Fiat Voluntas Tua

SYUKUR ATAS BHINNEKA TUNGGAL IKA

| 0 comments

Sumber : http://pujasumarta.multiply.com/journal/item/373SYUKUR_ATAS_BHINNEKA_TUNGGAL_IKA

Rabu, 17 Agustus 2011 bangsa Indonesia merayakan Hari Raya Kemerdekaan Indonesia Ke-66. Pada peristiwa bersejerah ini kita panjatkan syukur atas Bhinneka Tunggal Ika, nilai dasar yang bertahan berabad-abad yang menjadi daya kekuatan pemersatu bangsa yang beraneka ragam suku bangsa, budaya, agama.

Ribuan pulau yang tersebar di antara benua Asia dan Australia, antara lautan Hindia dan Pasifik merupakan wilayah dengan beribu pintu keluar masuk ke segala arah, terbuka terhadap berbagai macam nilai yang berlapis-lapis menyimpan kebijakan untuk memelihara kehidupan.

Syahdan, menurut catatan sejarah , pada tahun 1294 Raden Wijaya mendirikan kerajaan Majapahit, di Trowulan di pulau Jawa bagian timur. Kerajaan Majapahit menjadi kokoh karena didukung para pujangga arif yang memberi dasar kuat bagi bangunan kerajaan. Mpu Tantular yang hidup pada abad 14, meskipun beragama Budha, namun hatinya yang terbuka membuatnya bersikap hormat kepada agama Hindu Syiwa. Kerukunan rakyat dibangun diatas kearifan “Bhinneka Tunggal Ika tan hana dharma mangrwa”. Hasrat kuat mempersatukan nusantara, ditegaskan dalam sumpah Palapa. Kejayaan Majapahit sampai puncaknya pada zaman Hayamwuruk dengan Mahapatih Gajah Mada (meninggal pada tahun 1364). Namun, Sang Kala terus memakan waktu. Datang saatnya sandyakalaning Majapahit.

Kekuasaan beralih kepada putra Brawijaya, Raja terakhir Majapahit, yang memeluk agama Islam. Pusat kerayaan pun bergeser dari dari timur ke barat di pantai utara Jawa bagian tengah. Ia menjadi Raja Demak dengan gelar Raden Patah (1500-1518). Namun, tidak semua punggawa sepakat dengan pergeseran tersebut. Beberapa prajurit Majapahit, di antaranya Ki Ageng Giring dan Ki Bondan Surati membelot. Mereka mengadakan perjalanan mencari Wahyu Makutha Raja ke pantai selatan pulau Jawa. Sampailah mereka di wilayah pegunungan gamping, dan masuklah mereka di gua Tritis, Gunung Kidul, untuk menemukan wahyu kraton tersebut. Dituntun oleh wahyu, cahaya berwarna biru, sampailah mereka di alas Mentaok, bekas Kerajaan Mataram Kuno (abad VIII – X).

Dengan wafatnya Sultan Trenggana pusat kerajaan pun bergeser dari Demak ke pedalaman Jawa, yaitu Pajang. Mas Karebet, yang terkenal dengan sebutan Joko Tingkir, yang memangku kerajaan Pajang dengan gelar Sultan Hadiwijaya (1546-1586). Olehnya diserahkanlah alas Mentaok kepada Ki Ageng Pemanahan sebagai hadiah atas keberhasilannya menumpas pemberontakan Arya Penangsang. Babat-babat alas Mentaok dilakukan gotong royong. Dibangunlah kerajaan Mataram oleh Sutawijaya, yang kemudian menjadi raja pertama Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, yang disebut Vorstenlanden, negara dependen yang berbentuk kerajaan, dengan gelar Panembahan Senapati. Kearifan untuk membangun kehidupan bersama dijadikanlah landasan kesultanan baru, “Bhinneka Tunggal Ika tan hana dharma mangrwa”.

Sementara itu pintu-pintu Nusantara tetap terbuka kepada nilai-nilai baru yang datang di wilayah Nusantara ini. Nilai-nilai Kristiani dibawa masuk dengan kehadiran orang-orang berkulit putih dari Barat, tempat matahari terbenam: Portugis, Spanyol, Belanda. Para misionaris pun menyebarkan benih-benih firman ke tanah air Nusantara ini. Benih itu ada yang jatuh di pinggir jalan, ada yang di semak berduri, ada yang di tanah berbatu, namun ada juga yang jatuh di tanah yang baik.

