Kutukan
Tidak nasionalis, kata beberapa orang, bila saat tujuh belas agustus-an lupa menaikkan sang saka merah putih di tiang tertinggi, di halaman rumahnya. Tidak nasionalis juga, bila ada orang yang lupa, salah satu saja dari ke-lima sila dari Pancasila. Sangat memalukan dan tidak nasionalis lagi bila ada yang lupa beberapa bait lagu saat menyanyikan Indonesia Raya. Mungkin juga semakin tidak nasionalis lagi, kalau ada yang tidak tahu berapa jumlah bulu di sayap, dada dan ekor burung Garuda Pancasila, yang merupakan simbolisasi dari jargon kata nasionalisme itu. Terakhir juga tidak nasionalis kalau tidak mendukung kesebelasan sepakbola dari negeri ini saat bertanding dengan kesebelasan dari negara lain. Anehnya, ada juga yang mengatakan saya lebih nasionalis dari anda, karena saya datang dan menonton langsung pertandingan itu, di Stadion Senayan, tidak hanya nonton di layar kaca. Hingga nasionalis pun kembali menjadi ”kecap” yang diusung para calon presiden dalam pemilu kali ini, yang dalam artian, lebih mengutamakan negara dan rakyat daripada kepentingan pribadi, katanya itu nasionalis. Debat antar capres pun kembali mengusung ”kecap” nomor satu ini, saya yang lebih nasionalis daripada capres yang lainnya. Membingungkan, sebenarnya ”binatang” apa nasionalisme itu, hingga banyak sekali sumpah serapah bahkan orang yang satu dan lainnya saling memberikan kutukan. Kutukan nasionalisme.
Diskursus
Dalam kebangsaan kita, mungkin nasionalisme dapat disinonimkan dengan dua pemaknaan yang hampir setara yaitu kemerdekaan dan kedaulatan. Dua pemaknaan akan arti nasionalisme ini juga terkait dengan peristiwa yang mewarnai perjalanan bangsa Indonesia hingga saat ini. Dari saat menjelang detik-detik kemerdekaan dan sampai sekarang ini, saat kita sekarang terus berupaya menjaga kedaulatan pasca kemerdekaan, yang heroik itu, katanya.
Nasionalisme dalam pergerakan menuju kemerdekaan, maka musuhnya sangat jelas, penjajah dan imperialisme kolonial barat, yang telah banyak ”menghisap” semua sumberdaya yang ada dari Bumiputera, ibarat seorang perampok yang telah selesai menguras semua harta kekayaan dan hanya meninggalkan tangis dan luka yang berkepanjangan. Kenangan yang hanya menyisakan sebuah trauma sejarah. Sehingga jelas nasionalisme kala itu, merupakan simbol perlawanan saat menentang kolonialisme Belanda dan Jepang. Bibit-bibit nasionalisme sudah tumbuh saat itu. Namun, meskipun kebangkitan rasa nasionalisme sudah terjadi pada masa itu, akar-akarnya pun sudah jelas, yaitu menghadapi musuh yang sama, tapi konsepsi akan kesepakatan nasionalisme yang akan dianut secara kolektif dan bersama masih sangat beragam, belum mengerucut, seperti sebuah piramida terbalik. Beberapa orang memiliki pemahaman akan ide nasionalisme yang sangat berbeda. Diskursus nasionalisme pun kerap terjadi, setiap pihak menanyakan kembali konsep-konsep nasionalisme dari pihak lain. Ada yang saling kompromis dan ada yang terus ”berkelahi” bahkan hingga saat ini. Ide nasionalisme masih liar, belum menjadi ideologi yang sama, yang bisa dijadikan menjadi paham dan falsafah hidup berbangsa.
