Fiat Voluntas Tua

Selintas Seminar “Menikah: Berkah atau Musibah?”

| 3 Comments

Hari ini diselenggarakan seminar dengan tema “Menikah: Berkah atau Musibah?”  oleh Fakultas Ilmu Pendidikan Jurusan Kateketik Universitas Katolik Atmajaya yang bekerjsanama dengan Komisi Kateketik KAJ. Dalam seminar yang berdurasi dua jam lebih ini dihadiri oleh sekitar 250 peserta yang beragam latar belakang yang memenuhi Aula Katedral. Mulai dari mahasiswa dan mereka yang belum menikah, ada juga pasangan muda dan yang mapan serta tampak pula beberapa orang suster ikut sebagai peserta.

Seminar dibuka oleh Rm Hardijantan Pr, selaku Ketua Komisi Kateketik KAJ, kemudian saya bertugas sebagai moderator mendampingi nara sumber utama Rm Andang Binawan SJ, Vikep KAJ yang juga sebagai Ahli Etika dan  Hukum Gereja Katolik.  Setelah penyampaian makalah secara singkat, sesi tanya jawab jauh lebih menarik karena memunculkan berbagai pertanyaan  yang timbul disekitar kita.

Rm Hardijantan menyatakan keprihatinannya dimana usia pernikahan begitu pendek, tayangan infotainment seolah menjadi pembenaran. Sementara dalam paham pandangan Gereja Katolik, pernikahan adalah suatu hal yang istimewa yang harus dipersiapkan dengan matang. Dalam pelayanan pastoralnya banyak sekali pasutri yang mengalami pahit getir dan akhirnya mengambil kesimpulan bahwa pernikahannya merupakan musibah dalam kehidupannya. Tentu harapannya setiap kita yang dipanggil menjadi katolik perlu memahami hakekat pernikahan secara katolik dan menerimanya sebagai suatu rahmat.

Romo Andang menggaris bawahi tentang hakekat Sakramen dalam iman katolik sebagai tanda kehadiran Tuhan dalam menyertai kehidupan manusia. Demikian pula sakramen perkawinan, yang diterimakan oleh kedua mempelai (bukan diterima dari romo), adalah merupakan tanda bagi satu sama lain akan kehadiran Tuhan. Si istri adalah tanda cinta Tuhan bagi sang suami, dan sang suami pun merupakan tanda cinta Tuhan bagi sang istri. Perkawinan itu diharapkan juga menjadi tanda cinta Tuhan bagi anak-anak yang kemudian dilahirkan dari pasutri ini. Dan akhirnya keluarga ini, menjadi tanda cinta Tuhan bagi masyarakat disekitarnya. Kalau ini bisa dilakukan maka seyogyanya setiap pernikahan katolik melahirkan keluarga katolik yang membawa rahmat, tanda cinta Tuhan bagi orang-orang disekitar mereka. Sehingga Ajaran Hukum Gereja menyatakan bahwa pernikahan katolik itu memang hanya sekali seumur hidup, bukan selamanya, tapi seumur hidup sampai salah satu pasangan meninggal dunia. Selain itu pernikahan katolik melibatkan perempuan dan laki-laki dalam posisi yang setara, yang sama pentingnya dan sama berharganya dihadapan Allah. Sehingga hubungan antara keduanya adalah hubungan yang setara, tidak satu mendominasi yang lain, tetapi saling mengasihi, saling menghormati, saling menerima sehingga justru masing-masing diakui keberadaannya dan tumbuh bersama karenanya.

Tentu tidak mudah mewujudkannya, mengingat perkawinan melibatkan dua pribadi, laki-laki dan perempuan, yang unik dan sangat berbeda. Kalau boleh dibuat ilustrasi, hidup pernikahan itu adalah seperti  dua orang yang sepakat naik gunung menggunakan sepeda tandem. Naik sepeda mendaki gunung saja sudah sulit, apalagi berdua dengan sepeda tandem, apalagi dalam hitungan puluhan tahun. Dituntut kebersamaan, dituntut kecepatan atau komitmen dari kedua belah pihak. Menjadi lebih sulit lagi bilamana anak-anak lahir didalamnya. karena mereka akan dituntut komitmennya  untuk  tidak hanya memelihara dan memenuhi kebutuhan anak-anak tapi wajib mendidik anak-anak dengan iman katolik.

