Fiat Voluntas Tua

Kang Je di Salon

| 0 comments

Atas saran seorang teman, aku pergi ke salon hari ini.
Setelah mendaftar, aku diminta menunggu. Karena akhir-akhir ini kerjaku lumayan memakan tenaga dan pikiran, rasanya semua badan jadi mendadak kaku. Otot-otot serasa tegang semua. Maka cara yang paling gampang dan cepat adalah dengan cara dipijat. Aku memilih dipijat dengan di creambath. Dengan begitu, sebagian urat di punggung, tangan dan kepala lumayan akan meregang, tidak tegang lagi. Sudah begitu, rambut pun menjadi lebih halus dan harum.
Rupanya cukup banyak orang yang berniat sama meskipun tidak sama mau dipijat. Kebanyakan lebih berurusan dengan rambut mereka. Yah.. Namanya juga salon. Yang terpikirnya yang pasti rambut dan urusan wajah. Nggak aneh kalau para pegawai yang ada  pun lebih disibukkan dengan mengurusi rambut para costumernya.

Tak lama, namaku dipanggil. Aku mengikuti seorang pemuda yang dengan ramah mempersilahkan aku untuk duduk di sebuah kursi khusus yang berjejer banyak. Di sana rambutku akan dicuci dulu lalu akan dilakukan pemijatan di kepala dengan obat khusus. Walau sempat terpikir akan risih dirawat oleh seorang laki-laki yang bekerja di salon, aku mencoba menurut saja. Toh, gaya si pemuda ini bukan seperti kebanyakan pekerja cowok di salon-salon. Rasa kuatirku pun berkurang. Meski  tidak keras, pemijatan yang dilakukan pemuda ini terasa pas di kepalaku.
“Kalau terlalu keras, bilang ya, Mbak…,”  ujarnya ramah.
Aku Cuma tersenyum dan terus menikmati pijatannya. “Sudah lama di sini?”
“Sudah, Mbak.Sejak lulus sekolah”jawabnya. Tangannya terampil mencuci, memberi shampo, memijat, mencuci untuk membersihkan shampo lalu memijat lagi.
“Sekolah dimana dulu?”
“Di SMK otomotif, Mbak”
“Heh?!” aku rada kaget. “Lulusan otomotf kerja di salon?”
Pemuda itu tertawa-tawa kecil. “..iya Mbak . Sempet sih kerja di bengkel, tapi nggak lama. Malah lebih memilih ke sini.”
“Waaahh Bengkel salon dong judulnya” gurauku sembari diiringi tawa riang kami. “Nggak kuatir sama cap aneh kerja di salon itu gimana?”  aku penasaran.
Pemuda berkulit putih itu tersenyum manis. “Enggak, Mbak. Kerja di salon memang suka dianggap punya imej negatif. Tapi, menurut saya mah tergantung manusianya. Malah yang saya lihat dari pertama kerja di sini, yang lebih banyak aneh itu justru para tamunya.Hahaha..   ” Ia tertawa lepas. Aku pun juga ikut tertawa. “Alhamdulilah, Mbak… Saya mah masih tetap seperti yang dulu. Laki-laki normal.”
Sembari terus memijat tanpa mengurangi kekuatan memijatnya, ia bercerita tentang beberapa pengalamannya sehubungan dengan pertanyaan yang tadi kutanyakan. Intinya, dia tetap memegang teguh nasihat dan pesan kedua orang tuanya agar menjaga diri baik-baik. Tidak terbawa pergaulan yang tidak benar.
“Apa sih alasan kuatmu mau kerja di salon ini?”tanyaku lagi, lebih tertarik.
“Ya selain karena memang tertarik, saya ingin cepat dapat duit untuk bantu keluarga,” ujarnya sembari  melumurkan obat creambath ke kepalaku. Rasanya dingin di kulit kepala. Pemuda itu pun mulai memijat-mijat lagi kepalaku sesuai aturan yang telah ia pelajari. “Kalau di bengkel dulu, belum pasti gajinya, Mbak.”
“Berapa gajimu di sini?”aku jadi penasaran.
“Masih kecil sih, Mbak. Sehari tigabelasribu lima ratus.”
“Heh?!” kedua kalinya aku kaget. “Cuman segitu? Seharian kamu mijetin atau motongin rambut begini?”
“Iya, Mbak. Tapi, saya juga dapat tip sekitar seribu sampai seribu lima ratus tiap kali selesai creambath atau terapi orang. Gaji itu Cuma gaji pokok saja. Kalo sama tip, kira-kira saya dapat duapuluh ribu”
“Wedew!”aku jadi kagum sendiri. Bercampur tidak percaya juga. “Cukup untuk kamu hidup segitu?”
“Dicukup-cukupin, Mbak. Kan rejeki nggak akan kemana. Saya percaya Tuhan akan ngasih rejekinya sendiri-sendiri,” ujarnya tenang. “Lagian setelah dari belajar ini, ada kayak ikatan dinas di pusat atau cabangnya. Nanti di sana saya akan digaji layaknya karyawan biasa.”

