Beberapa hari, kita mendengar kata-kata Yesus yang mengutuk orang Farisi dan ahli Taurat. Dari kutuk demi kutuk kelihatan bahwa Yesus mengajak kita semua untuk memperhatikan satu hal, yaitu hidup rohani. Kerohanian menjadi pusat hidup kita, maka bila hidup rohani beres, hidup jasmani beres juga. Di bulan Oktober ini, kita berdoa bersama Maria dengan doa Rosario, dengan maksud agar hidup rohani kita tergali. Satu yang diperlukan, yaitu ketekunan dan kesabaran. Maka, di bawah ini saya kirimkan untuk Anda semua suatu renungan bagaimana Bunda Maria sendiri menggali kehidupan rohaninya lewat peristiwa hidup sehari-hari yang ia alami. Kadang ia mengalami peristiwa kecil dan sederhana, tetapi kadang ia mengalami peristiwa menyangkut hidup dan mati.(R. Maryono, SJ)
Semula air itu adalah airmata. Air itu mengalir dari sepasang mata Maria. Oh Bunda, mengapa dukamu menyimpan sukacita? Dan penderitaannu menyembunyikan rasa mulia?
Mungkinkan sungai mengalir dari sepasang mata duka? Samudera duka! Pada gelombang-gelombang ombaknya, oh Bunda, bola matamu terhempas-hempas oleh airnya. Dari mana dukamu bisa menyala menjadi mutiara?
Tak ada tanda-tanda air akan mengalir. Kemarau telah berakhir, tetapi masih tersisa sengat-sengat panasnya. Bermain-main kerbau-kerbau dan kambing-kambing, berlari-lari di ladang, bermesraan sepasang-sepasang menyambut hujan tak kunjung datang.
Burung-burung beterbangan. Angkasa ramai dengan burung manyar. Dari utara angin datang menghantarkan mereka membuat sarang. Langit di mana hujanmu? Mengapa tak segera kau buka pintu-pintumu? Mengapa hanya kaupamerkan kegagahanmu? Kauejek penderitaanku yang sedang haus akan hujanmu dengan injakan kaki-kaki kuda bintang-bintangmu? Dengarkanlah jeritan sungai-sungai, haru gemericik dengan ratap tangis ikan-ikan.
Hujan tersimpan dalam kebesaran alam. Dan di hatinya manusia menyimpan airmata. Mengapa tak bisa tercurah airmataku menjadi tangis yang menyuburkan alam? Tapi di matamu, oh Maria, airmata itu makin deras bercucuran.
Aku belum bisa menangis. Kauambil semua tangisku, menjadi limpahan airmatamu. Aku tidak bisa menangis karena hatiku keras. Kauhujankan kembali airmataku yang tersimpan dalam genangan airmatamu, supaya cairlah kekerasan hatiku.
Seharusnya airmata itu mengalir karena penyesalan dosa-dosaku. Seharusnya karena airmata, aku tahu bahwa aku ini makhluk yang remuk redam di hadapan Allah, pakaian kemuliaanku sudah direnggut, dan aku telanjang seperti Adam dan Hawa.
Seharusnya karena airmata, aku adalah penyanyi duka yang mau tak mau harus menyanyikan madah, “Sion yang sudah menjadi gurun dan Yerusalem yang sunyi sepi” (Yes 64,10). Andaikan aku menangis, airmata akan mencegah aku bersuara main kecapi karena aku sedang berada di tanah perkabungan dosa. Lebih baik aku menggantungkan kecapi-kecapiku di pohon-pohon gandarusa.
Oh betapa tiadanya airmata telah menjadikanku orang yang berpura-pura! Airmata itu adalah tanda kelemahanku, jika airmata itu mengalir, Allah dapat menyelamatkanku dari dosa-dosaku, karena lenyaplah segala kesombonganku. Kapankah aku dapat menyapa Tuhan dari jurang yang dalam, jika aku tak pernah mencucurkan airmata? Kapankah aku dapat merasakan keagungan Tuhan yang dapat menyelamatkanku, jika aku tak mau mengakui kepapaan dan kemelaratanku yang tak berdaya apa-apa terhadap dosa?
Betapa aku ingin menangis atas semua itu. Tetapi aku tak punya airmata! Kupandang kau, oh Bunda. Dan di matamu tersimpan airmataku. Ajarilah aku menangis dengan tangismu, supaya turun airmata yang seharusnya menjadi kepunyaanku.
