Fiat Voluntas Tua

Suara Kenabian di Tapanuli Tengah – III

| 0 comments

Gereja bukan hanya terbatas hirarki dan para klerus, tapi Gereja adalah juga kita semua yang telah menerima Sakramen Pembaptisan. Maka Gereja juga tidak bisa tinggal diam bila kita yang berasal dari rakyat dan menjadi bagian masyarakat melihat kesulitan dan kepedihan para petani dan pemilik lahan yang mencoba mempertahankan hak nya. Berikut adalah tulisan yang saya terima dari Bpk Nikolas Simanjuntak yang menjelaskan latar situasi sebelumnya dimulai.

DI KALA GEREJA DITUNTUT MEMBELA
Keuskupan Sibolga Mengadapi Kesewenangan Penguasa
(Nikolas Simanjuntak)

Pembelaan Gereja bagi masyarakat miskin dan buta hukum yang sedang tertindas, bukanlah sekedar aksi advokasi gerakan sosial. Ternyata di dalamnya sarat praktik spiritualitas multi-dimensi yang berlandaskan pada Ajaran Sosial Gereja (ASG). Peran guru moral dari wewenang magisterium Gereja, bisa tampak menjadi sangat konkrit dalam keterlibatan lintas-seksi di institusi parokial Gereja lokal. Itulah yang kiranya mencuat nyata dari kasus Gereja Keuskupan Sibolga di hari-hari belakangan ini. Gereja dituntut oleh masyarakat sekitarnya, supaya tampil terdepan untuk bertarung-bersama menghadapi akal-akalan licik para pejabat penguasa dan pengusaha. Sikap masyarakat itu disampaikan dengan keluhan yang intinya berisi seruan: jika Gereja sampai dikalahkan oleh penguasa lokal maka tiada lagi sandaran masyarakat untuk bertahan di atas lahan yang sedang mereka kuasai dan usahai sendiri.

Sirkus hukum penguasa di ladang bersama
Sudah lazim dalam situasi terkini, ketika penguasa bermain sirkus hukum di atas wewenang pemerintahan umum. Kepentingan sendiri kaum kuasa menjadi tujuan akhir dari jalan masuk (entry point) terhadap keawaman (baca: pembodohan) masyarakat, yang tidak paham liku-liku praktik penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance). Sirkus atau akal-akalan dimainkan untuk mengelabui masyarakat yang terpana tak-berdaya. Caranya dilakukan dengan rangkaian tindakan administratif yang seakan-akan yuridis sah dan seolah-olah berdasar hukum dan wewenang administrasi pemerintahan. Seharusnya melayani (services), namun nyatanya meniadakan hak.

Korban lazimnya yang selalu terjadi adalah masyarakat desa pedalaman. Utamanya mereka yang sehari-hari mengais rezeki dari lahan bukaan sendiri. Konteks itulah yang kini dihadapi langsung oleh Gereja lokal Keuskupan Sibolga, ketika bersama dengan masyarakat setempat mengolah lahan mereka sendiri. Lokasi itu selama puluhan tahun sejak 1950-an tak-berpenghuni tetap. Namun, ketika semak belukar itu sudah berbentuk konstruksi lahan untuk perkebunan, yang diolah dengan alat-alat berat dari pihak Keuskupan, secara spontan Romo Vikjen yang bersama kami meneliti lokasi on the spot, langsung berujar “hati siapa tidak tergoda…”. Maksudnya, setelah melihat hamparan lahan ratusan hektar yang sedemikian menjanjikan nilai investasi ekonomis. Sekitar awal tahun 1970-an sebagian lahan itu sudah dibuka oleh seorang Pastor misionaris, Hilarius OFM Cap. Kala itu dia mengajak masyarakat lokal menjadi transmigran spontan untuk membuka hutan belukar tak-berpenghuni, berjarak satu-dua kilometer dari garis pantai barat wilayah Tapanuli Tengah. Lahan itu saat ini telah menjadi desa Maduma berpenghuni beberapa ratus keluarga yang sudah memiliki beberapa bangunan rumah ibadat. Mereka pun bisa hidup dari sawah ladang yang diolah sendiri. Setiap kali pemerintah setempat memberi perintah, mereka pun membayar pajak tanah (PBB) ke kantor Kecamatan di Sorkam (wilayah orang-tua Akbar Tanjung).

