Fiat Voluntas Tua

Hati Nurani: Masih adakah?

| 0 comments

Siapakah di antara kamu yang tidak segera menarik ke luar anaknya atau lembunya kalau terperosok ke dalam sebuah sumur, meskipun pada hari Sabat?

Saat mengunjungi dusun Sumowono di Kabupaten Semarang beberapa hari lalu, saya menghadiri pertemuan bulanan para pendeta dan pengerja gereja-gereja setempat. Seorang hamba Tuhan dari Magelang memberikan renungan tentang tantangan bangsa ini kedepan. Tingginya aborsi, korban narkoba HIV Aids, maraknya korupsi dimana-mana, kerusakan lingkungan, kemiskinan dan pembodohan, minimnya sarana kesehatan, kriminalitas yang semakin mengkhawatirkan dan banyaknya bencana alam bahkan dampak krisis global menghantui PHK dimana-mana. Hal ini semua menjadi suatu keprihatinan tersendiri. Seharusnya ini semua menggugah hati setiap pemimpin baik itu pemimpin keagamaan, eksekutif, legislatif, yudikatif bahkan media. Dalam kondisi demikian haruslah dimiliki sense of crisis, kepekaan mengenali skala prioritas dalam mengambil kebijakan2. Kita tidak bisa terlena dalam situasi nyaman, seolah-olah everything is OK. Kita harus bisa membaca tanda-tanda zaman dan memperkirakan apa yang akan dihadapi anak-anak kita 5-10 bahkan yang akan terjadi tahun depan. Maka dengan demikian bisa dipersiapkan langkah-langkah bijak untuk menyikapinya.

Sayangnya tidak semua bahkan banyak pemimpin tidak tanggap. Business as usual. Sikap santai yang menganggap semua berjalan normal, selama tidak ada hubungannya dengan saya. Atau justru membuat kebijakan yang sama sekali tidak membela kepentingan rakyat yang kebanyakan miskin fasilitas dan terpinggirkan. Mengapa itu terjadi? Ini dikarenakan mereka tidak punya hati, tapi yang mana? Ada tiga macam hati : hati sebagai lever dalam tubuh kita yang menghancurkan racun dan lemak, hati sanubari yang mengarah kepada keinginan pribadi dan hati nurani yaitu hati yang dipenuhi terang Ilahi. Seorang pemimpin yang memiliki dan mendengarkan hati nuraninya sendiri, baru bisa melihat dan perduli akan hati nurani orang lain. Ia bisa melihat apa yang dirasakan dan dibutuhkan oleh orang-orang lain.

Maka perikop hari ini mengingatkan kita untuk memelihara hati nurani, hati yang dipenuhi oleh terang Ilahi. Dengan demikian kita terus menerus memiliki kepekaan untuk mengasah hati nurani sendiri dan kemudian melihat dan memperhatikan hati nurani orang-orang disekitar kita. Yesus tahu persis apa yang ada dalam hati para orang Farisi itu, mereka sudah tidak memiliki hati nurani. Hati sanubarinya dipenuhi segala aturan-aturan manusia. Karena memang untuk itulah mereka dipandang sebagai pemuka agama yang harus mentaati aturan agama.

Yesus mengingatkan bahwa memiliki kasih yang mengutamakan keselamatan orang lain jauh lebih tinggi dari pada aturan-aturan manusia yang dibuat. Hati yang memiliki kasih yang demikian adalah hati yang telah diterangi rahmat Ilahi. Semoga kita senantiasa melatih diri kita untuk menerima rahmat Ilahi setiap saat, sehingga kita semakin peka dan perduli akan kebutuhan orang-orang disekitar kita dan tidak terhalangi oleh keinginan-keinginan pribadi.

=====================================================================

Bacaan : Lukas 14:1-6

14:1 Pada suatu hari Sabat Yesus datang ke rumah salah seorang pemimpin dari orang-orang Farisi untuk makan di situ. Semua yang hadir mengamat-amati Dia dengan saksama.
14:2 Tiba-tiba datanglah seorang yang sakit busung air berdiri di hadapan-Nya.
14:3 Lalu Yesus berkata kepada ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi itu, kata-Nya: “Diperbolehkankah menyembuhkan orang pada hari Sabat atau tidak?”
14:4 Mereka itu diam semuanya. Lalu Ia memegang tangan orang sakit itu dan menyembuhkannya dan menyuruhnya pergi.
14:5 Kemudian Ia berkata kepada mereka: “Siapakah di antara kamu yang tidak segera menarik ke luar anaknya atau lembunya kalau terperosok ke dalam sebuah sumur, meskipun pada hari Sabat?”
14:6 Mereka tidak sanggup membantah-Nya.

Leave a Reply

Required fields are marked *.