Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia (Mat 19:6)
Pengalaman pertama selalu mendebarkan walaupun berdiri disekitar altar bukan hal asing bagi saya sebagai prodiakon. Hari ini saya memang tidak bertugas sebagai prodiakon. Tapi untuk pertama kalinya kami berdua berdiri begitu dekat dengan imam dan altar sebagai saksi pernikahan Bravo, anak dari saudara sepupu saya. Kedua pengantin yang menjadi perantau di ibukota ini, memutuskan menikah di gereja St Josef Matraman Jakarta. Dari masuk gereja sampai selesai kami mendampigi pengantin, bahkan kami makan hosti dan minum anggur dari piala yang sama. Duh Gusti, matur nuwun sanget. Its so beautiful !
Setiap kali mendapatkan undangan pernikahan, saya memilih datang di gereja daripada resepsi di gedung. Apalagi kalau suami bisa ikut wah bahagia banget deh. Untuk saya menghadiri sakramen pernikahan seperti meneguhkan kami kembali akan janji pernikahan kami sendiri. Saya masih ingat kata-kata saya dan suami, juga saat saya tercekat tidak bisa berkata-kata karena terharu. Homili romo rasanya bukan untuk pengantin, tapi untuk kami berdua. Demikian juga lagu-lagu yang dinyanyikan koor, biasanya bagus-bagus, seolah menyanyi untuk kami. Ge eR aja… karena saya percaya bahwa setiap hari yang baru perlu disyukuri sebagai rahmat Tuhan dalam kehidupan keluarga kami. Dengan mendengar lagu-lagu cinta membuat saya ikut menyanyi mensyukuri setiap kerikil bahkan gunung permasalahan yang telah kami lalui. Itu semua karena rahmat Tuhan semata.
Saat homili romo Agus, SVD menjelaskan akan pentingnya Sakramen sebagai tanda-tanda penyertaan Allah dalam hidup kita, terutama dalam hubungan antara suami-istri. Berani mencintai juga harus berani berkorban bagi pasangannya dan belajar terbuka satu sama lain. Terbuka dan cepat untuk memaafkan tapi lambat untuk marah, itulah syarat komunikasi yang baik. Demikian juga terbuka khususnya dalam hal keuangan mumpung masih pengantin baru. Tidak bisa lagi menggunakan uang selayaknya masih bujangan, semua harus dibicarakan bersama. Romo menegaskan hal ini karena disinilah sering terjadi akar masalah keluarga sehingga pasangan mencari ‘alternatif’ lain.
Romo Agus juga menyadarkan kami bahwa tugas kami berdua menjadi bertambah berat. Saat jadul yang namanya saksi memang hanya memastikan bahwa para pengantin tidak memiliki halangan pernikahan. Tetapi fungsi saksi dalam pernikahan katolik sekarang menjadi diperluas, tidak lagi satu orang dari masing-masing pengantin, tetapi pasutri yang mengenal keduanya. Romo Agus mengatakan bahwa fungsi kami seperti God mother/father, wali baptis, yang mengiringi kehidupan pengantin baru ini dalam memenuhi janji Sakramen Pernikahan-nya. Kami harus selalu siap untuk berdoa bagi mereka dan siap mendengarkan pasangan pengantin baru ini serta mendampingi mereka untuk setia dengan janjinya.
Ya Tuhanku, kami bersyukur bahwa kami berdua diberi kesempatan dan dipercaya untuk menjadi pendamping bagi Bravo dan Ari. Kami sadar bahwa tugas perutusan ini tidaklah mudah, karena kami masih harus bertanggungjawab atas keluarga kami sendiri. Semoga Engkau juga senantiasa memimpin keluarga muda ini hari demi hari dalam kesatuan hati sehingga mereka menjadi tidak terpisahkan lagi. Imanuel !
July 13, 2008 at 6:11 pm
Bu Ratna,
Memang menghadiri Sakramen Pernikahan akan menguatkan pasangan yang sudah 10, 20, 30, … tahun usia pernikahannya, terutama pada tahun-tahun kritis usia pernikahan
Mbah juga selalu lebih berusaha hadir pada Sakramen Pernikahan dari pada Resepsinya
Sewaktu lihat photonya … mbah pikir kok pengantinnya berdirinya disamping hehehe
Selamat ya
July 14, 2008 at 12:34 am
Hehehe… bisa aja mbah, pokoknya serasa jadi penganten sesaat deh mbah 8)
Menurut saya usia kritis perkawinan di jakarta sekarang ini, justru di tahun ke tiga atau saat anak pertama baru berusia 2-3 tahunan. Bahkan kalau jadi seleb bisa kurang dari 2 tahun deh. Lihat aja di setiap acara seleb, lebih banyak yang berpisah kurang dari 2 tahun. Di saat itu hidup pasutri mulai disibukkan rutinitas apalagi bulan madu sudah selesai, sehingga komunikasi antar suami istri menjadi terganggu apalagi bila sudah ada anak. Dengan semakin sedikitnya waktu yang tersedia, banyak hal yang harus dilakukan maka skala prioritas bisa bergeser.
Saat kritis berikutnya bisa berulang lagi ketika pasangan berusia 35-40an tahun menjelang puber kedua. Maka kualitas hubungan pasutri memang tergantung kuantitas waktu yang tersedia.
Maka gpp deh sering-sering datang ke Misa Perkawinan, paling tidak mengambil jeda sesaat untuk melihat perkawinan kita sendiri.
Setuju mbah bahwa setiap hari yang kita lalui adalah mujizat… kita bisa nafas terus dan bangun pagi sendiri kan ya sudah ajaib tha? Nafas bisa berhenti setiap saat kok, kersanipun Gusti Allah.
Untuk Erdian, wah tak tunggu ceritanya lho. Doa saya menyertai agar bisa tenang memilih jalan hidup yang kudus dan yang benar.
Untuk mas Teguh, thanks sudah mampir, salam kenal dari saya.Berkah Dalem.
AMDG/RA