Fiat Voluntas Tua

Pidato Seorang Ibu Israel Didepan Parlemen Eropa di Hari Perempuan Internasional

| 1 Comment

Kekerasan demi kekerasan semakin tumbuh subur di belahan bumi ini termasuk di negara kita, baik atas nama kekuasaan maupun atas nama agama dan ras. Selain penyerangan rumah ibadah, perusakan rumah penduduk dan yang terakhir 3 bom dalam satu hari di Jkt, membuktikan kekerasan tumbuh subur di bumi Indonesia. Pada akhirnya kaum perempuan dan anak-anak yang terlemahlah yang menjadi korban. Mari kita berdoa bagi keadaaan ini agar kasih semakin tumbuh subur dimana-mana. Berikut saya postingkan jeritan seorang ibu Israel di depan parlemen Eropa sebagai bahan renungan kita.

JAKARTA,  PedomanNEWS.com – Dr Nurit Peled-Elhanan adalah seorang aktivis perdamaian Israel. Ia ibu dari Smadar Elhanan, 13 tahun, yang tewas terbunuh akibat bom bunuh diri di Yerusalem September 1997. Selain Smadar Elhanan, dua gadis remaja usia 14 tahun ikut terbunuh.

Karena aktivitasnya, Nurit menerima penghargaan Sakharov untuk perjuangannya menegakkan HAM dan kebebasan berbicara. Penghargaan ini diberikan oleh Parlemen Eropa.

Tahun 2005 ia diundang kembali oleh Parlemen Eropa. Kali ini untuk menyampaikan pidato menyambut Hari Perempuan Internasional yang jatuh pada tanggal 8 Maret setiap tahunnya.

Berikut ini terjemahan dari pidatonya yang diberi judul Perempuan:

Terima kasih karena telah mengundang saya pada hari ini. Ini adalah kehormatan dan kebanggaan untuk berada di sini, di depan anda sekalian anggota Parlemen Eropa.

Namun, harus saya akui mestinya anda mengundang perempuan Palestina untuk menggantikan saya, karena perempuan yang paling menderita akibat kekerasan di wilayah saya adalah perempuan Palestina. Dan karenanya saya ingin mempersembahkan pidato saya ini untuk Miriam R’aban dan suaminya Kamal, yang tinggal di Bet Lahiya Jalur Gaza, yang lima anak kecil mereka tewas oleh tentara Israel saat memetik stroberi di ladang keluarga mereka. Tidak seorang pun diadili untuk pembunuhan ini.

Ketika saya bertanya kepada mereka yang mengundang saya di sini mengapa mereka tidak mengundang seorang wanita Palestina, jawabannya adalah bahwa akan membuat diskusi terlalu lokal.

Saya tidak tahu apa kekerasan yang non-lokal. Rasisme dan diskriminasi mungkin konsep teoritis dan fenomena universal namun dampak mereka selalu lokal dan nyata. Nyeri bersifat lokal, penghinaan, pelecehan seksual, penyiksaan dan kematian, semua sangat lokal, dan demikian pula bekas luka.

Memang benar, kekerasan lokal yang menimpa perempuan Palestina akibat tindakan pemerintah Israel dan tentara Israel, telah menjalar ke seluruh dunia, Bahkan, kekerasan negara dan kekerasan tentara, kekerasan individu dan kolektif, yang banyak menimpa perempuan muslim sekarang ini, tidak hanya terjadi di Palestina, tetapi di mana pun ketika dunia barat yang tercerahkan itu menancapkan kaki imperialistik nya. Ini adalah kekerasan yang hampir tidak pernah mampu diatasi dan malah direstui setengah hati oleh sebagian besar orang-orang di Eropa dan di Amerika Serikat.

Penyebabnya adalah apa yang disebut dunia bebas takut akan rahim (perempuan) muslim.

Perancis Raya yang terkenal dengan slogan “la Liberte Egalite et la Fraternite” takut terhadap gadis kecil berjilbab. Yahudi Israel Raya takut akan rahim Muslim yang bahkan para menteri nya menyebutnya sebagai ancaman demografis.