Sejak era reformasi menjelang tahun 2000-an masyarakat sekitar Desa Maduma itu dan Desa lain di sekitarnya, memperluas lahan olahan dengan membuka belukar, yang selama ini kadang-kadang digunakan sebagai tanah pertanian. Tapi setelah beberapa musim-tanam ditinggalkan lagi sambil berpindah ladang ke lokasi lain di sekitar itu juga. Pada situasi itulah Keuskupan Sibolga dan Ordo Kapusin ikut bersama dengan masyarakat setempat membuka lahan. Kehadiran Gereja disitu menjadi sahabat bagi mereka yang terasing di hutan belukar. Jauh dari keramaian kota dan desa. Dan, selanjutnya, dengan sukarela mereka mempersilahkan kedua institusi Gereja itu mengganti-rugi lahan yang selama ini mereka olah sendiri. Maka jadilah Gereja dan masyarakat bekerja di hamparan ladang yang sama. Posisi lokasi itu kini berada di titik sentra pusaran sebaran lahan olahan masyarakat peladang dari Desa-desa sekitarnya.

Rangkaian penindasan demi tebar pesona investasi

Daya tarik bagi investor perkebunan kelapa sawit telah menjadi biang keladi terjadinya serangkaian penyalah-gunaan wewenang secara sistematis dan meluas di lokasi tersebut di atas. Buahnya adalah giliran penindasan bagi siapa saja yang tidak mendukung investor. Pengusaha yang dikenal masyarakat sebagai korporasi NS, terang-terangan diketahui berkolaborasi-erat dengan pejabat penguasa pemerintah kabupaten. Korporasi itu menebar khabar ke tengah masyarakat yang buta informasi, bahwa dia sedang mengolah lahan sawit di pinggiran Desa Maduma, berbatasan dengan lahan yang sedang diusahakan dan dikuasai oleh masyarakat dan pihak Keuskupan.

Di atas lahan itu sudah sejak tahun 2004 ada sekitar 50-an kepala keluarga (KK) yang mengolah kebun keluarga dengan tanam-tanaman yang sedang menunggu hari-hari panenan. Di suatu hari pada tahun ini, tiba-tiba saja serombongan petugas pemerintahan dengan menggunakan alat berat si pengusaha merambah ladang dan tanaman masyarakat itu. Nainggolan dkk yang sedang mengusahakan dan menguasai lahan itu melakukan perlawanan fisik. Akibatnya, mereka ditahan sepuluh hari di kantor petugas. Tanpa meneruskan berkas perkaranya, mereka diminta menanda-tangani kertas penyelesaian kasus dan disuruh mengambil uang enam jutaan rupiah. Tapi mereka tidak bersedia. Karena masih sangat menderita melihat dengan matanya sendiri tanaman dan lahan yang sedang diolahnya dihancur-leburkan begitu saja. Uang jutaan yang sudah besar nilainya bagi masyarakat desa, ternyata tidak sebanding dengan rasa sakit derita penindasan yang mereka alami sendiri. Kata mereka, uang itu masih tersedia di BRI hingga kini.

