(Dalam rangka bulan Kartini, saya bagikan tulisan yang pernah dimuat di Majalah Utusan dan Shalom Betawi edisi Mei 2006)
Mobilitas tinggi dan tuntutan kehidupan yang sulit membuat warga kota sibuk dengan urusannya masing-masing. Hal ini tampak dari ribuan kendaraan yang merayap di jalanan mulai pagi buta hingga jauh larut malam. Karenanya tidak kenal tetangga adalah hal biasa. Pasangan muda yang bekerja, terpaksa mempercayakan anak-anaknya pada para pramuwisma dan pengasuh bayi (baby sitter) yang kurang perduli berapa lama para balita didepan TV. Apa yang dilihat pun tak soal, yang penting saat „Nyonya“ menelpon anak-anak tidak rewel.
Definisi keluarga tidak lagi seperti apa yang tertulis indah didalam buku. Kapan para orang tua duduk bersama dengan anak-anaknya? Yang balita mungkin hanya akhir pekan, karena malam hari saat mama-papa datang mereka sudah tidur; sedangkan yang usia sekolah dan kuliah lebih sulit lagi karena masing-masing memiliki kegiatan tersendiri setiap hari. Kegiatan keluarga di Hari Minggu harus dirancang jauh-jauh hari dengan mereka, kalau tidak mama-papa dibilang ”otoriter”.
Tidak mudah menjadi ibu bekerja di kota metropolitan, waktu 24 jam pun dirasa kurang. Minimal 4 jam setiap harinya hanya untuk perjalanan pulang pergi dari rumah ke kantor. Sebutan ”home sweet home” rasanya semakin jauh. Disebut ”sweet home” karena diharapkan bisa menjadi tempat untuk tiap anggota keluarga didengarkan, diperhatikan, ditolong, disapa dan disentuh dengan kasih sayang.
Idealnya seorang ibu selalu berada di saat si anak membutuhkan. Dengan adanya kemajuan teknologi, ibu bisa saja menghubungi anaknya kapan saja lewat HP. Tetapi apakah si anak merasakan kehangatan dari kehadiran ibunya lewat HP? Berapa sering anak-anak remaja menghubungi ibunya melalui HP kecuali saat mereka membutuhkan uang? HP dan internet tidak dapat menggantikan tatap mata, sentuhan dan belaian seorang ibu. Seringkali saat HP berdering ditengah rapat pun, seorang ibu harus mengambil keputusan apakah akan mendengarkan anaknya atau memintanya untuk menunggu setelah rapat. Akhirnya justru keduanya lupa untuk menelpon dan lupa mau bicara apa. Hilanglah momen berharga tersebut. Saat anak membutuhkan ibunya, ibunya tidak siap.
Menjadi seorang istri juga tidak mudah di kehidupan metropolitan yang serba mahal. Selain melayani suami, mengatur kebutuhan rumah tangga yang harganya berlomba naik; masih ditambah lagi mengatur para pramusiswa. Urusan ‘dalam negeri’ yang berkisar antara pramusiswa, penjaga anak dan supir pun cukup membuat pusing para wanita bekerja. Masih ditambah urusan orang ketiga seperti orang tua atau mertua dan ipar yang tinggal di rumah. Pilihan mengundang nenek untuk mengawasi anak, sering menjadi dilema karena perbedaan ’gaya’ dalam mendidik anak. Belum lagi kalau kemampuan ekonomi RT belum memadai, maka kaum ibu ini ikut membanting tulang, memeras keringat serta memutar otak mencari cara agar asap dapur tetap mengepul. Syukur kalau ada uang lebih untuk bayar sekolah dan les komputernya si cecep.
Dalam kehidupan masyarakat perkotaan, paling sulit adalah melibatkan warganya dalam pertemuan warga. Hal ini dikeluhkan para ketua RT/RW yang umumnya tinggal di apartemen, komplek perumahan dan real estate. Mungkin tidak ditemui di daerah pedesaan, karena tidak semua orang memiliki kesempatan bekerja dan berusaha sehingga masih ada waktu luang. Bilamana terjadi kasus yang fenomenal seperti kriminal atau banjir, barulah warga terpaksa berkumpul untuk pemecahan masalah. Setelah itu….. business as usual, kembali ke kehidupan seperti biasa lagi. Hal yang sama terjadi kalau ada pertemuan lingkungan baik untuk Pendalaman Kitab Suci, doa Rosario dan sebagainya. Yang datang akhirnya yang ‘itu-itu’ juga.
