Fiat Voluntas Tua

SP Maria Diangkat Ke Surga (Rm Ign Sumarya, SJ)

| 0 comments

“Diberkatilah engkau di antara semua perempuan dan diberkatilah buah rahimmu.” (Luk 1:39-56)

Setiap kali mengenangkan pesta Santa Perawan Maria Diangkat ke Surga, saya senantiasa teringat akan pengalaman pribadi, ketika sebagai pastor muda (baru kurang lebih 7 bulan ditahbiskan menjadi imam), bertugas sebagai Direktur Perkumpulan Strada-Jakarta, menghadapi seseorang untuk berkonsultasi. Orang tersebut sebut saja namanya Pak Anton (samaran), kepala sekolah SMP Katolik Strada, ketua dewan paroki dan juga boleh dikatakan sebagai tokoh masyarakat. Di suatu pagi hari Pak Anton telah menunggu di depan kamar kerja saya, maka begitu saya bertemu langsung saling mengucapkan ‘Selamat Pagi’. Setelah kami duduk di kursi Pak Anton langsung berkata dengan nada yang lemah: “Romo, saya ingin keluar dari Strada, saya malu dan tak layak lagi bekerja di Strada”. “Ada apa?”, pertanyaan saya. Dengan panjang lebar Pak Anton menceriterakan frustrasi dan kebingungannya selama satu minggu yang telah berlalu. Anak sulungnya, laki-laki, mahasiswa semester enam di sebuah perguruan tinggi menghamili seorang gadis Muslim, anak seorang haji. Pak haji menuntut agar kedua anak itu segera dinikahkan secara Muslim. Ia sangat marah terhadap anak sulungnya itu, bahkan bernada mengusir sehingga telah tiga hari anaknya itu pergi, entah ke mana. Dua adiknya, gadis-gadis/ perempuan juga memarahi kakaknya dengan gaya mereka masing-masing. Mendengarkan kisah ceritera itu saya menanggapi sambil bertanya: “Ibu bagaimana?”. “Ibu, isteri saya hanya menangis, melelehkan air mata dan tidak berkata apa-apa”, demikian jawaban Pak Anton. Maka kemudian saya menasihati Pak Anton:”Pak carilah anak sulung anda, dan setelah ditemukan kemudian ajaklah seluruh keluarga untuk makan bersama di rumah makan. Selanjutnya nanti kita lihat apa yang terbaik untuk dilakukan”. Saya berkata dan menasihati demikian karena saya merasa sang ibu pasti tidak marah dan ingin memeluk anak sulungnya, hati dan jiwanya penuh dengan kasih pengampunan. Singkat cerita semua telah dilaksanakan dan masalah anak sulungnya diselesaikan secara pastoral.

“Diberkatilah engkau di antara semua perempuan dan diberkatilah buah rahimmu. Siapakah aku ini sampai ibu Tuhanku datang mengunjungi aku? Sebab sesungguhnya, ketika salammu sampai kepada telingaku, anak yang di dalam rahimku melonjak kegirangan. Dan berbahagialah ia, yang telah percaya, sebab apa yang dikatakan kepadanya dari Tuhan, akan terlaksana.”(Luk 1:42-45)

Ibu atau seorang perempuan memiliki rahim, dimana di dalam rahim tumbuh berkembang buah kasih bersama atau karena penyelenggaraan Ilahi, karya penciptaan Allah. Dari kata rahim dapat menjadi kata kerahiman, yang berarti belas kasih dan kasih pengampunan yang tidak ada batasnya. Seorang ibu kiranya dapat menikmati betapa luhur, mulia dan indahnya karya penciptaan Allah yang terjadi di dalam rahimnya, namun sangat sulit dijelaskan dengan kata-kata kenikmatan yang dialami tersebut. Tetesan air mata ibu pada umumnya merupakan perwujudan kasih pengampunan yang sulit diungkapkan dengan atau melalui kata-kata. Maka kiranya apa yang dikatakan oleh Elisabeth kepada saudarinya, Bunda Maria, sebagaimana saya kutipkan di atas kiranya juga kena atau berlaku bagi para ibu yang baik, sebaliknya saya juga mengajak dan mengingatkan para ibu atau rekan perempuan untuk meneladan Bunda Maria, yang juga menjadi teladan bagi kaum beriman, menjadi perempuan yang terberkati serta senantiasa membuat orang lain melonjak kegirangan.

