Fiat Voluntas Tua

Selamat Jalan Romo Loogman

| 1 Comment

Selasa, 9 Maret 2010, tepat pukul 08.00 WIB, Romo Henk Handoyo Loogman MSC meninggal di Rumah Sakit Panti Rapih, Yogyakarta, setelah sehari sebelumnya dilarikan dari Purworejo ke Yogyakarta. Beliau meninggal dalam usia 73 tahun. Selama 38 tahun ia melayani para pasien dengan pengobatan alternatif yang memakai metode radiesthesi medik. Banyak orang yang terbantu oleh pengobatan Romo Loogman. Pekerjaan itu dilakukannya karena ia ingin solider dengan sesama yang membutuhkan. Sebagai imam MSC, Romo Loogman merasa terpanggil untuk melayani sesama yang kecil.

“Visi pengobatan alternatif ini sejalan dengan panggilan Gereja untuk selalu berpihak pada yang lemah dan susah…Awal-awalnya saya merasakan apa yang saya lakukan ini sangat sensitif. Harus saya akui juga bahwa ada orang yang tidak percaya akan hal pengobatan seperti ini. Tapi tak sedikit juga yang percaya, karena mereka merasakan manfaatnya. Untuk meyakinkan mereka yang tidak percaya, sulit sekali pada awalnya. Saya berjuang untuk meyakinkan orang-orang itu,” tuturnya dalam buku Romo H. Loogman MSC, Dialog Penyembuhan dan Cuplikan Pengalaman Pengobatan Alternatif dengan Metode Radiesthesi Medik (SPS, Jakarta, 2008). Itulah jalan panggilannya: melayani sesama dan mengasihi Kristus.

Romo Henk Loogman Handoyo MSC lahir di Vijfhuizen-Haarlemmermeer, De Lijnden, Belanda, pada 8 Januari 1937 sebagai putra ke-10 dari 13 bersaudara, anak pasangan suami-istri Antonius Loogman dan Digna Berkel.
Usai tamat SD, ia masuk seminari menengah di Qirhouse, Belanda, dan dibina di Novisiat MSC di Berg en Dal.Mengucapkan profesi pertama dalam Tarekat MSC pada 21 September 1958 dan berkaul kekal pada 21 September 1961. Beliau ditahbiskan sebagai imam misionaris Hati Kudus (MSC) pada 1 September 1963. Usai ditahbiskan, ia masih harus menyelesaikan beberapa mata kuliah. Baru pada tahun 1965 Romo Henk Loogman MSC ditugaskan di kota Arnhem. Pada September 1965, bersama P. Ruiter MSC dan Leek MSC, Henk Loogman diutus jadi misionaris di Indonesia. Ia ditempatkan pertama kali di Gereja Kristus Raja Purwokerto, Jawa Tengah, kemudian ke Paroki Santo Petrus Pekalongan hingga tahun 1972. Usai berlibur ke Belanda, Rm Loogman mendapat penugasan di Paroki Gembala Yang Baik, Kebumen, Jawa Tengah, kemudian ke Paroki Tegal hinggal tahun 1974.

Sejak 1965 hingga kematiannya, praktis Romo Loogman MSC hanya bertugas di Jawa Tengah sehingga tak usah heran bila beliau sangat menguasai bahasa dan kebudayaan Jawa. Penguasaan budaya Jawa itu sangat membantunya dalam karya-karyanya di daerah ini. Apalagi ia adalah sosok yang terbuka terhadap hal-hal baru. Keterbukaan itulah yang kemudian menggiring Romo Loogman menemukan dan mengembangkan talenta yang ada pada dirinya, yakni kemampun untuk menyembuhkan orang sakit dengan metode radiesthesi.