Oooo….! Rupanya dia dan beberapa temannya yang lain dianggap sebagai siswa di salon terkenal tersebut. Mereka diajarkan segala hal berbau perawatan tubuh dan rambut, baik langsung atau tidak langsung. Setelah dianggap mampu, mereka pun akan dijadikan karyawan yang harus siap ditempatkan di mana-mana. Jika mereka melanggar perjanjian itu, akan ada sangsi sejumlah duit yang harus dibayarkan.
Sembari membiarkan tangannya terus memijat di bagian kepala dan punggung, pemuda itu terus bercerita tentang keluarga serta citacitanya untuk punya salon sendiri. Jelas sekali semangat pemuda satu ini. Aku jadi ikutan bangga melihatnya demikian. Tidak ada rasa cemas dan keraguan di wajahnya.
Sesekali ia pun bercanda dengan teman-temannya yang lain. Dari kedekatan mereka, rasanya hal ini yang membuat dia betah dan katanya tidak pernah ada bentrok atau masalah serius. Mereka sudah sama-sama saling menganggap sebagai saudara satu sama lain.
Setelah selesai memijat dan merawat rambutku, ia pun mengajakku kembali ke jejeran bangku di belakang untuk dikeramas lagi. Aku pun menurut. Membiarkan ia kembali membersihkan rambutku.
“Enak ya di creambath?” sebuah suara yang sangat kukenal terdengar di sebelahku.
Sedikit aku menoleh. Memastikan siapa yang dimaksud.
Begitu mataku melihat siapa orang itu, aku terbelalak kaget kesekian kali, “Kang Je?”
Laki-laki yang sama sedang dicuci rambutnya itu tersenyum lebar, “Apa kabar, anakKu?”
“Huaaa!! Kang Je seneng nyalon juga?” aku masih terkaget-kaget tak menyangka sampai tidak menjawab pertanyaanNya.
“Lho, Mbak kenal Bapak itu juga?” Pemuda yang sejak tadi melayaniku menunjuk orang yang dimaksud. Ia menyudahi mengeramas rambutku.
“Iya doooonnggg! Dia kan orang tenar,” jawabku becanda. Kang Je di sebelah senyum-senyum saja. “Memangnya dia sering kemari?”
“Dia pelanggan setia salon kami, Mbak! Biasanya di creambath,” jawab pemuda itu sembari menuntunku ke tempat tadi di creambath untuk perawatan terakhir.
“Huweh?!!!” aku benar-benar kaget lalu menoleh ke Kang Je yang juga selesai dikeramas.
“Kamu lupa? Aku kan ada dimana-mana, untuk siapa saja,” jelasNya seperti hendak menjawab pertanyaan di kepala. Dia pun lebih dulu sampai di tempat duduknya untuk perawatan akhir. Dari sana Ia memberi kode untuk menungguNya setelah semua selesai.
Walau masih dengan rasa tak percaya,aku baiarkan saja waktu berlalu dalam perawatan terakhir pemuda penuh semangat itu. Tak lama, setelah semua beres pemuda itu menyatakan semua sudah selesai. Rambutku pun terlihat lebih rapi, Badan juga terasa lebih ringan.
Ku ucapkan terima kasih padanya sembari menyelipkan selembar uang berwarna ungu. Aku iklas untuk segala yang dia kerjakan serta cerita luar biasa hidupnya.
“Gimana rambutKu? Tambah oke?” tanya Kang Je di depan pintu salon. Ia mengibas-ibaskan rambut gondrongnya seperti iklan shampo. Baunya wangi…
Aku menutup mulut, menahan tawa.”Saingan sama bintang iklan shampo, Kang…”
Kang Je tersenyum sambil mengedip-edipkan matanya. Rada genit.
Sudah lama aku tak melihat pemadangan seperti ini. Sekali-kalinya bertemu lagi dengan junjungan hidupku ini kok ya di salon. Satu tempat yang jauh dari pikiranku untuk bisa bertemu denganNya.
“Gimana badanmu? Sudah lebih baik?” tanya Kang Je sambil berjalan bersamaku untuk keluar areal. Gayanya yang cuek, dengan stelan polo putih dan jeans biru plus…, sandal gunungnya, kupikir tak akan ada yang mengira siapa Dia sebenarnya.
“Udah enakan, Kang… Nggak pegel-pegel lagi,”jawabku. Kang Je angguk-angguk. Senang nampaknya Ia.
“Mmm… Tapi, kenapa Kang Je sekarang kok menemukanku di tempat ini? Biar memang Engkau ada dimana-mana, tapi… Aneh aja kenapa Dikau di sini?” Aku tak tahan bertanya akan ganjalan di hati.
Kang Je menepuk bahuku pelan. “Kamu sudah lama sekali tidak merasa melihatku ada dimana-mana bukan?”
Kepalaku mengangguk.
Harus kuakui, memang itulah yang terjadi.
“Nah, sekarang, di tempat ini, apa yang kamu dapat?”
“Mmmm…,” aku berpikir, “Badan seger lagi, rambut wangi, dapat kenalan baru…”
“Dari orang yang selama ini tidak terpikirkan bahkan sempat kamu anggap sepele, kamu dapat sesuatu?”Kang Je memotong.
“Ah ya!” Kujentikkan jariku. “Aku jadi salut sama pemuda itu. Semangatnya hebat, cita-citanya tinggi dan dia mau menjalani semua proses ini dengan iklas.”
“Termasuk soal gajinya?”
“Iya, gajinya juga itu haha…” Aku merasa tertohok sekali begitu Kang Je menyindir soal gaji. Sehari sebelum kejadian ini, aku memang sempat sedikit menggerutu sendiri. Kebutuhan terus meninggi, sementara penghasilanku tidak juga dapat menutupi kebutuhan itu. Belum lagi pengaruh berita-berita tentang oknum yang bisa begitu mewahnya menikmati hidup, meski dengan cara yang tidak benar.
“BapaKu sudah memberikan yang terbaik bagi manusia ciptaanNya. Tidak ada yang berlebih atau yang berkekurangan. Maka, hanya mereka yang bisa menikmati itu semua dengan ikhlas dan rasa syukur yang akan tetap selalu mendapatkan berkah. Semestinya tidak perlu saling iri,” Kang Je bersuara pelan. Langkahnya terhenti sejenak.
“Aku sengaja mempertemukan kamu dengan pemuda itu supaya kamu lebih tahu, di balik gerutumu atau berita sensasi tentang orang-orang yang sepertinya begitu mudah mendapatkan uang untuk kesukaannya, di sini ada seorang pemuda yang masih berjuang. Bukan hanya untuk hidup, tetapi juga prinsipnya yang tidak ingin terbawa arus atau pandangan orang lain tentang pekerjaannya ini.”
Aku angguk-angguk.