Berbahagialah ia, yang telah percaya, sebab apa yang dikatakan kepadanya dari Tuhan, akan terlaksana”, demikian seruan Elisabeth kepada Bunda Maria. “Sekarang telah tiba keselamatan dan kuasa dan pemerintahan Allah kita” (Why 12:10b), demikian kata penulis Kitab Wahyu. Ada pepatah atau rumor bahwa ‘surga ada di telapak kaki ibu’. Pepatah ini kiranya mau mengatakan bahwa setiap langkah atau gerak seorang ibu senantiasa menyelamatkan dan membahagiakan sesama atau saudara-suadarinya, sebagaimana dari rahim Bunda Maria lahirkan Penyelamat Dunia. Kita semua telah hidup dalam kasih dan damai di dalam rahim ibu, dan dilahirkan serta dibesarkan/dididik oleh ibu dalam dan oleh kasih sehingga dapat tumbuh berkembang seperti saat ini. Bukankah kelahiran seorang anak, yang keluar dari rahim merupakan warta gembira, tentu saja bagi siapapun yang sungguh beriman. Namun demikian kami berharap semoga semua langkah, gerak, cara hidup dan cara bertindak para ibu maupun rekan perempuan membuat siapapun melonjak kegirangan, bergembira lahir dan batin.

“Tetapi yang benar ialah, bahwa Kristus telah dibangkitkan dari antara orang mati, sebagai yang sulung dari orang-orang yang telah meninggal.Sebab sama seperti maut datang karena satu orang manusia, demikian juga kebangkitan orang mati datang karena satu orang manusia”(Rm 15:20-21)

Yesus adalah Allah yang menjadi Manusia seperti kita kecuali dalam hal dosa, maka setelah Ia wafat di kayu salib pada saat itu juga ‘dibangkitkan dari mati’. Wafat dan kebangkitan Yesus tidak dapat dipisahkan dan hanya dapat dibedakan. Ia ‘telah dibangkitkan dari antara orang mati, sebagai yang sulung dari orang-orang yang telah meninggal’, dan kemudian disusul atau diikuti oleh ia yang sangat dekat denganNya, yaitu Bunda Maria, yang kemudian menyusul juga siapapun yang hidup meneladan Bunda Maria, teladan umat beriman. Maka marilah kita meneladan Bunda Maria, yang taat dan setia kepada kehendak Tuhan serta senantiasa ‘mendengarkan dan menerungkan dalam hati alias menghayati’ sabda-sabda Tuhan.

Keunggulan hidup beriman adalah dalam penghayatan atau pelaksanaan bukan dalam wacana atau omongan. “Jika iman itu tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada hakekatnya adalah mati.”(Yak 2:17 ), maka marilah kita hayati iman kita dalam hidup sehari-hari, dalam cara hidup dan cara bertindak kita dimanapun dan kapanpun sesuai dengan panggilan dan tugas perutusan kita masing-masing. Beriman berarti mempersembahkan diri seutuhnya kepada Tuhan: hati, jiwa, akal budi dan tubuh/ tenaga atau kekuatan, yang menjadi nyata atau terwujud dalam cara-cara melihat,merasa, berpikir, bersikap dan bertindak sesuai dengan kehendak Tuhan, bukan kehendak atau keinginan diri sendiri. Sebagai contoh kiranya dapat saya angkat di sini bagian doa dari St.Fransiskus Assisi: “Bila terjadi kebencian, jadikanlah aku pembawa cinta kasih, Bila terjadi penghinaan, jadikanlah aku pembawa pengampunan, Bila terjadi perselisihan, jadikanlah aku pembawa kerukunan, Bila terjadi kebimbangan, jadikanlah aku pembawa kepastian, Bila terjadi kesesatan, jadikanlah aku pembawa kebenaran, Bila terjadi kesedihan, jadikanlah aku sumber kegembiraan, Bila terjadi kegelapan, jadikanlah aku pembawa terang,”

Damai sejahtera lahir batin, jasmani dan rohani, merupakan impian atau dambaan semua orang. Maka jika kita sungguh hidup dalam damai sejahtera sejati kiranya kita telah mendakati hidup mulia di surga atau memiliki modal dan kekuatan ketika dipanggil Tuhan alias mati atau meninggal dunia pada saat itu juga kita dimuliakan di surga, menikmati hidup mulia bersama Bapa, Allah Pencipta dan Yesus, Penyelamat Dunia dan Pembawa Damai di surga untuk selama-lamanya. Untuk mendukung dan mengusahakan damai sejahtera sejati rasanya kita harus senantiasa memperhatikan iman, gizi maupun pendidikan dalam hidup dan tindakan kita.

“Di sebelah kananmu berdiri permaisuri berpakaian emas dari Ofir. Dengarlah, hai puteri, lihatlah, dan sendengkanlah telingamu, lupakanlah bangsamu dan seisi rumah ayahmu! Biarlah raja menjadi gairah karena keelokanmu, sebab dialah tuanmu!”(Mzm 45:10bc-12ab)

Leave a Reply

Required fields are marked *.