Fiat Voluntas Tua

Si Boncel: Pondok Sejuta Cerita

| 5 Comments

Sekilas pandang kunjungan ke panti asuhan Si Boncel, 13 Desember 2009

Minggu siang itu hari cukup panas, dan kami sekeluarga berkendara menuju ke daerah Depok tempat panti asuhan SiBoncel berada. Cukup jauh tempatnya bagi mereka yang tidak terbiasa dengan daerah Jakarta Selatan. Alasan hari minggu kita menuju ke Boncel adalah karena Kelasi mengadakan acara kunjungan sebelum Natal ke panti asuhan dan memberikan beberapa sumbangan seperti susu dan mainan. Ketua panitia kita adalah Taufik Hidayat, yang sangat aktif mengajak kita semua dan mengingatkan mulai dari satu minggu sebelumnya, 6 hari, 5 hari, 4 hari, sampai 1 hari sebelum acara. Sehingga acara tersebut sudah terasa seperti peluncuran Space Shuttle di Cape Kennedy! Anyway, acara di mulai pukul 9 pagi, namun saya tidak bisa join karena kebetulan anak saya ada rapat misdinar sehingga saya menyusul jalan dari daerah menteng jam 11 siang.

Cukup jauh perjalanan, dan terik panas hari minggu mulai terasa mengalahkan AC di mobil. Untungnya kita di pandu oleh Uncle Google Maps di blackberry, sehingga tidak terlalu sulit menemukan jalan sempit bergapura yang merupakan jalan masuk ke panti asuhan Pondok Si Boncel. Terakhir saya ke Boncel adalah ketika masih di bangku SMP, bersama-sama sekolah dan sudah lupa sama sekali bentuknya. Puluhan tahun kemudian, saya tidak pernah sekali pun datang ke panti asuhan mana pun. Ever. Jadi ketika Taufik mengatakan bahwa ada acara ke Boncel, heck — why not? Bagaimana pun, anak-anak belum pernah pergi ke panti asuhan dan mungkin akan berguna bagi mereka untuk melihat bahwa ada dunia lain di luar sekolah, gereja, rumah, liga Inggris dan Playstation. :-)

Pondok si Boncel

Sesampainya di sana, kita di sambut ramah oleh tukang parkir dan tampak belasan mobil memadati pelataran Pondok si Boncel. Kita di tunjukkan ke sebuah padepokan, di mana sedang di laksanakan acara yang di bawakan oleh Kelasi (red: Keluarga Alumni Shekinah). Ruangan tempat acara besarnya sekitar 100-an meter persegi di penuhi oleh puluhan anak balita yang duduk di atas karpet merah yang terhampar di lantai. Beberapa suster  tampak ikut duduk di atas karpet dan memangku beberapa anak secara bergantian. Di sana-sini tampak balon-balon berterbangan di mainkan oleh anak-anak yang berlari-lari dengan gembira. Acara sudah dimulai dengan nyanyian dan tepuk tangan di bawakan oleh beberapa anggota Kelasi. Suasananya riuh rendah seperti pesta ulang tahun anak-anak pada umumnya. Dan ternyata teman-teman banyak sekali yang datang. Ada pak Yul Hendarto, ketua yayasan Vincentius, penggagas acara ini. Ketemu Taufik, Joko, Lily, Pino, Joseph, Rina, Albert (yang seperti biasa menyumbangkan puluhan kotak roti Pinot yang enak itu) dan beberapa lainnya. Joko datang dengan membawa anak juga.

Saya pun duduk dan memperhatikan acara yang di bawakan. Lebih tepatnya, saya memperhatikan anak-anak tersebut. Yang kecil, yang agak besar, yang berlari-lari, yang tertawa, yang menendang-nendang balon, yang minta di pangku sama kita-kita, yang teriak-teriak minta hadiah, sampai yang hanya termenung melihat ke kiri dan ke kanan. Saya seperti mencari tanda-tanda bahwa mereka berbeda dengan anak-anak pada umumnya. Sesuatu yang menjadi ciri khas anak panti asuhan. Sampai setengah jam saya perhatikan, saya akhirnya berkesimpulan bahwa mereka hanya anak-anak biasa. Sungguh. Acaranya tidak berbeda jauh dengan acara ulang tahun anak-anak yang sering saya hadiri. Pun interaksi, inisiatif dan gairah bermainnya tidak berbeda. Mungkin gambaran anak panti asuhan terlalu di lebih-lebihkan. Atau mungkin ada yang telah memperlakukan anak-anak ini dengan baik sekali sehingga mereka terlihat sama seperti anak-anak biasa yang di asuh dalam rumah dan keluarga.

