menghadapkan kepadamu pada hari ini kehidupan dan keberuntungan, kematian dan kecelakaan, karena pada hari ini aku memerintahkan kepadamu untuk mengasihi TUHAN, Allahmu, dengan hidup menurut jalan yang ditunjukkan- Nya dan berpegang pada perintah, ketetapan dan peraturan-Nya, supaya engkau hidup dan bertambah banyak dan diberkati oleh TUHAN, Allahmu, di negeri ke mana engkau masuk untuk mendudukinya “(Ul 30:15-16) .
Kita semua kiranya mendambakan “hidup dan bertambah banyak dan diberkati oleh Tuhan”, dan untuk itu kita diharapkan atau dipanggil untuk “mengasihi Tuhan, Allahmu, dengan hidup menurut jalan yang ditunjukkanNya dan berpegang pada perintah, ketetapan dan peraturanNya”. Kepada kita dihadapkan “kehidupan dan keberuntungan, kematian dan kecelakaan”, dan tentu saja kita semua mendambakan kehidupan dan keberuntungan. Kita diharapkan dapat memilah dan memilih tawaran tersebut dengan cermat dan tepat, dengan kata lain kita diharapkan terampil di dalam pembedaan roh atau ‘spiritual discernment’, yang juga menjadi cirikhas spiritualitas Ignatian.
Kebanyakan dari kita kiranya hidup dan bertindak dalam suasana Minggu Pertama Latihan Rohani St.Ignatius, dimana kita hidup di dalam ‘antara’, antara yang baik dan yang jahat, maka baiklah saya kutipkan pedoman pembedaan roh sebagaimana dikatakan oleh St, Ignatius Loyola dalam Latihan Rohani no 314-315 sbb:
“Pada orang yang jatuh beruntun dari dosa besar ke dosa besar, musuh pada umumnya biasa menyodorkan kesenangan-kesenang an semu, membuat mereka membayang-bayangkan kenikmatan dan kesenangan-kesenang an inderawi, supaya karenanya mereka tetap pada keadaan mereka dan berkembang dalam cacat serta dosa-dosa mereka. Pada orang macam itu, roh baik memakai cara sebaliknya: menghantam dan menyesakkan hati nurani dengan teguran-teguran pada budi.
Pada orang yang dengan tekun maju terus membersihkan dosa-dosanya dan dalam pengabdian kepada Allah Tuhan kita meningkat dari taraf baik ke taraf lebih baik, cara yang dipakai berbalikan dari cara yang disebut pada pedoman di atas. Ciri khas dari roh buruh ialah menyesakkan, menyedihkan dan menghalang-halangi dengan alasan-alasan palsu, supaya orang tidak maju lebih lanjut. Ciri khas roh baik ialah memberi semangat dan kekuatan, hiburan, air mata, inspirasi serta ketenangan, membuat semuanya menjadi mudah dengan menyingkirkan segala halangan supaya orang maju lebih lanjut dalam menjalankan kebaikan”.
Keterampilan untuk pembedaan roh atau ‘spiritual discernment’ ini kiranya dapat kita latih dengan mengadakan pemeriksaan batin setiap hari guna mengenal kecondongan- kecondongan hati atau gerak batin kita: apakah ke arah yang baik atau yang jahat. Yang mengetahui hati dan batin kita kiranya kita sendiri bukan orang lain, maka hendaknya dengan cermat dan teliti serta tekun dalam pemeriksaan batin. Untuk membantu pemeriksaan batin kiranya baik kita buka dan baca ‘perintah, ketetapan atau peraturan’ yang terkait dengan hidup, panggilan atau tugas pengutusan kita masing-masing Sebagai bantuan mungkin baik saya kutipkan beberapa perintah dari sepuluh perintah Allah sebagai berikut:
“ Hormatilah ayahmu dan ibumu, seperti yang diperintahkan kepadamu oleh TUHAN, Allahmu, supaya lanjut umurmu dan baik keadaanmu di tanah yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu. Jangan membunuh. Jangan berzinah. Jangan mencuri. Jangan mengucapkan saksi dusta tentang sesamamu. Jangan mengingini isteri sesamamu, dan jangan menghasratkan rumahnya, atau ladangnya, atau hambanya laki-laki, atau hambanya perempuan, atau lembunya, atau keledainya, atau apa pun yang dipunyai sesamamu” (Ul 5:16 -21)
Sebagai contoh baiklah secara sederhana saya uraikan di sini perintah “Hormatilah ayahmu dan ibumu, seperti yang diperintahkan kepadamu oleh Tuhan”. Ayah dan ibu kita masing-masing adalah pekerjasama atau sahabat Tuhan yang paling dekat dalam rangka karya penciptaan manusia, dimana ayah dan ibu kita saling mengasihi dengan segenap hati, segenap jiwa, segenap akal budi dan segenap kekuatan atau tubuh, yang antara lain memuncak dalam persetubuhan atau hubungan seksual, yang berbuah kita, anak-anak. Hemat saya ayah dan ibu yang baik telah melaksanakan perintah utama dan pertama dari Tuhan untuk saling mengasihi, maka selayaknya kita sebagai anak-anak menghormati mereka. Hormat kita kepada ayah dan ibu tentu saja harus kita wujudkan dengan mentaati atau melaksanakan perintah, ketetapan atau peraturan Tuhan, sehingga kita, anak-anak dapat memuliakan Tuhan dalam menghormati ayah dan ibu. Dalam pepatah Jawa kita, anak-anak dipanggil untuk “mikul duwur, mendhem jero” = mengangkat setinggi mungkin dan menguburkan sedalam mungkin orangtua, ayah dan ibu. Yang dimaksudkan antara lain kita sebagai anak mengembangkan aneka nasihat dan teladan yang baik dari ayah dan ibu serta menghapus apa yang tidak baik dalam diri ayah dan ibu, dengan cara hidup dan cara bertindak kita yang berbudi pekerti luhur atau cerdas secara spiritual. Maka mengakhiri refleksi sederhana ini marilah kita doakan atau renungkan doa dari St.Ignatius di bawah ini.
“Ambillah Tuhan dan terimalah seluruh kemerdekaanku, ingatanku, pikiranku
dan segenap kehendakku, segala kepunyuan dan milikku.
Engkaulah yang memberikan, padaMu Tuhan kukembalikan.
Semuanya milikMu, pergunakanlah sekehendakMu.
Berilah aku cinta dan rahmatMu, cukup itu bagiku”
(St.Ignatius Loyola, LR no 234) – kirimn rm Ign. Sumaryo SJ