Fiat Voluntas Tua

Fenomena “Sexting”

| 0 comments

Artikel menarik ini mengajak kita untuk menambah satu bentuk pertobatan baru; bukan hanya selama masa pra paskah, tetapi kebiasaan buruk ini selayaknya memang dijauhi dan dihentikan. Silahkan direnungkan.

Beberapa waktu lalu seorang anggota DPR di Amerika Serikat mengundurkan diri karena ketahuan mengirimkan foto telanjang dadanya kepada seorang perempuan yang sedang mencari jodoh di situs pertemanan. Sang anggota DPR masuk ke situs itu dan menyaru sebagai bujang dan kemudian berani mengirimkan foto-foto telanjang dadanya. Karena sang wanita cerdas, ia mampu mengidentifikasi bahwa ini tokoh terkenal akhirnya membuka skandal ini ke publik. Akhirnya berakhir tragis tentunya karena sang anggota DPR mengundurkan diri akibat ulah isengnya.

Jika tadinya dilansir hanya remaja yang suka melakukan hal ini dalam konteks pencarian identitasnya, maka saat ini perilaku ini sudah menyebar ke semua lapisan usia dan termasuk tokoh-tokoh terhormat, selebriti, dan olahragawan dunia. Ini fenomena yang mendunia, termasuk di Indonesia. Banyak pemimpin, selebritis diam-diam mengirimkan foto, video, dan kata-kata vulgarnya ke dunia maya dan banyak yang akhirnya meledak ke publik.

Keranjingan mengirim foto “aneh”, telanjang keseluruhan, atau gambar porno lainnya, termasuk teks rayuan, kata-kata porno atau menyerempet ke arah porno disebut dengan sexting. Istilah ini masuk dalam entri bahasa Inggris di tahun 2005 dari kata sex dan chatting yang kemudian disingkat menjadi sexting. Bagaimana menerjemahkannya ya ke bahasa Indonesia? (mohon bantuan ahli bahasa). Fenomena ini muncul karena kemajuan teknologi handphone, blackberry, internet, dan media jejaring sosial lainnya seperti facebook, twitter, dan lainnya. Teknologi membawa kepada suatu kebiasaan baru yaitu mengirim kata dan gambar seronok ke temannya via media ini. Hasilnya terjadi penyebaran yang tidak bisa lagi dikendalikan. Banyak kasus di Barat ditemukan di kalangan remaja, di mana tadinya dia hanya mengirim foto telanjang ke pacarnya dan terkaget-kaget ketika pacarnya menyebarkan via media tadi. Sesuatu yang telah terkirim pasti tidak bisa ditarik kembali. Ini sudah “kutukan” teknologi canggih ini.

Ada beberapa alasan orang melakukan hal ini. Ada yang sekadar pamer, atau bahasa gaulnya “narsis” mungkin dengan perasaan semua orang melakukannya dan itu dianggap biasa saja. Ada juga ingin merayu seseorang dengan bentuk tubuh yang atletis atau aduhai. Misalnya, ada pesepakbola Inggris seperti Ashley Cole pernah mengirimkan banyak sms rayuan, bahkan foto telanjang yang sangat atletis kepada cewek penggemarnya dan merayu untuk mengajaknya tidur. Ada juga yang melakukan hal itu untuk membuktikan “cintanya” atau komitmen dalam hubungannya. Sang pacar merayunya untuk mengirim foto-foto telanjangnya demi “keabadian” cinta mereka. Jadi, mereka saling mengirim foto telanjang atau juga kata-kata yang vulgar. Masalahnya adalah bila hubungan itu sudah berakhir atau ada orang yang mau mendapatkan keuntungan di dalamnya, maka foto mulai disebarkan. Atau ketika HP tersebut dijual dan ada yang iseng memeriksa dengan menggunakan “recovery program”, sehingga yang sudah terhapus bisa dibuka kembali. Ini akan mengagetkan pelaku. Begitu tersebar tidak ada lagi yang bisa mengendalikannya.

