“Apakah diperbolehkan orang menceraikan isterinya dengan alasan apa saja?”
Dengan jumlah sekitar 200.000 perceraian setiap tahunnya di Indonesia, maka bisa diperkirakan jumlah anak-anak yang terluka karena akibat perbuatan orang tuanya. Pernikahan terjadi akibat keputusan dua orang yang sepakat membangun mahligari rumah tangga bersama, syukur bisa sampai kaken ninen. Tapi juga perceraian terjadi atas kesepakatan dua orang, tanpa perlu mempertimbangkan persetujuan anak-anak yang telah lahir dari perkawinan tersebut. Lebih parah lagi kalau pasangan yang bercerai ini menikah lagi dengan orang lain, maka luka yang diderita anak-anak ini berlipat ganda. Bisakah mereka tersenyum dan membayangkan bahwa anak-anak ini akan memiliki pernikahan yang bahagia di kemudian hari?? Kalau tidak ditangani secara holistik maka perceraian bisa menjadi trauma kehidupan sang anak.
Maka bisa dipahami kalau dari jadul sebenarnya sudah digariskan bahwa perceraian itu tabu, karena hanya melahirkan kesusahan dan kesedihan bagi orang lain khususnya anak-anak. Tapi dasar manusia keras kepala, mau enaknya sendiri, dari jadul pun maunya perceraian disahkan saja. Maka kadang saya sering sedih kalau dapat undangan pernikahan seorang kawan yang telah bercerai dan menikah lagi. Apa yang harus saya katakan? Selamat dan berbahagia? After what he/she has done before to others? Biasanya saya memilih tidak datang dan berdoa bagi nya dan bagi orang-orang yang telah terluka karena perceraian itu. Semoga kasih Kristus memulihkan luka batin mereka.
Maka di setiap Kursus Persiapan Perkawinan saat saya dan suami kebagian untuk sharing ataupun mengajar, selalu kami menegaskan bahwa keputusan menikah adalah karena yakin satu sama lain akan dapat membahagiakan orang lain. Kalau nantinya bakal jadi pembawa sengsara, lebih baik putuskan untuk menunda pernikahan terlebih dulu. Apalagi kalau tahu bahwa pasangan pernah mengalami masalah dengan narkoba, belum punya penghasilan tetap, serta memiliki kendala dalam kesehatan reproduksi. Pernikahan tidak hanya butuh cinta, tapi butuh persiapan untuk memikul tanggung jawab dan memberikan komitmen. Segala resiko harus dihadapi bersama baik dalam susah dan senang, sanggupkah menghadapi pasangan yang masih bergantung pada keluarganya? sanggupkah hidup dengan single income ?
Ada beberapa teman memilih untuk tidak menikah, juga tidak menjadi rohaniwan/ti agar bisa terus mengambil bagian dalam pewartaan Kerajaan Allah. Toh kehidupan mereka tetap bahagia, mereka menikmati ke’jomblo’annya. Mungkin ini adalah pilihan lebih baik dari pada menikah tapi menderita karena pasangan mengekang dan membatasi karya pewartaan mereka nantinya.
Apapun pilihan kita, baik menikah ataupun tidak menikah, lakukan lah bagi kemuliaan Tuhan. Menikahlah kalau kita yakin bisa membuat pasangan kita berbahagia dan menjadi lengkap karenanya. Sehingga orang lain melihat bahwa pernikahan anda merupakan kesaksian iman kristiani. Jangan juga menikah hanya karena umur dan karena status, akibatnya justru hanya penderitaan sepanjang sisa hidup kita. Maka layaknya kedua orang yang sepakat untuk menikah menyertakan Allah senantiasa dalam kehidupan keseharian perkawinan mereka. Apa yang telah dipersatukan Allah, jangan diceraikan manusia (Mark 10:9) kalau gak menurut, bisa dibayangkan akibatnya lah. God knows best for us.
===================================================================
Bacaan: Mat 19:3-12
“Maka datanglah orang-orang Farisi kepada-Nya untuk mencobai Dia. Mereka bertanya: “Apakah diperbolehkan orang menceraikan isterinya dengan alasan apa saja?” Jawab Yesus: “Tidakkah kamu baca, bahwa Ia yang menciptakan manusia sejak semula menjadikan mereka laki-laki dan perempuan? Dan firman-Nya: Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.” Kata mereka kepada-Nya: “Jika demikian, apakah sebabnya Musa memerintahkan untuk memberikan surat cerai jika orang menceraikan isterinya?” Kata Yesus kepada mereka: “Karena ketegaran hatimu Musa mengizinkan kamu menceraikan isterimu, tetapi sejak semula tidaklah demikian. Tetapi Aku berkata kepadamu: Barangsiapa menceraikan isterinya, kecuali karena zinah, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah.” Murid-murid itu berkata kepada-Nya: “Jika demikian halnya hubungan antara suami dan isteri, lebih baik jangan kawin.” Akan tetapi Ia berkata kepada mereka: “Tidak semua orang dapat mengerti perkataan itu, hanya mereka yang dikaruniai saja.Ada orang yang tidak dapat kawin karena ia memang lahir demikian dari rahim ibunya, dan ada orang yang dijadikan demikian oleh orang lain, dan ada orang yang membuat dirinya demikian karena kemauannya sendiri oleh karena Kerajaan Sorga. Siapa yang dapat mengerti hendaklah ia mengerti.”
June 18, 2010 at 11:52 am
bagaimana jika tidak ada damai sejahtera di hati , selama perkawinan ?
June 19, 2010 at 6:30 pm
Pertanyaan anda menarik, seharusnya ditanyakan pada pasangan tersebut – apakah tujuan mereka mengambil keputusan untuk menikah? Apakah untuk memberikan kedamaian dihati saja, ataukah ingin membahagiakan pasangan kita? Pernikahan terjadi karena keputusan dua orang, yang kemudian menghadap kepada Tuhan untuk memohon rahmat sepanjang perjalanan hidup berdua. Demikian juga perceraian adalah hasil keputusan dua belah pihak yang sepakat untuk berpisah, tidak perlu lagi restu dari Tuhan karena Tuhan tidak mengijinkan perceraian.
Akhirnya kembali kepada kita, dimanakah kita menempatkan Tuhan didalam perkawinan? Sebagai Allah yang menjadi panduan hidup berkeluarga? Perceraian biasanya terjadi bila salah satu sudah mulai menjauh dari Tuhan, tidak lagi rutin berdoa, tidak lagi mengikuti Sakramen dengan teratur. Kalau sudah begini dimana damai sejahtera? Damai sejahtera hanya ada pada mereka yang senantiasa menggantungkan hidupnya pada Tuhan dan menempatkan Tuhan menjadi yang pertama dalam pernikahan. Bukan sebagai pihak ketiga yang baru dihadirkan kalau stadium perkawinan sudah gawat.