Setiap orang sibuk dengan urusan masing-masing, kita hanya bisa terkejut saat mendengar si anu jadi single parent, atau mas yang di seberang rumah kena serangan jantung, atau anak tetangga menangis seharian karena dipukuli ibunya, atau pak RT ditahan karena korupsi anggaran, atau anak tetangga dibelakang rumah jadi korban OD. Dan banyak cerita sekitar rumah yang akhirnya membuat kening berkenyit…. kemana kita selama ini? Inikah sikap kita sebagai warga Gereja dan sebagai warga masyarakat? Ya, inilah habitus lama yang terpaksa kita terima dan jalani sebagai warga bangsa karena ”keadaan”; karena tuntutan kehidupan dan semua orang juga memakluminya. Memang tidak semua orang, tetapi sebagian besar kita setuju pernah melakukannya. Kita pun tahu hal ini bertentangan dengan iman kristiani dimana kita diajarkan untuk mengasihi orang lain seperti diri kita sendiri, bahkan mengasihi musuh kita sekalipun.
Mulai dengan satu orang
Melihat apa yang dilakukan Yesus dua ribu tahun yang lalu, kelihatannya juga mustahil untuk berhasil. Dia datang ditengah masyarakat Yahudi yang hidup sekian lama dalam tekanan bangsa Romawi, dimana kalangan agamawi pun tidak bisa berbuat banyak. Yesus hidup sebagai bangsa Yahudi dimana sebelum beribadah harus membawa hewan sebagai kurban silih. Kalau ketahuan berdosa, bersiap-siaplah diseret ke depan para imam untuk menghadapi hukum rajam didepan publik. Menarik untuk disimak saat Yesus justru memilih dua belas orang yang minim pendidikan untuk mengikutiNya. Ia tidak mengajak kaum agamawi atau mereka yang terpandang. Ia mengajak mereka yang mau mengikutiNya melayani umat dan pergi ke desa-desa. Hanya dengan dua belas orang, inipun Drop Out satu orang setelah bersama Dia dalam waktu 3,5 tahun; dalam waktu ribuan tahun kemudian Kabar Baik pun tersebar ke seluruh dunia. Hanya dibutuhkan satu orang yang mau dengan rendah hati belajar dan melayani satu dengan yang lainnya, maka Tuhan akan melipatgandakan persis seperti mujizat lima ketul roti dan dua ekor ikan.
Berdasarkan sensus tahun 2003 kepadatan penduduk di Papua 5 jiwa per 1000m2 sedangkan di pulau Jawa adalah 941 jiwa per 1000m2. Artinya dari wilayah seluas 4 x 4 m ada 16 orang tinggal berdekatan. Angka ini bisa menjadi dua-tiga kali lipat untuk Jakarta yang memiliki daya tarik sebagai kota besar.
Berdasarkan data statistik dalam website resmi, dari 7,5 juta jiwa penduduk Jakarta ada 1,992,702 KK atau sekitar 4 jiwa/KK. Dengan kata lain ada hampir 2 juta orang berstatus Ibu Rumah Tangga, baik yang bekerja ataupun tidak. Seandainya jumlah kaum ibu katolik 50,000 orang saja di Jakarta, maka dengan menggunakan prosentase kependudukan (10 % kristiani) bisa digambarkan bahwa: seorang ibu katolik bertetangga dengan 3 orang ibu dari gereja lain dan 9 ibu non kristiani dalam radius 50 m2.