Masyarakat Muarabolak, Desa lain di luar lokasi lahan Gereja, di suatu hari beberapa bulan yang lalu, dikumpulkan oleh pejabat Desa supaya hadir menyambut penguasa kabupaten, yang dikhabarkan akan membagikan benih padi unggul. Informasi pertemuan disebar kepada masyarakat desa sebagai ‘acara doa bersama untuk benih’. Daftar hadir disediakan supaya ditanda-tangani. Namun ternyata kemudian mereka ketahui, bahwa daftar absensi itu telah digunakan sebagai legalitas dasar persetujuan masyarakat untuk menyerahkan tanah mereka. Seakan-akan itu sebagai tanah adat desa, yang dimiliki pemerintah kabupaten untuk diserahkan kepada korporasi investor, agar diolah menjadi kebun sawit.

Menyusul kejadian itu, kekerasan teror mental disebarkan bagi siapa saja yang menolak penyerahan tanah itu. Mereka diancam sebagai penghasut yang memecah-belah kesatuan masyarakat desa. Puncaknya terjadi pada tengah malam di akhir bulan Nopember yang lalu. Beberapa lembar pamflet ditempel oleh orang tak-dikenal di warung desa (kedai). Di pamflet itu terang-terangan disebut nama enam orang yang dituduh sebagai ‘komunis yang menjadi musuh desa’. Mereka pun mengadu kepada Pastor Keuskupan supaya diikut-sertakan dalam satu barisan derita penindasan.

Perbatasan desa yang tidak diketahui masyarakat secara jelas titik koordinatnya, juga digunakan sebagai akal-akalan penguasa pemerintahan lokal untuk merambah tanah yang sedang diusahai dan dikuasai masyarakat. Modus operandi yang digunakan oleh pejabat setempat, dengan menyebar khabar bahwa lahan yang diolah masyarakat dan Keuskupan adalah tanah adat Desa Muarabolak yang telah diserahkan oleh masyarakat dan tokoh adat kepada pemerintah untuk kebun sawit bagi investor. Tujuannya agar semua lahan itu ditinggalkan, termasuk oleh Keuskupan yang diposisikan seolah-olah sebagai penggarap tanah illegal. Sedemikian sederhananya mengusir warganegara. Padahal seharusnya pejabat kabupaten paham benar lebih dahulu, tentang apa dan bagaimana status tanah desa menurut hukum agraria dan hukum tata usaha negara.

Sebaliknya, Pastor Keuskupan kemudian menemukan peta Kabupaten yang resmi menunjukkan lokasi lahan yang dimaksud. Ternyata wilayah itu bukanlah termasuk Desa Muarabolak. Tetapi itu Desa Siantar CA. Dan rupanya, karena pejabat Kecamatan saat ini sedang berselisih kasus dengan Kepala Desa Siantar CA, sehingga jabatannya tidak mampu dipengaruhi untuk melawan masyarakat. Sejak itu, pejabat pemerintah lokal berhadapan langsung dengan lembaga Gereja resmi Keuskupan Sibolga. Surat-surat tanah Keuskupan dibatalkan dengan alasan berada di luar batas Kecamatan yang telah dimekarkan. Anehnya sirkus hukum itu. Entah dari mana para pejabat kabupaten mengetahui bahwa pemekaran Kecamatan bisa jadi alasan hukum untuk meniadakan hak atas tanah. Lebih aneh lagi, kini nyata di lokasi perbatasan Kecamatan, terdapat lima titik batas, yang selalu bisa digeser-geser semaunya oleh pejabat lokal, tergantung tanah siapa yang akan digusur dengan menarik garis dari titik batas mana yang dikehendaki.
Dari rangkaian tindakan sistematik itu, akibatnya kini Gereja dan masyarakat telah menjadi sahabat dalam satu penderitaan oleh teror penindasan. Mereka pun terancam diusir dari lokasi lahan demi tebar pesona investasi dan otoritas jabatan bupati.