Amerika yang amat kuasa dan Inggris Raya menularkan warga mereka masing-masing rasa takut yang membutakan terhadap kaum muslimin, yang digambarkan sebagai jahat, primitif dan haus darah, selain karena mereka tidak demokratis, chauvinistik dan produsen masal teroris masa depan. Meskipun dalam kenyataannya bahwa orang-orang yang menghancurkan dunia saat ini adalah bukan Muslim. Salah satunya adalah seorang Kristen yang taat, satu adalah Anglikan dan satu adalah seorang Yahudi yang tidak taat.

Saya tidak pernah mengalami penderitaan perempuan Palestina yang mereka jalani setiap hari, setiap jam, saya tidak tahu jenis kekerasan macam apa yang telah mengubah kehidupan seorang perempuan ke dalam neraka secara konstan. Penyiksaan fisik dan mental terjadi setiap hari terhadap perempuan yang dirampas hak-hak dasar mereka sebaga manusia, dirampas privasi dan martabatnya, perempuan yang rumahnya dimasuki setiap saat baik siang dan malam, yang dibawah ancaman moncong senjata diperintahkan telanjang dihadapan orang asing dan anak-anak mereka sendiri, perempuan yang rumahnya dihancurkan, yang dicabut mata pencaharian mereka dan dari kehidupan keluarga normal. Ini memang bukan bagian dari cobaan pribadi saya.

Tapi saya adalah juga korban kekerasan terhadap perempuan karena kekerasan terhadap anak sebenarnya kekerasan terhadap ibu. Perempuan Palestina, Irak, Afghanistan adalah saudara-saudara perempuan saya karena kita semua berada dalam cengkeraman dari kriminal tidak bermoral yang menyebut dirinya pemimpin dunia bebas yang tercerahkan  dan atas nama kebebasan dan pencerahan tersebut telah merampas anak-anak kita dari kita.

Sayangnya, ibu-ibu Israel, Amerika, Italia dan Inggris sebagian besar buta dan dicuci otaknya sedemikian rupa sehingga mereka tidak dapat menyadari saudara perempuan mereka, sekutu mereka satu-satunya di dunia sesungguhnya adalah ibu-ibu muslim Palestina, Irak atau Afghani, yang anak-anak mereka dibunuh oleh anak-anak kita atau yang meledakkan diri mereka bersama dengan putra dan putri kita. Pikiran mereka semua telah terinfeksi oleh virus yang disebarkan oleh politisi. Dan virus, meskipun mereka mungkin memiliki berbagai nama- Demokrasi, Patriotisme, Tuhan, Tanah Air- semua adalah sama. Mereka adalah bagian dari ideologi palsu dan semu yang dimaksudkan untuk memperkaya yang kaya dan memperkuat yang kuat.

Kita semua korban kekerasan mental, psikologis dan budaya yang membuat kita masuk kedalam satu kelompok homogen dari ibu yang berduka atau berpotensi berduka. Ibu-ibu barat diajarkan untuk percaya bahwa rahim mereka adalah aset bangsa seperti halnya mereka diajarkan untuk percaya bahwa rahim muslim adalah merupakan ancaman internasional. Mereka dididik untuk tidak menangis: “Saya melahirkannya, saya menyusui, ia milik saya, dan saya tidak akan membiarkan dia menjadi salah seorang yang hidupnya lebih murah dari minyak, yang masa depannya kurang berharga daripada sebidang tanah.”

Semua dari kita diteror oleh pendidikan yang telah meracuni pikiran sehingga percaya bahwa semua yang bisa kita lakukan hanyalah berdoa untuk anak kita agar kembali ke rumah atau berbangga bila mereka mati.

Dan kita semua dibesarkan untuk menanggung semua ini dalam diam untuk mengatasi takut dan frustrasi, minum Prozac saat cemas, tetapi tidak pernah sebagai seorang ibu berseru dengan berani di depan umum. Tidak pernah menjadi ibu Yahudi atau Italia atau Irlandia yang sesungguhnya.