Selanjutnya pada sesi tanya jawab, yang lebih banyak disampaikan secara tertulis,  romo Andang menjelaskan beberapa prinsip yang perlu dipahami dalam iman katolik, beberapa diantaranya adalah sbb:

  1. Bagaimana mengetahui jodoh saya? Apakah menikah itu takdir atau nasib? Untuk pertanyaan ini jawabannya bukan bagaimana mengenali jodoh kita, tapi justru mencari tahu apa panggilan Tuhan bagi saya. Hanya ada dua panggilan hidup yang Tuhan berikan, panggilan untuk menikah dan panggilan untuk hidup selibat dengan tidak menikah. Yang tidak menikah pun punya pilihan, apakah akan menjadi biarawan atau tetap sebagai awam. Masing-masing memiliki tugas perutusan dengan tantangan tersendiri. Yang tidak menikah seperti romo Andang dan romo Hardi pun bisa menjadi bahagia. Ada juga para jomblowati yang tidak menjadi biarawati, juga hidup bahagia. Kesulitannya mengenali panggilan Tuhan ini lebih sering dialami karena kita sendiri sibuk dengan doa kita, sibuk dengan kegiatan kita, sehingga tidak punya waktu cukup untuk ‘mendengar’ dan merenungkan panggilan Tuhan. Itupun perlu disertai usaha yang konkrit juga, jangan hanya mencari jodoh dengan Novena keliling berbagai gua Maria. Yang ada hanya ketemu koster lah, tapi ikutilah berbagai komunitas yang memungkinkan pertemuan dengan lawan jenis yang seiman.
  2. Apakah pernikahan katolik tidak bisa diceraikan? bolehkah menikah kembali dengan orang lain? Setiap pernikahan katolik tidak bisa diceraikan kecuali karena maut yang memisahkan mereka. Tetapi ada beberapa kasus dimana pernikahan katolik bisa dibatalkan, misalnya karena ada unsur  penipuan dan adanya unsur paksaan. Inipun perlu dibuktikan dan dipelajari, sehingga membutuhkan proses yang panjang. Keadaan menjadi sulit bila sudah ada anak-anak yang dilahirkan. Gereja tidak mengenal perceraian sipil, jadi bilamana pasangan tersebut belum diputuskan statusnya secara hukum gereja, maka mereka tetap tercatat sebagai pasangan katolik walaupun sudah bercerai secara sipil. Kalaupun ada yang bisa menikah lagi secara katolik, jangan-jangan ada unsur pemalsuan surat baptis. Oleh karenanya proses pernikahan secara katolik perlu dipersiapkan dengan matang, perlu proses pengenalan lewat  masa pacaran sebelum melalui proses kanonik oleh pastor setempat.
  3. Bagaimana membentuk pernikahan katolik yang langgeng? Tergantung seberapa kuat membangun pilar pernikahan yang mencakup persiapan fisik, sosial dan ekonomi. Jangan bercerai kalaupun tidak ada anak yang dilahirkan, mungkin ada maksud Tuhan  lainnya yang kita belum fahami. Jangan juga paksakan menikah kalau keduanya belum memiliki pekerjaan/penghasilan untuk menopang keluarga. Perbedaan fisik saja sudah dapat menjadi potensi konflik, apalagi ditambah dengan tantangan finansial. Banyak keluarga muda mengalami kesulitan di awal pernikahannya karena dua hal ini. Maka seyogyanyalah jangan lagi ditambah dengan perbedaan iman antara pasutri, karena perjalanan yang ada didepan sudah pasti berat dan akan menjadi semakin bertambah bebannya.
  4. Single parent, lesbian dan gay apakah juga panggilan? Pernikahan haruslah disadari sebagai keputusan dua orang perempuan dan laki-laki yang bersedia saling mencintai. Bukan karena terpaksa dan dipaksa karena suatu hal (mengandung misalnya). Maka melahirkan bayi sebelum pernikahan jauh lebih baik daripada memaksakan pernikahan yang terburu-buru. Bila kemudian keduanya sudah lebih siap, maka pernikahan bisa dilangsungkan. Lesbian dan gay bisa timbul karena berbagai sebab. Tetapi kembali kepada hakekat perkawinan katolik yang hanya diberikan antara perempuan dan laki-laki, maka bagi kelompok ini pilihannya hanyalah selibat, tidak menikah tanpa perlu menjadi rohaniwan/ti.

