Saya tidak tahu saya mau mulai dari mana. Saya diminta untuk sharing mengenai perkawinan saya yang sudah 40 tahun lebih ini. Biasanya sharing dimulai dengan jawaban akan pertanyaan “Apa kiat sukses perkawinan anda?” Suatu pertanyaan yang didasarkan assumsi bahwa perkawinan anda itu sukses dan bahagia. Padahal kriteria sukses dan bahagia tidak sama. Lalu akan ada jawaban, “Perkawinan kami sukses karena suami saya penyabar atau karena isteri saya selalu ada membantu.”
Saya akan mengambil cara yang lain. Saya hanya akan memberikan gambaran mengenai perkawinan kami yang 40 tahun itu beserta perasaan saya pribadi tanpa berpretensi mewakili perasaan isteri saya. Saya juga tidak berpretensi saya menggambarkan perkawinan Kristiani yang sukses apalagi memberi resep sukses perkawinan secara umum. Saya akan persilahkan kawan-kawan untuk mengambil manfaat – kalau ada – dari gambaran atau deskripsi saya itu – fakta atau perasaan.
Suatu perjalanan pendampingan
Perkawinan kami merupakan suatu perjalanan dua pribadi yang berdampingan. Salah satu hal yang saya pelajari dari hidup perkawinan kami ialah kenyataan bahwa perkawinan bukan suatu proses penggabungan/penyatuan/atau peleburan dua pribadi. Jadi mungkin pendapat ini agak kurang Kristiani – yang selalu mengacu kepada “keduanya telah menjadi satu daging.” Mengapa saya katakan demikian? Dalam perjalanan kami selama 40 dua pribadi kami tidak pernah dilebur – tidak pernah digabung. Kami mungkin sudah mengembangkan kemampuan, kerendahan hati, kepasrahan untuk saling menerima atau saling memahami pribadi satu sama lain – tapi kami tetap berkembang sebagai dua pribadi.
Suatu perjalanan yang sangat mengasyikkan.
Saya merasa perjalanan hidup perkawinan kami sangat mengasyikkan. Mengapa saya katakana sangat mengasyikkan – karena pengalaman perjalanan ini penuh dengan variasi sepertinya seperti tahun yang dihiasi oleh bermacam musim. Variasi musim itu sangat kaya – tidak hanya seperti musim dalam setahun yang mengenal musim panas dan hujan saja atau musim panas, semi, dingin dan gugur saja. Dalam perkawinan kami, ada musim penuh keyakinan, ada musim keserasian, ada musim kering, musim kosong, musim dingin, musim kekecewaan, musim penuh kekesalan, musim kebimbangan, musim perang, musim romantis, musim penuh kebanggaan dan lain-lain yang datang dan masa berlangsungnya tidak bisa disangka-sangka. Jangka waktu perkawinan kami memang sudah cukup panjang – mungkin salah satu yang paling panjang – tapi apakah perkawinan kami adalah perkawinan yang bisa dianggap sukses sehingga kami boleh menulis resep perkawinan sukses bagi pasangan-pasangan yang lebih muda? Kriteria perkawinan yang sukses apa sih sebenarnya?
Suatu perjalanan yang tangguh.
Satu hal yang saya yakini. Perkawinan kami adalah suatu perjalanan yang tangguh – sebab meski musim-musim yang kurang hijau kurang berbunga-bunga lebih sering datang dan kadang-kadang terasa lebih lama serta melelahkan, tapi perjalanan ini tidak berhenti – perjalanan ini tidak pernah memakai musim istirahat. Bukan tidak pernah ada suatu saat percobaan yang kuat untuk istirahat, tapi ini tidak pernah terjadi. Dan tidak pernah perjalanan ini mogok atau dimogokkan. Saya kurang tahu sebabnya, tapi isteri saya berkali-kali berkata “Kalau saya istirahat nanti saya di-plinthen sama Sang Gembala – kepada siapa saya berjanji tidak pernah akan istirahat dalam perjalanan ini.” Dari kacamata saya – tidak mewakili isteri saya – ketangguhan perjalanan ini mendapat topangan berbagai rahmat yang luar biasa dari Allah.
Yang pertama adalah rahmat pengharapan dalam doa. Isteri saya itu sangat kuat berdoa – lepas apakah saya setuju dengan cara dia berdoa atau jenis doa apa yang dia lakukan. Doanya saya rasa sangat menguatkan kakinya dalam perjalanan ini. Saya tidak begitu kuat dalam berdoa – tapi saya berdoa juga kadang-kadang dan ini menguatkan kaki saya juga.
Yang kedua adalah rahmat takut akan Allah. Yaitu tadi takut diplintheng, takut disengsarakan, takut di getak oleh Allah. Entah ini bentuk iman yang negative atau tidak saya tidak tahu. Tapi ketakutan akan plinthengan ini menguatkan kaki saya.
Yang ketiga adalah rahmat keberhasilan duniawi. Karena saya merasa sudah diberi rahmat keberhasilan, kaki saya sangat dikuatkan. Bentuk rahmat itu apa? Misalnya, kami kebetulan dianugerahi anak-anak yang berhasil dalam hidup mereka – lulus dari pendidikan yang bagus-bagus dan mempunyai pekerjaan serta kehidupan yang layak. Keberhasilan lain – kami cukup sehat dan cukup mempunyai kehidupan yang lebih dari layak.
Penutup.
Lho unsur cintanya dimana? Unsur iman kristiani-nya dimana? Entahlah. Yang jelas perkawinan ini tangguh. Tangguh karena rahmat Allah yang kami terima bukan karena kehebatan kami. Mungkin ketangguhan itu mengandung unsur iman dan kasih. Yang jelas kontribusi saya terhadap ketangguhan perkawinan ini tidak terlalu besar. Saya bukan suami ideal – dengan kata lain, kalau mau cari suami jangan cari yang seperti saya. Saya juga bukan pribadi yang ideal juga – saya tidak punya kerendahan hati, kasar, tidak sabaran, dan tidak mau mengalah. Kontribusi atau sumbangan istri saya mungkin jauh lebih besar. Seseorang yang bisa bertahan berdampingan dengan orang seperti saya selama 40 tahun – dengan tidak terlalu menderita tekanan darah tinggi dan tanpa mengembangkan kebiasaan makan yang takterkendalikan – pasti suatu pribadi yang tahan banting – meski ketahanbantingan itu barngkali karena ketakutan akan diplintheng oleh Allah.