Setidaknya sampai pada tahun 1930-an, saat Indonesia belum merdeka pun, konsep nasionalisme sudah menguak ke permukaan, terdapat 3 partai besar yang mengusung ideologi nasionalisme ini, namun ketiganya memiliki pengertian yang saling berbeda. Ketiga partai besar kala itu adalah Parindra, Gerindo dan PSII. Menurut Wilson, si penulis buku ”Orang dan Partai Nazi di Indonesia, Kaum Pergerakan Menyambut Fasisme”, mengatakan, ”Pada tahun itu sebenarnya perdebatan yang paling seru adalah antara Parindra-nya Soetomo dengan Gerindo-nya Amir Syarifuddin. Karena Parindra ini mendefinisikan nasionalisme dengan mudah saja, dengan membalikan begitu saja kata kolonial tersebut, kolonial berarti bukan nasionalisme. Nasionalisme hanya dimiliki oleh orang-orang yang dianggap Indonesia asli, maka muncul juga istilah pribumi dan bukan pribumi, jadi Parindra ini hanya membalikan saja. Dan yang dimaksud dengan orang-orang Indonesia ini hanya meliputi orang-orang pribumi ini saja. Inilah yang akhirnya menjadi rasis, kan. Sehingga nantinya kita jadi anti Cina, anti Arab dan anti asing. Parindra sendiri adalah partai yang besar saat itu, dan Doktor Sutomo, si pendiri Budi Utomo itu, jelas seorang yang diakui punya legitimasi saat itu.”
Alhasil Gerindo, yang dipimpin oleh Amir Syarifuddin merasa khawatir dengan adanya konsepsi nasionalisme-nya dari Parindra itu yang terlalu reaksioner, sangat konservatif, tidak demokratis dan bahkan berbau rasis. Definisi nasionalisme dari Parindra itu pun dianggapnya tidak sesuai dengan kultur Indonesia yang sangat pluralis baik secara sejarah dan budaya. ”Definisi nasionalisme seperti itu sangat diskriminatif. Juga nasionalisme dalam arti yang sangat sempit karena nasionalisme seperti itu tidak mengandalkan pluralisme akan sangat berbahaya kemudian, bagi Indonesia, karena seperti ini yang oleh orde baru akan ’dikanankan’ lagi. Dan bahkan nasionalisme disempitkan lagi menjadi nasionalisme secara teritorial saja”, ujar Wilson yang saat ini tengah mengupayakan sosok Amir Syarifuddin agar semakin dapat diterima menjadi bapak bangsa.
Paling pribumi ?
Parindra pun melakukan eksperimen dengan mencari akar-akar nasionalisme dari sejarah-sejarah masa lampau, perihal siapa itu orang-orang Indonesia asli, orang-orang yang paling sah menyandang ”gelar” sebagai orang Indonesia asli atau pribumi asli. Akhirnya Mohammad Yamin ”menemukan”, katanya, akar dari keindonesiaan itu berasal dari sejarah Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Sriwijaya. Meskipun hal ini juga sangat sulit untuk diterima, karena bila mengacu pada riset dan teks-teks akademis, maka anggapan itu pun akan ”runtuh”, karena kalau kita ingin mencari siapa sebenarnya orang Indonesia yang paling asli, maka akan sulit, karena semuanya sudah tercampur, yang didalamnya ada Hindu, Budha, China, Arab, Turki, India, sebagai sebuah kesatuan. Tidak bisa lagi Indonesia diibaratkan seperti kue lapis yang bisa dipisah-pisahkan, satu sama lain.
Sekitar tahun 1937, Gerindo dengan Amir Syarifuddin menjadi sangat ”gerah”, dengan konsep nasionalisme yang rasis dari Parindra. Sehingga dalam kepentingan untuk melawan konsep nasionalisme Parindra itu, sekaligus juga untuk melawan fasisme, maka dia mengembangkan konsep nasionalisme kewarganegaraan, yang sangat modern saat itu, yang mengadopsi dari Perancis. Dengan konsep nasionalisme kewarganegaraan ini maka semua orang yang tinggal dan menetap di Indonesia adalah warga negara Indonesia, apapun rasnya, orang itu adalah orang Indonesia, tidak pandang bulu dari mana ras itu berasal, bisa jadi dia keturunan China, Arab, India, Batak, Jawa, beragama Islam, Kristen, berkulit hitam semuanya adalah warga Indonesia. Tidak ada bedanya sama sekali, tidak ada pembedaan yang mana paling asli, yang mana paling pribumi. Semua ras dan suku sama.