Kesimpulan dari seminar ini adalah adanya kesediaan kita untuk selalu mendengar dan menanggapi panggilan Tuhan melalui berbagai peristiwa kehidupan. Bagi yang sudah menikah, apa yang dialami saat ini melalui kesulitan bahkan tangisan pun bisa berbuah rahmat bagi orang lain dikemudian hari. Sejauh mana kita membangun relasi dengan Kristus, akan memudahkan kita mengenali panggilan hidup, apakah untuk melajang bersama Dia atau membentuk keluarga bersama Dia? Apapun pilihannya, menikahlah kalau memang membuat hidup dua orang yang telah sepakat ini yakin akan dapat saling membahagiakan pasangannya. Tapi kalau tidak, jomblopun bisa bahagia bersama Tuhan.

Semoga yang masih jomblo tidak resah dan takut karenanya, demikian pula yang sudah terlanjur menikah, tetap percaya dan memiliki pengharapan bahwa Kristus adalah setia menemani kita dalam penziarahan hidup berkeluarga. Makalah seminar ini dapat diakses di http://www.parokimbk.or.id/Rm_Andang.pdf

3 Comments

  1. Saya sebenarnya tidak setuju dengan perceraian, tetapi untuk satu dan lain hal kadang perceraian dapat & harus ditempuh demi masa depan anak-anak dan kedua orang tuanya. Apakah seorang anak ataupun ayahnya ataupun ibunya tidak berhak untuk hidup bahagia? Apakah setelah bercerai ayahnya ataupun ibunya ataupun anaknya pasti tidak bahagia? atau apakah anak yang hidup dari keluarga broken home pasti kurang ajar dan akan broken home juga nantinya? Kalau kita jawab ya, maka saya katakan bahwa jawaban tersebut adalah jawaban PREMATEUR atau JUMPING OF CONCLUSION, karena semuanya itu belum terjadi dan kitapun belum melihat hasil yang sesungguhnya. Saya pernah berbincang dengan Romo di KAJ saya lupa namanya (beliau yang mengurusi tentang perceraian) dan waktu saya tanyakan hal tersebut beliaupun tidak dapat menjawabnya mengingat kebahgianan adalah hak setiap manusia, dan beliaupun menghargai pendapat itu. Tetapi walaupun perceraian itu tidak dapat dilakukan oleh gereja katholik tetapi kalau kita baca secara seksama di Injil Matius Bab 19 ayat 9 ” Barang Siapa menceraikan isterinya, kecuali karena zinah, lalu kawin dengan perempuan lain , ia berbuat zinah” maaf romo ayat ini saya dapatkan setelah saya baca mazmur selama lebih kurang selama 14 hari termasuk bukti-bukti perzinahan isteri saya di Lembah Karmel pada waktu bulan maret 2009. Mazmur yang selalu saya bacakan sebelum tidur dan ketika mata saya terbuka adalah tentang permohonan penghakiman dan keadilan dari Tuhan, dari pasal 1 max sampai pasal 23. Kalau suatu saat saya ada kesempatan dan dapat berjumpa dengan romo mungkin akan sangat senang untuk dapat bertukar pikiran. Tadinya saya ingin mengajukan pembatalan perkawinan, tetapi setelah saya pikir lagi lebih baik tidak usah diurusin lagi, biarkan saja kalaupun dia mau nikah lagi itu juga hak dia dan kalaupun suatu saat saya mau nikah lagi itupun juga hak saya. Yang penting saat ini anak-anak sudah diputuskan di bawah pengasuhan saya oleh hakim di PN Tangerang.

  2. Setuju banget mbak riva. Kalau saja setiap orang menyadari bahra pernikahannya selayaknya menjadi berkah bagi dirinya, bagi pasangan hidupnya, bagi anak-anak dan bahkan bagi masyarakat disekitarnya, maka alangkah indahnya Indonesia dipenuhi pasutri-pasutri yang selalu menjadi berkah bagi sekitarnya.

Leave a Reply

Required fields are marked *.