Dengan kata lain seorang ibu yang sungguh-sungguh hidup dalam iman katolik, seyogyanya mampu membangun relasi dengan 12 ibu non katolik lainnya. Sehingga secara tidak langsung memberi dampak pada 13 KK atau 52 orang disekitarnya termasuk keluarganya. Angka ini adalah paling minimal, paling konservatif. 12 orang itu pun gak sekaligus ’dicari” dalam sehari, kenal dulu satu orang di kiri rumah lalu kanan rumah serta depan rumah. Minggu atau bulan berikutnya mereka mengenalkan lagi ke 1-2 orang lagi, dst. Tanpa terasa anda membangun relasi dengan 12 ibu non katolik secara simultan dalam waktu 3- 9 bulan. Kenyataannya dalam kehidupan sehari-hari di kantor, di rumah, di pasar dan sekolah setiap ibu bertemu dengan jauh lebih banyak orang. Belum ditambah mereka yang berhubungan dengan kita via telpon dan internet. Dengan moda transportasi yang ada di kota kita bergerak dalam skala radius yang lebih besar. Bisa jadi angka tersebut berlipat menjadi 100 orang!
Pertanyaannya adalah : sejauh mana para kaum ibu katolik memberikan pengaruh pada 50 orang tersebut? Pengaruh yang seperti apa kah? Apakah hanya datang pada saat arisan dan ikut bergossip ria agar dikatakan ”bergaul” ? Kalau hanya membicarakan kejelekkan orang lain maka sebentar saja berita tersebut menyebar ke 50 orang lainnya.
Ataukah hanya bergaul dengan yang sesama katolik yang bertemu di gereja tiap hari minggu? Menjadi garam bertemu dengan garam di dalam mangkok yang sama? Sehingga akhirnya kita mengabaikan kesempatan untuk menyatakan kasih bagi 50 orang non katolik yang mungkin membutuhkan sedikit kata penghiburan dan peneguhan secara pribadi. Bagaimana seorang ibu menciptakan habitus baru tanpa membangun relasi dengan sekitarnya? Apakah ia mampu memberikan pengaruh-pengaruh positif yang baik bagi orang lain tanpa berjejaring?
Langkah pertama: membuka diri
Pengertian Gereja bukanlah gedung gereja tempat kita mengikuti Misa setiap minggu, tetapi kumpulan orang percaya ditengah masyarakat dimana kita tinggal dan ditempatkan. Jadi kalau di lihat batas paroki kita maka wilayah pelayanan kita termasuk melayani mereka yang tidak seiman yang tinggal didalamnya. Bukan hanya melayani anggota Gereja yang datang setiap minggu. Padahal ada juga umat katolik yang karena keadaannya tidak dapat datang ke gereja. Kita bukanlah katak yang hidup dalam tempurung yang terbatas pada tembok gereja sehingga menjadi eksklusif. Dengan memiliki paradigma baru untuk mengenal orang lain yang berbeda iman sungguh merupakan kesempatan mengamalkan iman katolik yang sesungguhnya. Menerima perbedaan bukan berarti menyetujuinya tetapi justru dengan berbeda, kita semakin menghargai satu dengan yang lainnya dan mencari hal-hal yang serupa agar bisa membangun relasi.
Yesus berkata ”Pergilah keseluruh dunia dan beritakanlah Injil kepada semua mahluk”. Kita memang di utus untuk pergi meninggalkan zona kenyamanan kita, untuk tidak hanya bergaul dengan ”kalangan sendiri” serta mewartakan Injil kepada sebanyak mungkin orang. Mewartakanpun juga tidak dengan perkataan saja tetapi melalui perbuatan nyata, dengan sikap tulus, dengan perhatian bagi sekeliling kita.
Tuhan tahu bahwa kitapun tidak merasa nyaman bila bergaul dengan orang ”asing” diluar ”kalangan sendiri”, takut tidak diterima, takut ditolak atau malah takut diserang. Maka dikatakannya bahwa Ia menyertai kita sampai akhir zaman. Kita tidak pernah ditinggalkan sendiri dan mengalami ketakutan atau sampai kehilangan kata-kata. Mulailah dengan membuka diri kita terlebih dahulu untuk berteman. Coba kita tulis diatas selembar kertas, berapa banyak nama yang kita tahu disekitar kita sehari-hari, baik rumah dan pekerjaan atau tempat usaha. Anda akan terkejut bahwa begitu banyak ’nama’ para kaum ibu yang sebenarnya bisa diajak membangun relasi yang lebih dari sekedar ”halo- apakabar –bye”. Dibutuhkan kerendahan hati dan keberanian untuk (mungkin saja) menghadapi penolakan karena sikon tidak memungkinkan.Tetapi untuk setiap kesempatan yang datang, Tuhan selalu menyertai. Dia hanya sejauh doa.