Kemampuan itu baru disadarinya ketika bertugas di Paroki Hati Kudus, Tegal (1972). Pada suatu hari ia bertemu dengan Romo Cahyo Pr dari Muntilan yang juga dikenal sebagai penyembuh. Ketika Romo Loogman melihat praktek pengobatan oleh Romo Cahyo, tiba-tiba Romo Cahyo berseru kepadanya, “Kamu juga bisa, ayo mulai saja.” Romo Loogman pun terkejut dengan kata-kata itu. Sejak itu ia semakin yakin akan talenta penyembuhan yang ada di dalam dirinya. Saat itu ia hanya berpikir untuk membantu umatnya yang sakit. Tak hanya ia menyalurkan sinyal-sinyal tenaga prananya ke tubuh pasien tapi juga dengan sinyal yang sama ia menelusuri sarana-sarana apa saja yang bisa dipakai untuk proses penyembuhan pasiennya. Dengan cara itu Romo Loogman bisa menemukan jamu-jamu dan ramuan dari alam yang ternyata manfaatnya sangat luas. Ini semua dipelajarinya secara otodidak. Kini ia dikenal luas sebagai imam penyembuh dengan metode radiesthesi medik. Pasiennya datang dari penjuru Indonesia, dan mereka mengalami kesembuhan.

Pada Juli 2000 berdirilah Rumah Pengobatan Romo Loogman MSC di Purwokerto. Di situ ada ruang praktek, ruang konsultasi, ruang obat-obatan, kapel dan mushola.

Hidup bagi sesama

Ada filosofi yang kuat dalam diri konfrater MSC yang satu ini, yakni kepeduliannya pada sesama. Romo Loogman ingin menjadi bagian utuh dari sesamanya. Dalam sebuah refleksinya, ia mengatakan bahwa dirinya bahagia bila kebahagiaan yang sama dialami orang lain. Sebaliknya, hatinya pilu bila derita dan nestapa menimpa sesamanya. Dalam karya pengobatannya terlihat ia selalu menginginkan agar orang lain tumbuh dan berkembang seperti dirinya.

Demikian ia pun sangat peduli terhadap komunitas tarekatnya, terutama menjunjung tinggi semangat kebersamaan. Visi kebersamaan itu ia petik dari Visi Pendiri Tarekat MSC sendiri, yakni Pater Jules Chevalier. Walau dikarunia talenta besar oleh Tuhan, tetapi hal itu tak membuat Romo Loogman menjauh dari para konfraternya. Sebaliknya, ia selalu mendorong seraya membantu kebutuhan para konfraternya. Dalam Komunitas Basis Misioner di Keuskupan Purwokerto, misalnya, Romo Loogman selalu aktif terlibat dalam pertemuan komunitas. Ia menerima semua konfraternya, termasuk yang muda-muda. Semangat yang sama ia tunjukkan kepada khalayak ramai. Ia sungguh seorang imam MSC yang hidup dengan Semangat Hati Yesus.

Berita kematiannya menimbulkan rasa sedih sekaligus kehilangan, tak saja di kalangan konfrater MSC dan Keluarga Chevalier, tetapi juga umat di Keuskupan Purwokerto dan masyarakat Jawa Tengah pada umumnya. Kehadirannya sebagai seorang Misionaris Hati Kudus telah membawa kegembiraan bagi banyak orang, karena mereka sungguh merasakan sebuah kehadiran yang penuh cinta.

Selama 38 tahun Romo Loogman bergumul dengan radiesthesi medik. Ia jujur mengakui, bahwa begitu ia melangkah ke dalam pengobatan ini, dulu, muncul sikap pro dan kontra. Di sana sini ada suara sumbang, bahkan ada yang menjulukinya sebagai “romo dukun”(mokun). Ia sadar bahwa apa yang dilakukannya itu semata hanya untuk umatnya yang sakit dan menderita. “Saya hanyalah sarana. Tuhan sendiri yang sudah memberikan kepada alam ini,” tuturnya suatu ketika.

Sumber: http://www.misacorindo.org/?p=267