Seperti membaca pikiran saya, Joko mengatakan bahwa pondok si Boncel adalah salah satu panti asuhan terbaik yang ada. Dan panti asuhan lain banyak lebih buruk daripada ini. Albert pun membantah dan ikut nimbrung percakapan dengan mengatakan bahwa panti asuhan Pondok Damai juga cukup bersih dan bisa menandingi si Boncel. Diam-diam saya berharap semoga Albert benar dan semua panti asuhan sebersih ini. Joko juga menjelaskan bahwa yang ada di Boncel ini adalah anak-anak yang berumur di bawah 6 tahun. Bagaimana setelah 6 tahun? Mereka akan di kirimkan ke Vincentius Putra dan Vincentius Putri. Di tengah pembicaraan, Joko mengajak kita untuk tour ke dalam panti asuhan yang langsung disambut oleh yang lain.

Kita masuk melalui gerbang depan dan memasuki lorong pendek yang menuju ke halaman hijau yang cukup luas di dalam. Agak mencengangkan bahwa panti ini terawat baik, dan kalau saya tidak tahu itu adalah panti — saya akan berpikir bahwa tempat tersebut adalah salah satu sekolah elit Katolik. Di tengah lapangan yang hijau dan rumputnya berpendar-pendar karena terik matahari, ada mainan anak-anak seperti ayunan, jungkat-jungkit, piring berputar dan tangga besi melengkung yang sering ada di tempat-tempat permainan anak-anak. Bahkan ada kolam renang yang lebih bagus daripada rata-rata kolam renang di villa-villa di daerah Puncak. Lapangan tersebut di kelilingi oleh ruangan-ruangan seperti ruang kelas. Kita masuk untuk melihat ruangan-ruangan tersebut. Joko, yang rupanya sudah sempat melihat-lihat sebelumnya, kini bertindak sebagai tour guide amatir.

Kita masuk ke dalam ruangan tempat tidur anak perempuan. Ada sekitar 20 tempat tidur dari besi, berjajar berhadapan di sebelah kanan dan kiri, di tata rapih dengan seprai berwarna pink. Di atas seprai tersebut ada bantal-bantal berbentuk hati dengan gambar mini mouse dan lain-lain. Cute. Jadi ini rupanya tempat tidur mereka. Namun sampai di sini, gambaran bahwa anak panti asuhan seperti di buku Oliver Twist kembali berkelebat. Saat ruangan terang di siang hari, ruangan tempat tidur tersebut terlihat biasa saja. Seperti melihat tempat tidur yang banyak di rumah sakit pada umumnya. Namun membayangkan bila sudah malam dan gelap, saya jadi bertanya-tanya, apa yg mereka rasakan? Apakah mereka sudah terbiasa tidur beramai-ramai, seperti kalau kita bersama teman-teman kita menginap di puncak bersama-sama? Ataukah mereka termenung di malam hari dan sering termenung bertanya-tanya tentang diri mereka? Tidak tahu juga. Hanya berharap semoga mereka dapat merasa beruntung bisa diasuh oleh para Suster yang baik itu.

Ruang Bayi

Kita keluar dan melihat-lihat ruangan lain. Ada ruang makan, dan beberapa ruangan yang kita juga tidak tahu apa gunanya (maklum, tour guidenya amatiran). Sampai akhirnya kita sampai ke ruang bayi.