Langkah kedua: mendengarkan dengan empati
Tipikal orang indonesia terutama kaum ibu adalah suka bercerita termasuk berkeluh kesah. Berani menanggapi keluh kesah dengan komentar positif yang membangun adalah suatu kebiasaan yang baik. Kata-kata bijak dibutuhkan untuk memperbaiki harga diri yang rapuh. Ada banyak orang kekurangan sentuhan dan perhatian sehingga mereka mengambil keputusan untuk mengakhiri hidupnya. Tanpa dicari tidak kurang berita negatif muncul setiap hari di media cetak dan elektronik yang membuat orang semakin frustrasi, tetapi bilamana kaum ibu berani mengobral kata-kata penghiburan dan harapan, pasti akan banyak yang membutuhkannya. Bahkan setiap anak membutuhkan dorongan dan semangat untuk tumbuh dengan penuh percaya diri. Jalan keluar selalu ada bagi orang yang berpengharapan.
Langkah ketiga: mengulurkan tangan
Sudah selayaknyalah kita senantiasa meminta Roh Kudus untuk dapat melihat segala sesuatu seperti apa yang dilihat Yesus dan bertanya kepadaNya apa yang harus aku lakukan Tuhan? Sama seperti gelang tangan yang sedang trend dipakai anak muda…. What would Jesus do? Kira-kira kalau Jesus mengalami situasi kita saat berhadapan dengan orang lain, apa yang akan Ia lakukan atau katakan.
Dengan kita membuka diri untuk membangun relasi maka wawasan kita pun semakin terbuka, pikiranpun semakin tertantang untuk mencarikan solusi bagi tiap masalah. Mungkin bukan kita yang memberikan jalan keluar tapi yakinlah bahwa Allah Bapa mampu mempertemukan kita dengan nara sumber lainnya atau mereka yang memiliki kasus serupa. Rm 8:28 – Karena Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang terpanggil dalam rencanaNya.
Bila setiap saat kita sering melakukan refleksi dan bertanya pada Tuhan, apa yang Tuhan mau kita lakukan bagi 50 orang disekitar kita. Lebih sering jawabannya tidak selalu berakhir dengan uang, mungkin perhatian via sms, telpon atau kunjungan, sentuhan serta kata-kata penghiburan. Bisa juga dengan membantu mencarikan informasi, mengajak datang atau menyelenggarakan seminar tentang kesehatan reproduksi, kehidupan berkeluarga, pendidikan, kewirausahawan dsb. Seandainya setiap ibu belajar mendengar dan berlatih untuk melakukan perintahNya hanya pada 12 ibu non katolik secara konsisten maka ‘paroki’ pasti menjadi sangat berbeda bagi masyarakat sekitarnya. Memang harus mulai dengan diri kita sendiri. Juga melalui talenta, bakat, keahlian serta kemauan dan impian kita. Yang perlu kita lakukan adalah membangun ’kepercayaan” baik dari kita ke mereka dan sebaliknya. Rasa curiga adalah penghalang terbesar dalam membangun hubungan. Buanglah segala curiga dan mulailah berpikir positif tentang orang lain. Maka anak-anak kitapun, akan melihat dan meniru bagaimana kita membangun relasi satu sama lain. Bahkan anak-anak mereka dan tetangganya dapat ikut ambil bagian. Sehingga lambat laun bisa diharapkan timbul kebiasaan dan pemikiran baru dalam masyarakat yang menjadi berbela rasa dan memiliki kesetiakawanan serta kepekaan sosial.