Saya adalah korban kekerasan negara. Hak-hak alamiah dan sipil saya sebagai seorang ibu telah dilanggar dan masih terus dilanggar karena saya takut pada hari saat anak laki-laki saya berusia 18 tahun ia akan diambil dari saya untuk dijadikan alat penjahat seperti Sharon, Bush, Blair dan jenderal-jenderal mereka yang haus darah, haus minyak dan haus tanah.

Hidup di tempat saya tinggal, di negara saya tinggal, di rezim saya tinggal, membuat saya tidak memiliki keberanian untuk menawarkan ide kepada perempuan muslim tentang bagaimana mengubah hidup mereka. Saya tidak ingin mereka melepas tudung mereka, atau mendidik anak-anak mereka dengan cara berbeda, dan saya tidak akan mendesak mereka untuk menegakkan demokrasi seperti demokrasi barat yang justru telah menghina mereka dan kebaikan mereka. Saya hanya ingin dengan rendah hati meminta mereka untuk menjadi saudara saya, mengungkapkan kekaguman saya akan kegigihan  dan keberanian mereka untuk bertahan hidup, untuk memiliki anak-anak dan untuk menjaga kehidupan keluarga secara bermartabat ditengah kondisi mustahil yang dunia saya telah timpakan kepada mereka. Saya ingin memberitahu mereka kita semua terikat oleh rasa sakit yang sama, kita semua korban kekerasan yang sama meskipun mereka jauh lebih menderita karena mereka teraniaya oleh pemerintah saya dan tentaranya, yang disponsori oleh pajak saya.

Islam itu sendiri, seperti Yudaisme dan Kristen itu sendiri, bukan merupakan ancaman bagi saya atau siapapun. Yang menjadi ancaman justru adalah imperialisme Amerika, ketidakpedulian Eropa, rasisme Israel dan rezim pendudukannya yang kejam. Adalah rasisme, propaganda pendidikan dan xenophobia yang membuat tentara Israel menodongkan senjatanya pada perempuan Palestina, memaksa mereka telanjang di depan anak-anak mereka demi alasan keamanan. Ini sikap tidak hormat yang sangat dalam yang memungkinkan tentara Amerika memperkosa perempuan Irak, yang memberikan izin untuk sipir Israel memenjarakan perempuan muda dalam kondisi tidak manusiawi, tanpa bantuan untuk keperluan higienis, tanpa listrik di musim dingin, tanpa air bersih atau kasur bersih, dan memisahkan mereka dari mereka dari bayi mereka yang masih butuh ASI dan anak balita mereka. Menutup jalan mereka untuk pergi ke rumah sakit, memblokir jalan mereka untuk pendidikan, menyita tanah mereka, mencabut pohon-pohon mereka dan mencegah mereka menggarap lahan mereka.

Saya tidak dapat sepenuhnya mengerti perempuan Palestina atau penderitaan mereka. Saya tidak tahu bagaimana saya dapat bertahan menghadapi penghinaan, sikap tidak menghormati dari seluruh dunia. Semua yang saya tahu adalah bahwa suara ibu telah tersumbat terlalu lama di planet yang terus dilanda perang ini. Tangisan ibu tidak terdengar karena para ibu tidak diundang datang ke forum internasional seperti ini. Inilah yang saya ketahui dan sangat sedikit. Tetapi cukup bagi saya untuk mengingat perempuan-perempuan ini adalah saudara saya, dan mereka layak mendapatkan tangis saya dan saya berjuang untuk mereka. Dan ketika mereka kehilangan anak-anak mereka di ladang stroberi atau di jalan kotor dipenuhi oleh pos-pos pemeriksaan, ketika anak-anak mereka ditembak dalam perjalanan ke sekolah oleh anak-anak Israel yang dididik untuk percaya bahwa cinta dan kasih sayang adalah tergantung ras dan agama,  satu-satunya hal yang dapat saya lakukan adalah berdiri bersama mereka dan bayi-bayi mereka, dan bertanya seperti apa yang Anna Akhmatova – ibu lain yang tinggal di sebuah rezim kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak – pertanyakan: Why does that streak of blood, rip the petal of your cheek?

One Comment

  1. Pingback: Bom Buku Tiru Tren di Eropa dan AS | Berita Headline Terbaru | Harian-Berita.com

Leave a Reply

Required fields are marked *.