Betapa aku ingin menangis atas semua itu. Tapi aku tak punya airmata! Kupandang, oh Bunda. Dan di matamu tersimpan airmataku. Ajarilah aku menangis dengan tangismu, supaya turun airmataku yang seharusnya menjadi kepunyaanku.
Lupalah aku akan air. Lupalah aku akan hujan. Lupalah aku akan kekeringan batin, di mana kemarau masih kejam dengan sengat-sengatnya. Aku hanya ingin tenggelam dalam airmatamu.
Semua baik jika Tuhan ada di sana. Semuanya baik jika Tuhan yang mencipta. Tuhan mempunyai beribu-ribu firdaus karena kehadiranNya. Firdaus tidak hanya indah di Taman Eden yang basah dengan sungai Pison dan Gihon, Efrat dan Tigris. Firdausmu indah di genangan airmatamu. Oh Maria, Firdausmu itu basah dengan sungai-sungai dukaku dari empat penjuru. Dan tenggelam di sana, Tuhan pernah dengan air-airnya. Aku pun ingin mandi dengan genangan air firdausmu.
Kebesaran Tuhan tak hanya tampak ketika Ia memberkas ikatan bintang Kartika dan melepaskan belenggu bintang Belantik serta menggiring bintang Biduk. Kebesaran Tuhan pun tampak dalam ratapan duka ikan-ikan yang habis harapan akan hujan, tak berdaya di bawah kekuasaan langit dengan kegagahan bintang Jaran Dawuk.
Keagungan Tuhan tidak hanya muncul dalam kegagahan kuda Nil. yang menderum di bawah bayang-bayang kembang teratai dan dikelilingi pohon-pohon gandarusa. keagungan Tuhan menangis dalam sepasang mata kijang yang merindukan air di musim hujan.
Agunglah Tuhan karena Ia membuat gunung Libanon melompat-lompat seperti anak lembu dan gunung Siryon seperti anak banteng. Agung jugalah Tuhan di sungai-sungai desaku yang kering, ketika hujan masih tersimpan dalam rahasia alam. siring dengan nyanyian pohon bambu ketika ke barat angin turun dari gunungku yang kering di utara.
Nyanyian syukur atas kemenangan Tuhan tidak hanya milik raja-raja. Tuhan pun menyayangi yang hina dina dan meninggikan yang rendah. Itulah nyanyian syukurmu, oh Maria, ketika Allah berkenan melawati umatNya yang hina dina.
Dan karena nyanyian syukur itu, aku bisa menyanyi bersama Santa Theresia dari Kanak-kanak Yesus: Ketika kulihat Sang Abadi dibungkus dengan potongan kain papa, dan saat kudengar Sang Sabda Ilahi menjeritkan tangis lemah, oh ibundaku tercinta, tak iri lagi aku akan para malaekat, karena sekarang Tuhan mereka telah menjadi saudaraku tercinta. Betapa aku mencintaimu, oh Maria, telah kaubuat Bunga Ilahi mekar di tengah kita.
Nyanyian syukurmu itu pula, Maria, yang membuat orang menyanyikan pujian: Non coerceri maximo, contineri tamen a minimo divinum est.
Oleh yang paling besar ia tak terkurung, namun dalam yang paling kecil ia tertampung. Ia itulah yang ilahi. Allah selalu lebih besar daripada alam semesta ini. tetapi di Betlehem Ia menjerit lemah sebagai anak Maria yang papa.
Kaulah Maria yang paling tahu akan arti jeritan itu. Kaulah yang paling merasa betapa ketakberdayaan Yang Maha Kuasa ketika Ia menggapai-gapai buah dadamu, minta minum dari susu kemiskinan manusiamu.
Kau bawa lari Dia ke Mesir. Dulu bangsamu mengungsi ke mesir karena kelaparan. Tuhan telah mengantarkan mereka pulang ke tanah terjanji. Sekarang, dari tanah terjanji yang berlimpah susu dan madu itu, mereka mengusir Tuhan ke tanah pengungsian. Itulah hukum dosa yang tak tahu berterimakasih: manusia mengusir Tuhan, padahal Dialah yang telah memberi keselamatan dan kesejahteraan.
Dengan bayi di tanganmu, kaulewati padang gurun yang kering dan sepi. Oh malam kegelapan padang gurun. Tuhan terlalu lemah untuk bercahaya. Ia mendekap dalam pelukan bundaNya. Inilah malam doa, dimana rahmat masih tersembunyi dalam air matamu. Dan Tuhan iku merasakan dingin dan gelapnya malam.