Tapi faktanya konsep nasionalisme kewarganegaraan itu yang membuat Amir Syarifuddin tersingkir. Definisi nasionalisme yang dari Parindra dan Yamin inilah, yang kurang lebih, akhirnya diadopsi ke dalam konstitusi UUD 1945. Konsep nasionalisme Parindra ini sangat dekat, misalnya dengan salah satu pasal di UUD 1945, terlihat dengan pasal kepala negara yang diharuskan adalah berasal dari orang Indonesia asli. ”Itu kan suatu kata yang rasis sebenarnya, dan menunjukkan Indonesia harus dipimpin oleh orang Indonesia asli, orang Indonesia yang pribumi. Kira kira itu kelanjutan dari Parindra dan Yamin seperti itu dampaknya sekarang.” tutur Wilson memberikan argumennya.
Kedua partai inilah yang terus menerus melakukan diskursus mengenai konsep nasionalisme yang paling sesuai di Indonesia. Ada satu partai lagi, PSII, yang diketuai oleh Abikusno, tapi konsep nasionalismenya tidak begitu ”kental” bahkan ”kabur”, karena selain berangkat dari salah satu ormas berbasiskan agama, dalam hal ini Islam, PSII pun mendukung fasisme Jepang. PSII dengan Abikusno yang akhirnya menjadi Masyumi pada saat Jepang datang, mungkin bisa dikatakan lebih konservatif lagi, karena terus memperjuangkan gagasan negara Islam. Menurut mereka bunyi sila pertama di Pancasila sekarang, yang berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa, seharusnya berbunyi Islam sebagai asas negara. Jadi katanya, Pancasila itu, sebagai asas negara, belum tuntas dan kabarnya perjuangan ke arah itu bisa kembali dilakukan setelah Indonesia merdeka. Perdebatan itu pun terus berlangsung hingga kini, perihal sudah tuntas atau belumnya rumusan Pancasila itu. Meskipun juga banyak yang sudah menganggap kalau Pancasila itu sudah final, tak bisa diganggu gugat lagi. Tapi satu hal yang pasti, tentu aja perjuangan partai PSII itu bukan bercorakan negara pluralis, demokratis dan sekuler. Itu juga tidak membangun rasa nasionalisme Indonesia.
Menarik, bila kita mengetahui kiprah kedua partai, Parindra dan Gerindo, sebagai dua partai besar saat itu, meskipun konsep nasionalisme yang saling berbeda, mereka bisa tetap saling ”ketemu” dan bekerjasama, seperti pada saat melawan musuh bersama, mereka bergabung di GAPI (Gabungan Politik Indonesia), untuk mengkampanyekan bahayanya fasisme dan pentingnya Indonesia untuk berparlemen.
Tak suka Soekarno
Sejarah memang pada akhirnya mencatat bahwa Soekarno, Hatta dan Syahrir sebagai tokoh yang sangat populer dalam sejarah pergerakan bangsa Indonesia. Mungkin juga karena posisinya sebagai presiden, wakil presiden dan perdana menteri yang pertama kali di republik ini. Soekarno, yang lekat dengan julukan ”penyambung lidah rakyat”, dialah juga yang memiliki gagasan mengenai Pancasila, yang merupakan suatu asas kesatuan tunggal bagi Indonesia. Bung Karno yang sangat membenci kolonialisme pun menyatakan, seorang nasionalis yang sejati adalah kalau orang itu bersedia dan berbakti dalam memperbaiki kaum kecil dari kesengsaraan sekaligus melindungi rakyat dari penindasan..Bapak bangsa yang satu ini juga mengetahui bila penindasan itu tidak hanya akan datang dari para kapitalis asing saja, melainkan juga dari borjuis-borjuis lokal, penindasan yang dilakukan oleh anak-anak bangsa juga kepada anak-anak bangsa itu sendiri. Ironis. Soekarno pun menawarkan nasionalisme dengan jalan Marhaenisme, dia percaya hanya dengan Marhaenisme, yang awalnya berasal dari Marxisme inilah, maka borjuisme dan kapitalisme dapat dilenyapkan di muka sejarah, juga di Indonesia. Rumusan nasionalisme-nya itu, jelas terkandung rasa kemanusiaan dan rasa cinta tanah air. Marhaenisme yang telah dirumuskannya saat masih berusia 20 tahun. Saat Soekarno, katanya, sedang bersepeda mengelilingi Bandung, dan bertemu dengan seorang petani yang memiliki nasib yang tidak beruntung, seorang petani yang bernama Marhaen. Wajar, bila jargon kata nasionalisme itu dekat dengan sang proklamator Indonesia, Bung Karno.