Jadi marilah mulai menjadi ibu yang baik bagi keluarga kita sendiri, mau mengakui dan memperbaiki kesalahan serta belajar segala hal dan kebiasaan baru. Marilah juga mulai membangun relasi yang lebih berkualitas dengan kaum ibu non katolik. Mereka tidak jauh dari kita, ada di warung sebelah, di wartel, pertemuan warga, dsb. Lalu bagaimana dengan yang katolik? Tentunya hubungan tetap dipelihara sambil saling mendoakan agar setiap ibu bisa menjadi teladan di komunitas basisnya. Sulit? Sulit memang merubah orang lain, tetapi lebih mudah merubah diri sendiri. Marilah kita mulai dengan diri sendiri, menjadi ibu yang memiliki kebiasaan-kebiasaan yang baik sesuai dengan ajaran dalam Firman Tuhan untuk membangun relasi dan menjadi garam di tengah masyarakat.
May 2, 2008 at 2:02 pm
Tanggapan dari Rm Blasius Slamet Lasmunadi Pr (Kebumen)
Mbak Ratna, artikel Mbak ini inspiratif untuk dunia pendidikan.
1. Dunia Pendidikan yang juga sedang saya tangani pernah mengalami situasi yang ”mirip” dengan ”premanisme”. Di balik premanisme sebenarnya ada kebiasaan masyarakat kita yang kurang memperhatikan dan mengembangkan ”KECERDASAN EMOSIOAL”.
2. Kecerdasan ini diabaikan begitu saja karena orientasi pendidikan Indonesia adalah MIPA. Akibatnya hanyalah salah satu bagian kecerdasan saja yang dikembangkan. Kecerdasan ini berorientasi pada ”kepastian dalam segala hal”.
3. Menuntut kepastian dalam segala hal” sama saja tidak mengakui segala ketidakpastian di dunia ini yang konkret ada di hadapan kita. Padahal justru, dalam ketidakpastian orang ditantang untuk ”struggle life” dengan segala resiko yang ada.
4. Namun belajar menanggung resiko malah tidak mendapat porsi yang memadai. Itulah wajah dunia pendidikan kita yang ”menghindari kegagalan”, tidak berani menanggung kesalahan anak didik, melainkan menuntut perfeksionis.
5. Tuntutan perfeksionis ini terwujud dalam ”ambisi orang tua” untuk meminta anak-anaknya ikut berbagai tambahan pelajaran agar mereka menjadi orang yang ”pandai” dan ”sempurna”, tidak gagal dalam kenaikan kelas dan ujian. Begitu orang tua berambisi, sampai anak tidak lagi punya kesempatan untuk bermain. Dengan ambisi itu, orang tua menuntut prestasi di luar batas kemampuan anak, sampai anak dipukul karena nilai pelajaran sampai 3. Sudah belajar pun anak bisa jadi tidak mampu mengerjakan soal. Namun orang tua tidak mau tahu. Di situlah ”Tuhan Allah yang sejati” digantikan oleh ”ambisi orang tua”. Orang tua menjadikan dirinya sebagai ”Tuhan” yang merasa punya hak untuk mengatur dan memaksa anak untuk memenuhi ambisinya. Berapa orang yang menjadi korban ambisi orang tua??
6. Ambisi orang tua itu tidak selalu diprotes anak secara frontal melainkan dengan bertindak seperti orang tuanya yakni sikap ”yang menindas orang lain”: kecil-kecil sudah jadi pemalak teman sekelasnya. Itulah hasil pendidikan nilai dalam keluarga yang lebih mementingkan ”prestasi” namun mengabaikan ”hati” anak-anak.
7. Pendidikan nilai dalam keluarga mesti dipersiapkan sejak awal lewat persiapan perkawinan: calon pasangan suami isteri mesti ”trampil” untuk mengolah ”kecerdasan emosional”: trampil untuk mengungkapkan perasaan, merumuskan perasaan yang otentik, satu sama lain belajar untuk mengerti perasaan pasangannya.
8. Baik dikembangkan ”kepemimpinan atas dasar Kecerdasan Emosional”. Kepemimpinan itu mengedapankan pembuatan kebijakan dengan memperhatikan ”pertimbangan emosi: agar dunia makin manusiawi”.
9. Akhir kata, ”premanisme” di Gereja pun akan tercabut kalau kita akhirnya berani untuk menjadi ”terluka”; siap dikritik, ditunjukkan kesalahan tanpa membela diri, dan belajar untuk meminta maaf serta mengembangkan sikap ”proaktif”: kesediaan menawarkan diri untuk terlibat dalam kehidupan bersama.