Tanah Gereja Demi Sustentasi
Keraguan untuk terlibat langsung dengan kasus ini semula terbersit, apakah untuk membela proyek pribadi atau kepentingan Gereja. Namun kemudian, sikap profesi harus dinyatakan. Pun, ketaatan kepada pimpinan Gereja dilandaskan kepada scio cui credidi: saya tahu kepada siapa saya percaya dan kepada Dia saya taat.
Setelah berkoordinasi dengan pimpinan Gereja lokal, ditemukan adanya dasar referensi untuk legitimasi kasus di atas itu. Landasan hukumnya ada di dalam Codex Iuris Canonici (c.i.c.) atau Kitab Hukum Kanonik (KHK) Gereja Katolik. Pasal 1254 (1) jo. 1259 jo. 1274 KHK menyatakan pada intinya, bahwa Gereja sebagai badan hukum publik memiliki kedudukan yang sah untuk mengumpulkan harta benda guna mendukung sustentasi kepentingan Keuskupan dan mereka yang bekerja padanya.
Dengan itu mau ditegaskan, bahwa pembelaan Gereja dalam kasus di atas itu, bukan untuk fisik proyek an-sich, melainkan demi sustentasi Gereja. Pemahaman ‘sustentasi’ kira-kira berarti keberlangsungan eksistensi secara mandiri. Implikasi praktis dari sikap itu harus pula dijabarkan operasional dengan strategi dan taktis tindakan yang patut dan layak serta terukur. Karena itu, bukan ad-hominem bupati, camat, dan diri pejabat terkait lain in-persoon, yang hendak dilawan oleh Gereja. Tetapi di kala rakyat yang miskin, buta hukum, dan buta informasi kuasa, dibungkam tidak bersuara (voiceless) maka Gereja harus tampil terdepan untuk membela. Gereja sebagai guru moral harus berani keluar kandang, berhadapan dengan ketidak-adilan dan rangkaian penindasan. Masyarakat telah menjadi korban nyata dan beberapa pegawai negeri sipil telah dipindahkan terasing jauh dari keluarganya. Hanya karena mereka tidak sependapat dengan bupati yang menjabat. Para pejabat lokal lainnya sedang diintai.

Terhadap korban seperti itu, jika perlu dan layak, Gereja harus menjadi benteng suaka kemanusiaan (humanitarian asylum), sekalipun menghadapi penguasa yang resmi dan tak-resmi. Kiranya sikap itu menjadi landasan penghayatan spiritual praktik iman, kasih, dan harapan yang ditimba Gereja dari Tuhan sendiri yang Hidup dan menghidupinya.

Lintas-seksi/komisi organ intitusi Gereja dituntut melaksanakan peran praktis penghayatan iman, harapan, dan kasih dalam konteks itu. Antara lain, bagaimana Kerawam ikut terlibat berhadapan langsung dengan sirkus politik hukum akal-akalan kaum kuasa pejabat pemerintahan. Bagaimana Seksi Kitab Suci menemukan teks dan konteks refleksi kritis dari pengalaman duka derita lara kaum tertindas yang menghadapi ancaman teror mental di sekitar lahan mereka sendiri. Doa-doa apa yang akan didaraskan tiap hari oleh Legio Maria dan para Biarawan/ti di Lembaga Hidup Bakti. Bagaimana PSE terlibat dalam melakukan capacity building dan competence building bagi masyarakat desa petani miskin di lokas itu. Bagaimana Katekese disampaikan kepada masyarakat dalam komunitas basis manusiawi (human community) yang lintas-agama dan lintas-iman satu perjuangan bersama dengan Gereja lokal, dan sebagainya dan seterusnya. Layaknya, semua organ Gereja kategorial dan territorial patut ikut terlibat, seturut talenta karunia panggilan yang dihayatinya. Para imam setempat yang tertahbis telah dan sedang melakoninya. Kini bagaimana lakon serupa dari mereka kaum beriman tak-tertahbis di dalam Gereja yang sama dan serupa. ***

Penulis berprofesi Advokat, Dosen Hukum dan HAM, tinggal di Jakarta

Leave a Reply

Required fields are marked *.