Memang enak sekali menegur kiri kanan, tapi kadang kita lupa bahwa ada kaca seribu sudut yang secara imajiner disekitar kita, membuat kita perlu melakukan introspeksi, memeriksa diri sendiri dulu sebelum menegur orang lain. Termasuk setiap kali menulis renungan seperti ini saya harus sungguh-sungguh siap untuk menghadapi serangan balik. Maklum, suami dan anak-anak juga akan membacanya di blog saya suatu saat. Pernah suatu saat si bungsu protes namanya disebut di salah satu renungan saya. Katanya saya melanggar HAM karena mencantumkan namanya tanpa seijin dia… weleh…weleh…wokeeeh d, saya berjanji untuk lain kali meminta ijin dulu padanya setelah saya koreksi tulisan tersebut.
Sayangnya ‘muna’ besar dimulai dari yang kecil-kecil yang sering sekali kita langgar, dan akhirnya menjadi biasaaaa sekali kita lakukan. Akhirnya kita kemudian mengatakan “gak apa apa, sekali-sekali dilakukan bohong kecil”. Kita perlu belajar dari kejatuhan si raksasa Goliat yang besar itu justru jatuh dikalahkan karena kerikil yang dilontarkan Daud yang masih kinyis-kinyis. Maka marilah kita berhati-hati dan belajar setia dari hal yang kecil, bahkan dengan siapapun yang kita jumpai. Gak usah pake ‘topeng’ dimana-mana, nanti malah pusing sendiri. Katakan sesuatu dengan tulus dan terbuka terhadap kritikan orang lain.
Kalau kita meminta maaf pada orang lain, mari kita katakan juga dengan tulus. Kalau kita memberikan maaf juga katakan dengan tulus. Tidak ada lagi pembicaraan (di belakangnya) tentang permasalahan masa lalu yang hanya membuka luka lama. Kalau terus-menerus kita lakukan maka kita menjadi terbiasa untuk ‘muna’ berpura-pura memaafkan. Oleh karenanya mari kita mohon pimpinan Roh Kudus agar kita bisa melangkah dengan hati damai tiada beban dihati, tanpa menyimpan segala kesalahan orang lain dan tanpa menghakimi siapapun karena percaya bahwa setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan. Kitapun jauh dari sempurna, kita sedang berupaya agar hari ini lebih baik dari hari kemarin. Kalaupun kita salah bertindak hari ini, kita juga percaya bahwa Allah memberikan kesempatan kepada kita dan orang lain untuk menjadi lebih baik, menjadi lebih sempurna.
“Jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi. Karena dengan penghakiman yang kamu pakai untuk menghakimi, kamu akan dihakimi dan ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu. Mengapakah engkau melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau ketahui? Bagaimanakah engkau dapat berkata kepada saudaramu: Biarlah aku mengeluarkan selumbar itu dari matamu, padahal ada balok di dalam matamu. Hai orang munafik, keluarkanlah dahulu balok dari matamu, maka engkau akan melihat dengan jelas untuk mengeluarkan selumbar itu dari mata saudaramu.”