Dari kejauhan sini, masih kulihat pemuda itu bersemangat kerja. Tawa dan keramahannya itu seperti tiada habis menyertai tamu yang sedang dia layani. Dalam hati, aku salut serta bangga kepadanya. Tuhan memang adil, memberikan hidup yang cukup dan menyenangkan kepadanya. Satu saat, ia pasti akan mendapat  apa yang dia inginkan.
Mendadak tangan Kang Je menggandeng tanganku segera. Pelan ia mengajakku bernyanyi, “Burung pipit yang kecil dikasihi Tuhan, terlebih diriku, dikasihi Tuhan… ”
Aku tersenyum. Segera ingat lagu jaman aku masih di sekolah minggu dulu.
“Bunga bakung di ladang diberi keindahan. Terlebih diriku…, dikasihi Tuhan…”
Dan, bersama detik yang melaju diantara kami, kurasakan kembali syukur berkepanjangan. Bukan saja bisa bertemu Kang Je lagi, tetapi sebab mendapat suntikan dari seseorang yang diutus Kang Je yang kini membuatku tersenyum panjang….

(terima kasih erik, malam jumat, 7 april 2011)
“Bagi dunia kau hanya seseorang, tapi bagi seseorang kau adalah dunianya”
visit me at : http://berajasenja.multiply.com/, FB: anjar Anastasia

Catatan: akan terbit buku “Kang Je” vol 2 dan vol 3.

Leave a Reply

Required fields are marked *.