Di malam gelap padang gurun ini, oh Maria, manusia lemah pernah memberontak, terburu ingin melihat pagi yang jernih. Kini Tuhan sendiri tenggela dalam malam dosa itu. Betapa tabah kau Maria, kau terima malam itu. Kau tetap percaya, anak bayi tak berdaya di tanganmu dapat menjadi bulan bagi malam gelapmu. Dapatkah aku tetap percaya, bahwa Tuhan tetap menolong aku, ketika Ia kelihatan tak berdaya di tengah penderitaanku?
Kau diam. Kau pandang bulan, kau pandang bola mata Puteramu. Betapa lain kedua sinar itu. Bulan itu terang dan mata Puteramu remang-remang. Kau tak tergoda akan keindahan bulan, di mata anakmu kaulihat kehangatan. Kaubenamkan dirimu dalam kehangatan itu, tetapi makin menggigil dirimu oleh malam dingin yang kering di padang gurun itu.
Apalagi ketika kaulewati kembali, dengan hatimu yang suci, Masa dan Meriba. Di sinilah manusia pernah memberontak dan mencobai Tuhan. Mereka menuduh Tuhan ingin membunuh mereka dengan membiarkan mereka mati kehausan. karena amarahnya mereka hendak melempari Musa dengan batu.
Bekas pukulan tongkat Musa ada di sana. Masa dan Meriba telah penuh dengan air. Tetapi air itu tak dapat memuaskanmu. Air itu makin membuat kau haus menyanyikan lagu: Jangan keraskan hatimu seperti di Meriba, seperti di Masa di padang gurun, pada waktu nenek moyangku mencobai Aku, meguji Aku, walau mereka melihat perbuatanKu.
Siang dan malan kaulewati di hadapan kedahsyatan Laut Merah. Dari hatimu pun meluap dengan puji-pujian Paskah. Kau lupa akan keganasan ombak-ombaknya, karena kau terkenang kembali kedahsyatan tangan Allah. Apa kuasamu, hai laut, dengan mudah kedahsyatan airmu terbelah. menjadi dasar tanah, ketika padamu diulurkan tangan Allah. terhempas airmu menjadi tembok di kiri kanan, dan bangsa itu keluar di bayang-bayangi malaekat Allah, melalui dasar Laut Merah.
Tuhan, Engkaulah yang memerintah kecongkakan laut, pada waktu itu naik gelombang-gelombangnya. Engkau juga yang meredakannya. Bisakah kau nyanyikan lagu itu, ketika kini terhampar di hadapanmu bentangan Laut Merah, dan di tanganmu Tuhan sendiri menggeletak lemah?
Lewat lautlah jalanMu dan lorongMu melalui muka air yang luas…. Apa arti kedahsyatan Tuhan ketika bayi itu menangis melihat kegagahan Laut merah dengan amukan gelombang-gelombangnya? Tuhan terhibur dalam kesederhanaanmu, oh Maria. Di dadamu, laut mengalir menjadi airmata. DitinggikanNya kebesaranNya atas laut, dan Ia berjalan dalam jalan airmata.
Tuhan telah meremukkan kepala Rahab. Dan kini Ia diejek oleh Dagon, berhala Mesir itu. manusia hanya ingat akan kebesaran Tuhan ketika ia menumbangkan pohon-pohon aras Libanon. Dan kini dalam meminta agar pohon-pohon rindang di tanah pengungsianNya merendahkan dahan-dahannya, untuk melindungi diriNya dari terik matahari.
Sampailah engkau di Mesir, dan masuklah engkau ke Kota Matahari. Kota panas dengan berhala Matahari makin kejam karena dipuja. Di sini manusia belajar menyembah anak lembu. Sion menghilang. Dan kau Maria, harus tetap bergulat untuk mengenangkannya, di kota yang panas dengan berhala.
Kenangan akan Sion membuatmu makin menderita. Betapa sulitnya bernyanyi bagi Tuhan yang bersemayam di Sion, sementara di tanah pengungsian ini Tuhan kalah dengan sinar matahari. Allah diturunkan tahtaNya hanya oleh puji-pujian terhadap berkas-berkas sinar matahari, bagaimana mungkin hatimu tak tertusuk ketika kau terkenang akan Allah yang tampil bersinar dari Sion, puncak keindahan?
