Jatuh cinta berjuta rasanya… Dibelai-dibelai amboi rasanya…
Aih.
“Ah, biarkan saja orang mengatakan demikian. Toh, Aku juga tidak memaksa mereka untuk melihat gayaku yang seperti ini,” jawab Kang Je cuek sambil tetap bernyanyi-nyanyi dan sesekali menari. Kayaknya dia nggak peduli pasang mata melihat penuh keheranan begitu.
“Ya, emang nggak pa-pa sih.. Cuma aneh aja.” Aku masih memandangNya takjub. “Memangnya Kang Je sedang jatuh cinta dengan siapa sih?”
Kepala Kang Je menggeleng pelan. “Bukankah kasih itu tidak mencari keuntungan untuk diri sendiri? (1Kor 13:5) Ketika Aku menyatakan hal itu padamu, memang demikianlah yang Kurasakan padamu. Adalah hakmu jika untuk menyatakan juga atau tidak.”
Keningku berkerut.Repot juga perbincangan Kang Je kali ini.
Sebagai manusia biasa jelas aku nggak bisa langsung menerima pernyataan perasaan dari sebuah cinta seseorang. Bukankah aku harus melihat sungguh dulu bagaimana perasaanku kepadanya supaya tidak terjadi penyesalana belakangan? Tapi, bayangkan saja kalau yang barusan terjadi adalah antara relasi manusia laki-laki dan perempuan, apakah pasti ada semacam keinginan agar juga ditanggapi sama? Keinginan untuk sama saling dicintai itu yang mungkin membuat orang berani untuk menyatakan perasaannya kepada yang lain walau itu berarti harus bersiap pada bentuk kekecewaan yang bisa saja menyergap.
“Aku manusia biasa, Tuhan… Kalau aku menyatakan cinta pada orang lain, pasti dong aku ingin orang itu menanggpi hal yang sama denganku. Namanya juga jatuh cinta. Pasti selalu ingin yang indah-indah. Bukan yang sedih apalagi kecewa.”
Kali ini kepala berambut gondrong itu manggut-manggut. Nampaknya Ia sangat mengerti. Biar bagaimana pun, aku kan manusia biasa. Susah lah kalau dihadapkan kenyataan untuk berpikir sama denganNya yang mempunyai ketulusan serta keiklasan lebih. “Seringkali kita menyalahgunakan arti cinta karena kata yang seharusnya digunakan adalah keinginan untuk mendominasi atau menguasai. Apalagi jika ada istilah cinta itu membutakan menguasai dirimu, ahh.. Tak jarang pula Aku temui luka yang menganga disebabkan olehnya.”
“Betul. Betul. Cinta buta. Aku pernah merasakannya,” sambarku begitu ingat kejadian lalu nan menyedihkan, tapi kini sungguh menjadi pengalaman berharga.
“Apa yang kamu lakukan ketika hal itu terjadi, anakKu?” Kang Je mendadak ingin tahu.
Aku menggaruk-garukkan kepalaku yang tidak gatal. Ini sebagai upayaku mengingat masa lalu yang sesungguhnya tidak menyenangkan untuk dikenang lagi itu.
“Waktu itu sih, aku sangat merasa dia adalah jodohku. Dia adalah orang yang Kau tunjuk mendampingi hidupku. Segala hal aku lakukan demi mencapai keinginanku itu. Tiap kali kekecewaan datang menyergapku, justru menguatkanku untuk terus memburu, mengejar dan berupaya mencapai keinginan itu. Segala nasihat, logika bahkan kenyataan di depan mata aku anggap angin lalu. Aku pikir itu godaan saja. Hingga akhirnya aku disadarkan bahwa aku salah melangkah, bahwa cintaku justru mengekang kehendak bebasnya.”
Kang Je diam saja memperhatikanku cerewet bercerita.
MataNya begitu teduh memperhatikan. Sementara telingaNya lebar Ia buka. Rambut panjang yang sedikit menutup telinga, Ia singkap dulu. Pokoknya segala perhatian tercurah hanya buatku. Alam yang menyertai kami sedari tadi, memberi tambahan nuansa lain. Suasana sejuk menyelimuti. Resah dan bentuk kesedihan yang sempat menyergap sebab mengingat masa lalu, selaksa terusir oleh kehadiran bunyi burung kecil yang bernyanyi seperti menjadi lagu latar atas ceritaku.
“Maksudku adalah berbahagia dan memberi kebahagiaan baginya. Tapi, belum apa-apa nyatanya aku terlalu egois atas kehendakku sendiri. Aku lupa dan tak mau memperhatikan apa yang sesungguhnya diinginkan olehnya, bukan hanya olehku.”
Tangan kekar Kang Je menepuk-nepuk bahuku. “Seperti yang pernah Kukatakan, dan janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi juga kepentingan orang lain juga. (Filipi 2:4) Kahlil Gibran pun berkata ‘Cinta tidak memiliki dan tidak dimiliki karena cinta cukup untuk cinta’ sebab karena cintlah yang membebaskan segala beban.”
Kutengadahkan kepala.
“Belajarlah mengikis egoismemu, anakKu. Karena mencintai berarti memberi bukan menginginkan, bukan juga mencari kepenuhan kebutuhan emosi.”
Kuangguk-anggukkan kepala. Ku mengerti kini. Tinggal semua bisa kulaksanakan segala nasehat itu dengan baik.
“Jadi, ijinkanlah cintaKu terus membekas dan menyertai hari-harimu. Jikalau kamu tak yakin ada orang lain yang mencintamu, ingatlah bahwa cintaKu tak kan berkurang bahkan jikalau engkau tak mau menanggapi cintaKu ini…”
“Ah, Kang Je… Aku juga jatuh cinta padaMu…” Tiada ragu kupeluk kencang tubuh tinggi nan menenangkan dan penuh rasa aman itu. Dan, aku pun mendapat tanggapan yang tak berkekurangan. Berlebih malah kukira.
“Sebarkanlah cinta kasih ini kepda seluruh manusia, anakKu. Dimana dan kepada siapa pun. Tak usah hirau kau mendapat tanggapan atau tidak. Sebab jika saatnya tiba, bahagia berlapis cinta akan datang kepadamu. Sempurna. Lebih dari yang kau pikirkan selama ini.”
Terima kasih, Kang Je…I love You …
by: Anjar