Hari Raya Tritunggal MahaKudus
” Ul 4:32-34.39-40; Rm 8:14-17; Mat 28:16-20
‘Homesick’–adakah yang bisa menjelaskan, atau menerjemahkan? Rindu rumah, kesepian, ingin disayangi, ingin pulang, merana, gelisah, letih, ‘burn-out’, frustrasi, bingung, sentimentil, merasa gagal, merasa kalah, ingin menyerah saja, melankolis, hingga sakit perut–semua bisa dipakai untuk menjelaskan pengalaman itu. Dengan begitu banyaknya penjelasan, kita jadi curiga apakah orang benar-benar memahami apa fenomena ‘homesick’ itu, atau jangan-jangan mereka hanya mengada-ada saja. Rujukan ke buku, atau ilmu tertentu, akan selalu bias, karena ‘yang mengalami’ tetap orang itu sendiri. Dia sendiri paling bisa menjelaskan, tapi entah mengapa, pengalaman itu selalu ‘lebih’ dari penjelasannya. Saat merasa mengerti dan mencoba menjelaskannya, tiba-tiba kita berhenti, dan bergumam, “Ah, tidak juga.” Alam pikir kita mungkin sudah terlalu subjektif, terlalu ilmiah dan tergantung pada intelek kita sendiri setiap waktu. Intelek adalah kekuasaan, bagi sementara orang.
Maka, ‘mengerti’ adalah sebuah kemenangan dan prestasi. Dalam bahasa Inggris, ini terdengar lebih dominan lagi. ‘To understand’, apakah berarti ‘to put something under my stand’ (meletakkan sesuatu ‘di bawah’ posisiku)? Mengerti, berarti menguasai? Kalau begitu, betapa tertekan hidup kita itu, karena tak terhingga banyaknya peristiwa yang tidak kita mengerti, tidak bisa kita kuasai! Pengalaman kita terlalu besar dan melanda otak kita yang hanya seperti sampah di arus sungai. Berhadapan dengan pengalaman tertentu, kita tiba-tiba kelu, tak berdaya, tapi juga bersyukur.
Pengutusan kesebelas murid Yesus di Galilea tidak berlangsung ‘mulus’. Kejadian itu menyisakan sebuah kenyataan yang agak ‘mengganggu’, seperti dikisahkan oleh Matius hari ini. Pernyataan iman akan Allah Tritunggal didahului oleh sebuah kenyataan, yakni bahwa di antara para rasul itu pun, “beberapa orang ragu-ragu.” Doktrin yang begitu dominan dalam Gereja disampaikan di tengah keraguan. Injil tidak diakhiri dengan frase “dan mereka pun berbahagia selama-lamanya”, tetapi sebuah ganjalan yang identik dengan “saya tidak mengerti.” Seorang anak yang minta dibelikan sepeda motor namun ditolak oleh orangtuanya bunuh diri dengan menjatuhkan diri dari ketinggian. Yang lain membenci ibunya hanya karena ditegur soal kemalasannya belajar. Ada lagi yang kabur dari rumah gara-gara keluarganya lupa merayakan ulang tahunnya. Mereka semua ini seakan-akan berteriak, “Aku tidak mengerti!” oleh karena satu kejadian saja.
Cinta dan perhatian, kehangatan dan nyanyian penuh kasih orangtua sejak mereka lahir dan dibesarkan, menjadi tidak berarti lagi karena sebuah kejadian. Apakah ini benih ‘keraguan’ akan Allah yang begitu mencintai kita itu? Hanya sedikit orang yang ‘ingat’ bahwa Allah Tritunggal pertama-tama adalah Allah Sang Cinta. Sebagaimana cinta, Allah itu tidak bisa hidup sendirian. Ia memilih untuk mendatangi manusia yang diciptakan-Nya, hadir di antara mereka sebagai Putra Manusia. Dan ketika Cinta-Nya pun masih ditolak oleh manusia di salib, Ia tidak mau berhenti mencintai, dan mengutus Sang Penolong untuk membantu manusia ‘memahami’-Nya, bukan dengan akal budi, tetapi melalui ‘pengalaman dicintai’. Allah membuat manusia merasa ‘homesick’, sakit perut karena ingin disayangi kembali oleh Allah, ingin berelasi kembali dengan-Nya, agar tiap ‘keraguan’ akal budi hanyut oleh sungai cinta-Nya. “Tidak pernah ada Allah seperti itu,” kata penulis Kitab Ulangan (bacaan I).
Allah yang kita punyai begitu dahsyat dalam hal mencintai dan mendatangi kita, dan dalam semua itu, kita masih tetap hidup! Allah kita tidak bisa diam melihat kesusahan kita, tidak bisa menahan diri untuk mengulurkan tangan dan menyelamatkan! Bukankah semua ini kita alami setiap hari, sekaligus tidak ‘masuk’ di akal kita? Benar. Dia tidak masuk akal, karena hanya bisa dialami, dilihat, disentuh, dipeluk, dicium. Allah memang tidak pernah ‘masuk akal’; Ia hanya bisa masuk ke hati kita. Ia hanya bisa dialami sungguh amat nyata.
Mana yang seharusnya menyelamatkan hidup kita, ‘mengerti’ tentang Allah Tritunggal, atau mengalami, menerima, mencintai Dia? Gara-gara tidak paham, kita mudah sekali melupakan pengalaman riil dikasihi Allah begitu dahsyat sampai dengan saat ini. Kita memang tidak akan ‘mengerti’ Dia kalau maksudnya adalah ‘menguasai’. Relasi Bapa, Putra, dan Roh Kudus adalah sebuah pemberian yang paling indah dari Yesus. Dari siapa lagi kita akan mengenali Tritunggal?
Pengalaman Yesuslah satu-satunya penyebab adanya gambaran cinta ilahi ini. Kalau Yesus tidak pernah menyapa ‘Abba’, kalau Yesus tak pernah membahasakan diri-Nya sebagai Putra, kalau Yesus tak pernah mengirimkan Roh Kudus, kita pun takkan mengalami Tritunggal. Tidak ada gunanya berdebat tentang sebuah ajaran atau doktrin. Kita tahu bahwa itu semua adalah ‘pengalaman’ Yesus sendiri sebelum menjadi ‘ajaran’ Gereja. Untuk apa kita memperdebatkan pengalaman Yesus? Sungguh-sungguh tidak berguna! Kita akan terus dibuat rindu pada Allah, rindu dikasihi lagi oleh-Nya. Kata-kata ‘pergilah’ (Yun. ‘poreuomai’) yang dikatakan Yesus berbentuk pasif. Artinya, kita akan dibimbing, diarahkan. Kita bukan subjek dalam pengutusan ini. Masuklah ke dalam pengalaman akan Dia, dengan sepenuh hati. Amin.
Romo Tedjo