Ruangan bayi tersebut ber-AC, dan kita tidak boleh masuk. Seperti ruang bayi di rumah sakit, ada jendela besar tempat orang dapat melihat dari luar. Sempat saya tertegun melihat jendela besar tersebut, untuk siapa jendela besar itu? Jelas bukan untuk orang tua si bayi seperti di rumah sakit. Tampaknya memang jendela tersebut di siapkan untuk pengunjung sehingga mereka dapat melihat bagaimana cara panti memperlakukan bayi. Atau mungkin untuk memberikan kesempatan bagi orang tua yang ingin melakukan adopsi? Di dalam ruangan ada dua perawat yang dengan telaten mengangkat bayi satu per satu dan memberikan mereka susu dan membebat mereka supaya tidak kedinginan. Di dalam ruangan bayi tersebut ada sekitar 15-an bayi dari berbagai macam usia. Rata-rata saya lihat semuanya di bawah 1 tahun umurnya. Ada yang masih kecil sekali dan baru lahir. Tangannya masih di tutup oleh sarung. Kecil sekali. Ada anak yang yang sudah bisa agak berdiri dan memegang pinggiran boks bayi. Ada yang matanya belum bisa terbuka, mengingatkan pada anak-anak saya sendiri saat mereka masih berumur 3 bulan-an. Di dalam ruangan tersebut di pasang radio, sehingga ada beberapa balita yang sambil memegang boks menari mengikuti irama. Ada yang tiba-tiba menangis dan sang perawat dengan sabar menepok-nepok si bayi dengan suaranya yang ramah dan sejuk.

Terus terang, melihat ruang bayi tersebut membuat perasaan menjadi campur aduk. God, they are so pure. Kebetulan di depan ruangan ada seorang perawat yang sedang berdiri dan menunggu, saya pun bertanya kepadanya — ada berapa banyak anak di Pondok si Boncel? Rata-rata setiap saat ada 80-an, jawabnya. Saat ini ada 85 anak, tambahnya lagi. Bagaimana mereka bisa sampai disini? Macam-macam. Ada yang di letakkan di depan panti. Ada yang di berikan oleh orang tuanya. Bermacam-macam. Saya tidak mau bertanya lebih jauh, mungkin karena saya takut nanti tidak nyaman mendengar jawabannya. Tapi betul-betul membuat saya berpikir. Bagaimana ini bisa terjadi? Kemana para orang tua mereka? Orang tua mana yang tega meninggalkan anaknya atau membuang anaknya seperti ini?

Mungkin pertanyaan saya terihat naif dan bahwa dunia tidak hitam putih, rasanya kita semua tahu. Setiap hal selalu ada alasannya. Seperti hari ini seorang teman berkata bahwa apa yang kita punya hari ini merupakan buah dari keputusan kita mungkin sepuluh tahun yang lalu. Di sesali atau tidak, sebuah keputusan di buat berdasarkan aura dan lingkungan yang ada pada saat itu. Salah atau tidaknya sebuah keputusan selalu terlihat dari buahnya. Jika buahnya adalah 15 bayi terbaring termenung di Boncel tanpa orang tua, tentu saja ada keputusan yang sangat salah yang dilakukan oleh para orang tua tersebut. Dan mungkin dari orang-orang terdekat di sekitar orang tua bayi tersebut. Dan juga orang-orang di sekitarnya lagi dalam lingkup yang lebih luas. Dan juga masyarakatnya. Di satu titik mungkin yang salah kita sendiri sebagai individu di masyarakat.

Ada banyak cara bayi bisa sampai di boncel. Namun saya sering mendengar mengenai kehamilan di luar nikah dan bagaimana bayi-bayi (yang beruntung) tidak digugurkan, kemudian di kirim ke panti asuhan karena orang tua yang mungkin masih muda belum siap menerimanya. Ada apa cerita di balik bayi-bayi tersebut? Di balik 15 bayi tersebut tersimpan 15 cerita. Apa ceritanya? Bagaimana mereka bisa sampai disana? Di balik 85 anak yang saat ini ada di Boncel terdapat 85 cerita sendiri. Sudah puluhan tahun Boncel berdiri, dan ratusan bahkan ribuan anak sudah pernah melewati dinginnya lantai di sana. Mereka punya cerita sendiri-sendiri bagaimana sampai mereka bisa ada di sana. Cerita yang tidak mereka mengerti, dan mungkin tidak akan pernah mereka mengerti seumur hidupnya.