Saya merasa sexting lebih banyak bahayanya daripada kesenangannya. Mengapa? Seperti yang saya katakan, sekali kita mengirim gambar maka kita tidak bisa lagi mengendalikannya. Tidak ada cara untuk menariknya kembali. Yang terjadi akan terjadi penyebaran yang tidak pernah diduga di mana seluruh jagat bisa mengunduhnya dan terjadi estafet penyebaran karena orang membagikannya kepada siapapun. Penyebarannya bukan hanya lewat internet, tapi juga HP dan media sosial lainnya. Contoh kasus video Ariel dimana semua bisa mendapatkan penyebarannya sampai ke pelosok-pelosok desa yang mungkin beberapa tahun lalu tidak akan pernah mendapatkannya secara instan seperti sekarang.

Bahaya lain, tentu adalah bahaya hukum yang menunggu karena tentu ikut menyebarkan benda pornografi bisa mendapat tuntutan hukum, apalagi foto-foto itu foto di bawah umur, sehingga bisa dituntut dalam kasus “child pornography” yang sangat diharamkan di banyak negara. Tuntutan hukum ini juga ada di Indonesia walaupun banyak yang belum mengetahuinya dan merasa aman mengirimkan sexting ke temannya tanpa merasa ada akibat hukum yang menanti.

Akibat psikologis seperti malu dan sesal tentu adalah efek dari penyebaran ini. Rasanya kerugian yang satu ini sangat berat untuk dipikul sebagai orang Timur apalagi kalau sudah berumah tangga seperti kasus Cut Tari. Syukur sekali dia bisa memulihkan diri dan suaminya dapat mengampuni. Tak terbayangkan efek dari perbuatannya, rasa malu yang tiada taranya bagi diri dan keluarga besarnya.

Kampanye Anti Sexting

Sudah waktunya di Indonesia ada kampanye kesadaran akan bahaya sexting ini yang pasti dimulai dari kesenangan dan iseng belaka. Pertama, perlu ada penghargaan terhadap diri bahwa tubuh ini sangat berharga dan ketelanjangan serta perbuatan seks tidak untuk konsumsi umum. Saya pernah melihat di TV ada kampanye di Indonesia tentang jangan telanjang di depan kamera. Ini patut terus digalakkan. Saya merasa salut untuk orang yang memulai kampanye ini. Sayang kalau gaungnya tidak ada lagi.

Kedua, ikut berpartisipasi menghentikan penyebaran sexting. Kita bisa menghapusnya, memberi tahu kepada pengirim sebelumnya agar jangan mengirim hal seperti ini dan tidak terlibat sama sekali dalam penyebaran. Kalau perlu memberitahukan pihak berwewenang atas masalah ini. Di Amerika, wajib hukumnya memberitahu ke pihak berwewenang bila kita mengetahui suatu kejahatan. Saya rasa baik mencontoh hal ini. Adanya kesadaran akan tuntutan hukum akan mengurangi niat orang dalam menyebarkannya. Kita bukan menjadi sok suci, tetapi kalau membayangkan diri kita yang menjadi korban, tentu betapa sakitnya hati dan rasa malu dari kita sebagai pihak korban dan keluarga besarnya. Alangkah mulia bila kita berpartisipasi menghentikannya walaupun mungkin kita tidak mengenal orang yang di gambar atau video vulgar itu.

Ketiga, keteladanan orang tua memegang peran yang penting dan ortu sendiri mampu menahan diri agar tidak terlibat dalam sexting ini. Orang tua patut mendiskusikan ini secara terbuka bersama keluarganya. Banyak anak yang merasa tidak masalah terlibat sexting karena orang tua juga menikmati hal-hal ini. Anak yang sempat memeriksa dan mengutak-atik HP orang tuanya tentu akan merasa tidak bersalah kalau melakukan hal yang sama atas apa yang telah dilakukan orang tuanya. Lagian, banyak orang tua sudah ikut-ikutan sexting. Nah, kalau begini bagaimana?

Sumber http://edukasi.kompasiana.com/2011/03/10/fenomena-sexting/

Leave a Reply

Required fields are marked *.