Kau sungguh merasakan, apa artinya Yerusalem yang sudah menjadi sunyi, dan Sion menjadi padang gurun. Sion telah menghilang di tanah pembuangan. Bayimu terlalu kecil. Kautidurkan Dia dengan nyanyian Sion. Dan kepedihanmu bertambah, ketika kau membelai anakmu yang tak berdaya itu sedang lagumu sampai kata-kata: Ia akan datang sebagai penebus untuk Sion.
Sion telah menghilang. Tak perlu kau diminta untuk meratapi Sion, karena kau sendirilah, Maria, putri Sion yang telah lenyap segala kemuliaannya. Kau telah mencucurkan airmata siang dan malam.
Telah berakhir masa pengungsianmu. betapa gembira kau diperkenankan pulang ke tanah airmu. kaujalani jalan-jalan pembenasan bangsamu ketika Tuhan menuntun mereka keluar dari Mesir. Kau terkenang betapa keluaran dari Mesir itu ditandai dengan kebesaran Tuan, ketika ia menjungkir-balikkan kereta Firaun dan kuda-kuda orang Mesir, memerintahkan air laut menelan mereka,dan Israel selamat tiba di seberang.
Dari seberang tampak, tentara mesir lenyap di telan ombak, dan orang-orang Israelpun bersorak-sorak. Miriam menari dengan rebana. Dan semua perempuan Israel menari-nari mengikuti iramanya. Kebesaran Tuhan bergema dalam suara rebana. “Menyanyilah bagi Tuhan, sebab Ia tinggi luhur; kuda dan penunggangnya dileparkanNya ke dalam laut”. Inilah nyanyian Miriam, merdu gembira bersama suara rebana.
Miriam, kaupunya kebesaran Tuhan. kaupunya rebana untuk memuji kebesaranNya. Pada padamu, Maria, tak ada kebesaran Tuhan itu. hanya Tuhan dalam anak kecil di gendonganmu itu yang kaupunya. Kau tak punya rebana. Magnificat-mu itulah rebanamu. kebesaran Tuhan harus kaupuji dalam kekecilan anakmu. Dan nyanyian sukacita Miriam harus tetap bergema dalam rebana kepedihan hatimu.
Mesir, negeri matahari itu, hanya memberimu kenangan akan ketakberdayaan Tuhamu. tetapi Tuhan tetap memintamu menyanyikan lagu: dari Mesir kupanggil PuteraKu.
Airmata kautinggalkan di genangan Laut Merah. Mungkinkah aku mencarinya di tengah kedahsyatan ombak dan gelombang-gelombangnya? Mungkinkah aku menemukannya, jika aku tak percaya bahwa airmata itu adalah sebutir mutiara?
Laut tak pernah menjadi kering. Dan ombak-ombak tak pernah reda. Tuhan sendiri telah menyelam di dalamnya. Tak pernah aku akan menemukan mutiara itu, jika aku hanya mengharapkan air laut akan mengering, badai kehidupan akan reda, karena kebesaran Tuhan yang mengerjakannya. Hanya jika aku menyelam ke dalamnya, tenggelam dalam ketakberdayaanku, maka akan kulihat mutiara yang menyala. Indah nyalanya karena Tuhan sendiri yang mengasahnya dengan airmataNya.
Terusir dari Firdaus, Hawa menangis penuh rasa sesal. Airmatanya jatuh, menetes menjadi mutiara. Mutiara itu belum menyala, ia masih terselubung dengan dosa yang belum diampuni.
Kau menangis dengan tangis anak Hawa, oh Maria. tetapi airmatamu yang menetes segera menjadi mutiara yang menyala, sebab di dalam airmatamu tertampung kebesaran Tuhan yang mau menjadi hina. Hanya kehinaanlah yang mudah menangis. Dan tangis Tuhan itu ada dalam airmatamu. Dan airmata itu menjadi mutiara yang menyala. Nyalanya sangat indah karena di dalamnya bersinar cinta yang menyayangi dosa.
Kelak mutiara akan pecah karena dosa dan penderitaan yang bertambah-tambah. Dan ketika pecah, ia akan menjadi sumber yang mengalirkan air kehidupan.
Air kehidupan itu ternyata berasal dari airmata. Dan kini airmata itu menitik di bola matamu. Sia-sialah aku mencari air kehidupan tanpa airmatamu.
Larutkan aku dalam airmatamu, oh Maria!