Karena titik di mana si bayi akhirnya terpaksa di berikan kepada si Boncel adalah sebuah hasil dan sebuah titik kesimpulan. Kesimpulan dari cerita panjang yang tidak bisa selesai. Kesimpulan dari sebuah cerita yang tidak bisa di cari solusinya. Sebuah cerita di mana ratusan masalah di selesaikan dengan egoisme. Karena pengorbanan merupakan sebuah jalan panjang mendaki dan mempertahankan harga diri merupakan pintu terdekat.

Ini cerita soal orangtua yang sudah tidak bisa berbicara dengan anaknya, sehingga anaknya menjadi tidak terkendali. Ini cerita soal suami yang sudah tidak bisa berbicara kepada istrinya dan telah kehilangan selera untuk mempertahankan keluarganya — sehingga anak-anaknya menjadi broken home. Ini juga cerita soal seorang istri yang merasa terlalu capai untuk mengurutkan dan merajut kembali potongan-potongan hati yang masih ada, demi keutuhan keluarganya. Ini pun sebuah cerita di mana anak-anak tidak di bekali dengan pengetahuan dan pilar kokoh iman sehingga perjalanan mereka seperti daun di dalam badai. Well, ini juga cerita soal kita sendiri yang sering melihat keluarga lain bermasalah, namun karena bendera adat timur, kita menjadi segan untuk ikut campur.

Kalau ada satu hal penting yang saya dapatkan dari kawan-kawan saya yang aktif di gereja adalah: bahwa semua masalah telah di berikan oleh Tuhan kepada kita untuk kita bantu. Kita tidak bisa memalingkan muka terhadap masalah-masalah yang ada di sekeliling kita. Hari Sabtu lalu ada seorang teman saya yang dengan panik menelpon dan berkata bahwa temannya yang sedang hamil 4 bulan berniat menggugurkan kandungannya. Kenapa? Karena si calon ibu ini sakit hati dengan suaminya yang menelantarkannya. Wow. Begitu mudahnya. Teman saya pun bertanya apa yang harus di lakukan?

Saya berdiskusi dengan salah seorang teman saya yang cukup bijak, yaitu Ratna Ariani, dan mencoba supaya Ratna bisa bicara sebagai sesama perempuan. Ratna dengan sigap siap membantu. Karena Ratna tahu, bahwa calon ibu tersebut di sodorkan Tuhan kepada Ratna untuk di bantu. Save the baby first. Kalau ternyata si bayi berhasil di selamatkan nanti dan orangtuanya tidak menginginkan, berarti bisa-bisa Boncel ketambahan satu penghuni lagi 5 bulan ke depan. God help us, mudah-mudahan tidak demikian dan bayi tersebut bisa di rawat ibunya. Di titik ini sudah tidak ada yang bisa kita lakukan, namun seandainya bisa di bantu saat si calon ibu bermasalah dengan suaminya — mungkin tidak ada keputusan aneh-aneh yang harus di buat.

Ada teman saya yang mempunyai anak yang selalu bolos sekolah, karena orangtuanya sudah pisah rumah dan si ibu sudah menyerah kepada anak laki-lakinya. Si anak yang duduk di bangku SMP sehari-hari nongkrong di warnet dan merokok serta sering sekali bolos sekolah. Kita mungkin tidak ingin ikut campur dengan urusan tersebut, namun bila tidak di campuri — setelah ratusan keputusan salah berikutnya — kita mungkin harus menyerahkan seorang bayi ke Boncel di masa depan. Saat masih duduk di bangku SMP lah kita harus ikut campur dengan mencoba mendekatinya dan merangkulnya supaya dia bisa membedakan mana yang baik dan mana yang salah. Jika orangtuanya sudah tidak bisa bicara lagi, mungkin kita bisa jadi jembatan supaya komunikasi yang terputus dapat tersambung kembali. Tuhan sudah mengirim berita, bahwa ada anak SMP bermasalah yang harus di bantu. So, we need to do something about it. I need to do something about it.

