TEMPO.CO, Jakarta – Soegija, film garapan sutradara Garin Nugroho, bercerita tentang pahlawan nasional yang juga uskup pribumi pertama di Indonesia, Mgr. Albertus Soegijapranata. Pada Perang Pasifik 1940-1949, Soegija berkeliling Semarang untuk datang ke desa-desa dan mendengar keluhan penduduk di sana. Soegija juga memindahkan Keuskupan Semarang ke Yogyakarta sebagai dukungannya atas pemindahan ibu kota Indonesia dari Jakarta ke DIY.
Meski bercerita tentang aktivitas Soegija sebagai uskup, Garin menolak anggapan bahwa film ini berisi tentang dakwah. Dia juga memastikan bahwa Soegija tidak bercerita tentang agama tertentu atau sebagai usaha kristenisasi. “Soegija bukan film dakwah atau tentang agama,” kata Garin dalam diskusi film Soegija, Kamis, 26 April 2012.
Garin mengangkat kisah hidup Seogijapranata dalam filmnya untuk menunjukkan kepada para pemuda zaman sekarang bahwa Indonesia pernah punya pemimpin yang mengedepankan kemanusiaan. “Indonesia pernah punya pemimpin yang tangguh dan tidak menjadikan kemanusiaan sebagai sebuah wacana belaka,” kata sutradara Rindu Kami Padamu ini.
Sebuah hiburan, kata Garin, bisa menjadi ruang pendidikan yang baik untuk membentuk seseorang. “Dan film Soegija bisa menjadi sarana diskusi penonton tentang kondisi saat ini,” ujarnya.
Peran Soegija ketika Perang Pasifik tidak hanya penting bagi umat Katolik, melainkan untuk Indonesia. Sebab Soegija kerap menulis artikel di media luar negeri untuk melawan penjajah. Silent diplomacy, nama perjuangan itu. “Film ini merupakan tafsir sejarah yang dipopulerkan sesuai era saat ini,” kata Garin.