Pada zaman Sultan Hamengku Buwana VII (1877-1921) karena hatinya yang terbuka pada nilai-nilai yang baik, benar dan indah itulah karya misi Katolik memperoleh ijin resmi pada tahun 1914 diluluskan agar bisa berkembang di tanah Kesultanan Ngayojakarta. Tanah Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat adalah tanah yang baik bagi pertumbuhan nilai-nilai Kerajaan Allah.

Pada waktu itu umat Katolik berkembang dalam reksa pastoral Vikariat Apostolik Batavia. Sebagai ungkapan syukur atas pertumbuhan benih yang hidup, semakin mengakar, mekar dan berbuah itu, diselenggarkan acara yang disebut dengan “Hari Katolik”. Hari Katolik dirayakan secara meriah oleh umat Katolik pada zaman itu. Secara istimewa pada tahun 1930 Hari Katolik diisi dengan upacara pemberkatan Candi yang dibangun di Ganjuran oleh Tuan Schmutzer , candi yang dipersembahkan kepada Hati Kudus Yesus, Pangeraning Para Bangsa. Prosesi Ekaristi Sakramen Mahakudus dilaksanakan secara meriah setiap tahun sampai sekarang. Hati umat penuh syukur dan berbahagia.

Pada tahun 1939, 29-30 Juli ketika Yogyakarta masih menjadi bagian dari Vikariat Apostolik Batavia dirayakan secara istimewa Hari Katolik dengan “Kongres Ekaristi” di lapangan stadion Kota Baru (sekarang Kridosono), Yogyakarta, sebagai ungkapan syukur dalam rangka 25 tahun karya misi di Vorstenlanden.

Selanjutnya babak baru kehidupan Gereja diawali dengan pemekaran Vikariat Apostolik Semarang, pengembangan dari Vikariat Apostolik Batavia, dengan Mgr. Albertus Soegijapranata, SJ, sebagai Vikaris Apostolik Semarang. Masa berikutnya masa penuh keprihatinan karena Indonesia jatuh dalam cengkeraman kekuasan Jepang, setelah tiga setengah abad di bawah kekuasaan Kerajaan Belanda. Meskipun demikian, semangat perjuangan untuk merdeka tidak pernah surut. Saat kekuasan Jepang tumbang, dijadikan saat kebangkitan Indonesia mencapai pintu gerbang yang membahagiakan, yaitu proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, pada tanggal 17 Agustus 1945. Dengan proklamasi itu ditegaskan kembali kearifan khas Indonesia yang telah teruji oleh waktu, “Bhinneka Tunggal Ika tan hana dharma mangrwa”.

Pada hari peringatan 66 tahun Indonesia merdeka, Rabu, 17 Agustus 2011, di lapangan Pancasila Simpang Lima Bp. Bibit Waluyo, selaku Gubernur Jawa Tengah, sebagai Inspektur Upacara Pengibaran Bendera Merah Putih menyampaikan amanatnya, dan menegaskan lagi lima komitmen bangsa yang harus kita perjuangkan terus menerus, yaitu: 1. Pancasila sebagai landasan ideal kehidupan bernegara; 2. UUD 1945, landasan konstitusional bangsa; 3. Bendera Merah Putih, satu-satunya bendera Indonesia; 4. Bhinneka Tunggal Ika perekat kesatuan bangsa; 5. Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berkedaulatan.

Di Indonesia itulah Gereja Katolik menegaskan kehadirannya sebagai Gereja Katolik Indonesia. Penetapan hirarki episkopal Gereja Katolik Indonesia dinyatakan dengan bulla “Quod Christus Adorandus”, 3 Januari 1961, yang ditandatangani oleh Prefeknya, GREGORIUS P. Card. AGAGIANIAN, pada tahun ketiga masa kepausan Bapa Suci Johannes XXIII. Dengan demikian, Vikariat Apostolik Semarang menjadi Keuskupan Agung Semarang dengan Uskup Agung Mgr. Albertus Soegijapranata, Uskup Agung Semarang pertama.

Kita haturkan syukur kepada Allah, sebagai pemersatu dan pembebas bangsa, dengan pengantaraan Kristus yang harus disembah, Christus Adorandus.

Dirgahayu Bangsa Indonesia, Dirgahayu Bhinneka Tunggal Ika tan hana dharma mangrwa!

Salam, doa ‘n Berkah Dalem,

Semarang, 17 Agustus 2011

+ Johannes Pujasumarta
Uskup Keuskupan Agung Semarang

Leave a Reply

Required fields are marked *.