Peka dan Peduli

Sambil mengunyah roti Pinot, kita pulang dari Pondok si Boncel. Saya menceritakan kepada anak-anak saya mengenai konsep anak-anak panti asuhan. Walau pun mereka mengerti, tapi tampaknya mereka belum melihat emosinya. That’s ok, paling tidak sudah diperkenalkan kepada komunitas lain yang lebih tidak beruntung daripada mereka. Dan memikirkan anak-anak di panti tersebut menimbulkan pemahaman tersendiri bahwa masih banyak tugas yang harus kita lakukan sebagai anak-anak Tuhan. Untung ada teman-teman Kelasi yang mencoba menghibur anak-anak tersebut. Namun bagaimana dengan peran kita sendiri? Rasanya untuk membantu sesama, kita tidak harus pergi ke daerah gempa dan membantu dengan giat. Kita tidak harus mencoba memperjuangkan perdamaian dunia atau kerusakan hutan. Kita pun tidak perlu ribut-ribut soal pemanasan global. Kalau kita ingin membuat dunia menjadi lebih baik, mari kita coba untuk lebih peka dan peduli terhadap masalah di sekeliling kita. Mulai dari saudara-saudara kita, teman-teman kita, kerabat dan orang-orang yang ada di sekitar kita. Adakah mereka yang perlu di bantu? Adakah mereka saat ini sedang mengalami beban berat dan tidak bisa keluar dari masalah? Dalam kapasitas kita untuk membantu mereka? Adakah teman kita yang bisa membantu mereka?

Ada yang bilang bahwa kepakan sayap seekor kupu-kupu di Afrika bisa menimbulkan badai besar di belahan dunia lain. Who knows? Saat kita mulai membantu para jiwa-jiwa bermasalah, mungkin kita telah membantu menyelamatkan belasan anak dari kemungkinan buruk di masa depan. Karena Pondok si Boncel adalah sebuah lukisan besar nan indah yang di lukis oleh artis-artis terbaik dari yayasan Vincentius, di atas kanvas yang telah penuh goresan tajam. Lukisan seperti itu tidak banyak, dan harusnya lukisan itu di tanam dalam di relung hati kita masing-masing — supaya kita ingat untuk tidak pernah memalingkan muka dari beban sesama kita. Semoga.

Tuhan memberkati,
-izak

5 Comments

  1. YANG MENDIRIKAN YAYASAN SI BONCEL ADALAH ORANG YANG PEKA DAN HATI MULIA AKU SALUUUUTTTTTTT

  2. Saya sangat ingin berkunjung ke panti ini, mohon info. detail alamatnya karena saya tidak paham daerah jaksel, posisi saya di mangga dua, jakpus. Terima kasih. Tuhan memberkati !

  3. Mau tanya, arah dari jalan wijaya I kebayoran baru, JKSEL ke Si Boncel Jaraknya dan aahnya gimnana ? mohon info

    • Terima kasih mbak Aida sudah mampir ke blog ini, terima kasih juga ikut tergerak untuk berbagi dengan anak-anak di Pondok Si Boncel.
      Ancer-ancernya daerah Jagakarsa dekat kampus Universitas Pancasila, belok kanan ke Jl Mohamad Kafi II. Saat bercabang pilih ke kiri masuk jalan Desa Putera. Ini alamatnya : Jl. Desa Putera No. 5 RT 001 RW 06 Srengseng Sawah Jagakarsa Jakarta Selatan DKI Jakarta. Telp (021) 7271014. Untuk lebih mudahnya lihat di google map https://maps.google.co.id search : Pondok Si Boncel Desa Putera.
      Mungkin sebaiknya bisa telpon dulu agar bisa diatur waktu terbaik untuk kunjungan.
      Selamat melayani.

      AMDG

  4. Makasih atas infonya. Mau nanya lagi bu Apakah sekitarnya ada tempat penginapan / wisma soalnya aku dari luar Jakarta. Salam

Leave a Reply to Laurensia Hence Cancel reply

Required fields are marked *.