Tapi sebenarnya kata nasionalisme itu sendiri tidak hanya dekat dan melekat pada seorang tokoh saja. Nasionalisme dan rasa kebangsaan juga ”mengalir” di lima ”darah” para founding fathers kita. Sebut saja Soekarno, Hatta, Syahrir, Tan Malaka juga Amir Syarifuddin. Saat fasisme Jepang mendarat datang ke Indonesia hanya Syahrir dan Amir Syarifuddin saja yang tidak mau bekerjasama dengan Jepang, sama sekali. Bahkan untuk dua nama terakhir, Malaka dan Amir, akhirnya rasa nasionalisme yang mereka perjuangkan bernasib sangat tragis. Rasa nasionalisme Tan Malaka dan Amir Syarifuddin ”tergadaikan’, diistilahkan dengan kalimat, ”akhirnya revolusi memakan anak-anaknya sendiri”. Sangat tragis.
Padahal peran dan kontribusi dari seorang Tan Malaka dan Amir Syarifuddin dalam pergerakan menuju kemerdekaan juga tidak bisa diabaikan. Amir bernasib paling tragis bahkan hingga saat ini. Asvi Warman Adam, sejarawan dari LIPI, mengatakan, “Ini jelas suatu yang sangat tragis. Seorang tokoh yang termasuk empat tokoh besar Indonesia dari tahun 1945 sampai tahun 1947 adalah Soekarno-Hatta-Syahrir-Amir Syarifuddin. Nama Amir pasti disebut kalau tahun 1945 sampai 1947, itu kalau kita ditanya mengenai empat orang tokoh Indonesia. Dan hanya Amir Syarifuddin yang hingga kini satu-satunya belum juga diangkat sebagai pahlawan nasional ”
Alimin yang jelas-jelas PKI saja sudah diangkat menjadi pahlawan nasional oleh Soekarno, pada tahun 1964. Sedangkan Amir Syarifuddin sampai sekarang belum, padahal Amir juga mempunyai konsep nasionalisme kewarganegaraan, yang diluncurkannya dengan partainya Gerindo, dalam menghadang konsep nasionalisme Parindra yang dinilainya sangat rasis, sekaligus melawan kehadiran fasisme di Indonesia. Gagasannya agar Indonesia yang berasal dari sejarah dan budaya yang sangat plural dapat menjadi satu dalam bingkai nasionalisme kewarganegaraan. Konsep kewarganegaraan yang bukan berdasarkan atas darah dan ras melainkan berdasarkan tempat kediaman dan hak-hak yang melekat sebagai warganegara. Pemikiran yang merupakan kritik atas kebijakan rasialis Belanda yang mencoba untuk memecah belah warganegara dalam kategori “pribumi” dan “pendatang”.
Soekarno dengan konsep nasionalisme-nya yaitu Marhaenisme, Amir Syarifuddin dengan nasionalisme kewarganegaraan, dan terakhir jangan sekali-sekali melupakan sejarah, jangan sekali-sekali melupakan Tan Malaka. Karena sesungguhnya dialah yang paling pantas diberikan gelar sebagai bapak republik. Karena sejatinya republik adalah gagasan dari Tan Malaka, yang nama aslinya adalah Ibrahim Datuk Tan Malaka. Dialah yang pertama kali menggagas konsep republik sejak tahun 1925. Nasionalisme itu dalam benak Malaka adalah negara dalam bentuk kesatuan republik.
