Sahabatku,
Jangan katakan, aku sudah mengasihimu, bila suatu saat nanti aku selalu ingin tahu apa yang engkau perbuat, di manapun engkau berada, dan kapanpun waktunya, atau alasan apapun yang engkau pikirkan.
Jangan katakan, aku sudah mengasihimu, bila suatu saat nanti, engkau melihat diriku suka berbicara manis, namun kenyataanya hidupku, jauh dari yang kukatakan. Kalau aku berbicara bagus, namun ternyata, perbuatanku jauh lebih kasar terhadap orang lain.
Jangan katakan, aku sudah mengasihimu, bila aku tidak pernah membuat “jarak” agar engkau dapat mengambil keputusan sendiri. Kalau aku selalu menawarkan yang terbaik untukmu dan memaksa engkau menerimanya, sebenarnya yang terjadi, aku mengontrol dirimu!
Jangan katakan aku sudah mengasihimu, bila aku mulai curiga padamu, dan selalu mengejar-ngejar untuk menjawab SMS atau mengangkat dering HP, hanya dengan alasan “merasa nyaman” kalau dengan kabar beritamu. Bisa jadi itulah aku yang tidak damai dengan diriku sendiri, namun engkau yang kucari cari kesalahannya.
Jangan katakan aku sudah mengasihimu, saat aku membiarkan engkau menceritakan kejelekan temanm karibmu, kejelakan rumah tanggamu, kejelekan suami, isteri, anak-anakmu! Kalau aku membiarkan engkau bercerita terus, itu berarti aku malah memasukkan engkau dalam “kegelapan”.
Jangan katakan aku sudah mengasihimu, bila ternyata aku tidak mau engkau kritik dan aku marah karena engkau menilai negatif tingkah lakuku. Bisa jadi, aku hanya orang yang selalu mencari “situasi nyaman”, orang penikmat, yang tidak mau disalahkan meski jelas jelas aku ini bersalah!
Jangan katakan aku mengasihimu, bila ternyata aku tidak berani berkata “TIDAK”, padahal aku tahu akibat yang harus engkau tanggung karena telah membuat keputusan yang keliru. Saat aku tidak berani berkata “TIDAK”, itulah saatnya engkau harus berhati hati, bisa jadi aku terperangkap hanya mau menyenangkan hatimu, tapi aku tidak berusaha kerasa membangun kepribadianmu.
Jangan katakan aku sudah mengasihimu, bila aku sering bermurah hati padamu, memberikan banyak barang yang engkau perlukan, karena bisa jadi aku bermurah hati karena takut kehilangan relasi yang hangat denganmu. Bisa jadi aku bermurah hati padamu karena aku takut kehilangan kesempatan untuk mengontrol dirimu.
Jangan katakan aku sudah mengasihimu, bila aku begitu menggebu-gebu bersemangat membantumu, karena bisa jadi motivasiku belum murni. Apalagi kalau aku sudah sakit, tapi aku memaksakan diri untuk membantumu. Bisa jadi aku memaksakan diri karena aku takut kehilangan kesempatan menyenangkan engkau, padahal sebenarnya aku yang berharap mendapatkan sekedar ucapan terima kasih darimu.
Jangan katakan aku sudah mengasihimu, bila aku begitu bersemangat untuk “meminjamkan telingaku” dan mendengarkan isi hatimu. Bisa jadi semangatku itu muncul karena aku bangga menjadi “tempat ketergantungan orang lain”, sehingga aku malah menggantikan peran Tuhan dalam hidupmu. Padahal hanya Tuhanlah yang mestinya pertama kali menjadi tempat curahan hati. Siapapun diriku, adalah manusia, yang tidak dapat diandalkan. Aku bukan “Tuhan”, yang dapat diandalkan sepenuhnya. Karena itu, tetaplah untuk pertama-tama berbicara kepada Tuhan di saat-saat sedang mengalami banyak kegelisahan dan kesulitan, itulah yang benar. “Kebenaran itu tentu bisa jadi membuat luka”, karena kita akhirnya rela untuk pertama tama belajar hidup beriman, yang diwarnai “ketidakpastian” . Dalam ketidakpastian ada “harapan yang bisa diandalkan”, itulah Tuhan yang sudah hadir dalam diri kita.
Kata Tuhan kepadaku, “Aku sudah hadir dalam dirimu, namun kapan engkau menyapa-Ku?” Aku pun menjawab, “Iya Tuhan, aku ternyata tidak berada di dalam rumahku sendiri, sehingga aku tidak tahu, kalau Engkau sudah datang di rumahku. Aku keluar dari rumahku dan jalan jalan ke sana kemari, mencari pujian, mencari penghiburan dan mencari kenikmatan di mana-mana agar aku merasa nyaman! Aku ternyata jarang sekali tinggal di rumahku sendiri, padahal Engkau sudah menanti di rumahku. Terimakasih Tuhan, Engkau setia menjaga rumahku. Aku akan tinggal di rumahku bersama-Mu!
Have a nice today!
Purwokerto, 15 September 2009 – Blasius Slamet Lasmunadi, Pr