Menarik juga antara Sutan Syahrir, Amir Syarifuddin dan Tan Malaka memiliki satu kesamaan. Bila Syahrir dan Amir paling anti fasis dan menolak kerjasama saat Jepang datang ke Indonesia, maka Malaka pun melakukan hal yang sama, dengan taktik tidak mau bekerjasama (non cooperatif) baik pada jaman Belanda maupun Jepang. Meskipun juga bernasib sangat tragis, Malaka lebih beruntung dari Amir, mungkin karena pengikutnya yang lebih banyak, maka namanya sudah direhabilitasi oleh Soekarno, dengan mengangkatnya menjadi pahlawan nasional di tahun 1963, Malaka dinyatakan sebagai ”Pahlawan Revolusi Nasional” dengan ketetapan undang-undang melalui sebuah parlemen.
Malaka sebuah nama yang nyaris ”ditelan” bumi selama-lamanya. Beruntung saat tergulingnya totalitarian orde baru, saat reformasi kala 1998 itu, yang bermula dari gerakan mahasiswa, nama Tan Malaka menguak kembali ke permukaan, dari liang kubur sejarah yang terdalam. Malaka pun menjadi salah satu sosok yang juga menginspirasi gerakan mahasiswa itu. Menjadi kebanggaan, para pemuda saat itu, karena banyak yang akhirnya tersadarkan, bila ternyata Indonesia memiliki sebuah sosok yang lebih berkarisma, tidak semata hanya bisa berpidato yang meluap-luap dan berapi-api saja, namun melalui gagasannya tentang Indonesia, tentang nasionalisme, tentang republik. Tak luput maha karya-nya, Madilog ”mewarnai” buku-buku yang ada saat era 98 itu.
Malaka menunjukkan rasa nasionalisme dengan menolak keras kemerdekaan adalah pemberian Jepang. Ketika Soekarno-Hatta berkunjung ke Bayah, di Banten, Malaka menyela pernyataan Soekarno yang mengatakan Indonesia bakal merdeka bersama Jepang. Menurutnya, kemerdekaan itu harus direbut dan bukanlah merupakan sebuah hadiah. Malaka pula yang mengupayakan rapat raksasa di Lapangan Ikada, rapat raksasa yang pertama setelah Indonesia merdeka, tanggal 19 September 1945.
Saat menjelang kemerdekaan pun banyak yang tidak mengetahui dan pernah bertemu dengan sosok Tan Malaka, namun gagasan seorang Malaka-lah yang mendorong agar proklamasi selekasnya dilakukan. Bahkan Malaka pun tidak tahu dan tidak ikut saat Sukarni dan Chaerul Saleh akan menculik Soekarno-Hatta ke Rengasdengklok, karena keduanya tidak suka saat Soekarno-Hatta masih berkeinginan keras agar Proklamasi dilakukan melalui Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, yang Jepang masih turut campur di dalamnya.
Apa pun ”binatang” nasionalisme itu, ternyata sebuah pelajaran bisa dipetik, baik Soekarno, Malaka, Amir dan juga founding fathers lainnya, meskipun memiliki konsep nasionalisme yang saling berbeda, satu sama lain, termasuk juga dengan penggunaan taktik stratregi dan alat yang mereka gunakan. Namun sejatinya, semuanya bapak-bapak bangsa itu, mempunyai satu tujuan yang sama, agar bangsa Indonesia keluar sistem kolonialisme dan ekspansi imperialisme asing termasuk juga melepaskan diri dari lilitan ”gurita” kapitalisme. Mendorong tercapainya kemerdekaan bagi Indonesia, menjaga kedaulatan walaupun hasil yang mereka dapatkan sangat tragis. Mengupayakan sebuah kedaulatan yang tak terbagi-bagi lagi.*)
Dimuat Majalah TAPIAN, Edisi Agustus 2009, tulisan pra-editing : Chris Poerba, SJ