Fiat Voluntas Tua

Kartini Hidup di Batinku – Sr. Monika SND

| 0 comments

Kartini Hidup di Batinku

OPINI – KORAN JAKARTA/GANJAR DEWA

Setiap tanggal 21 April, selalu ada saat untuk merenung dan merefleksikan kehidupan Raden Ajeng Kartini yang dilahirkan sebagai putri Indonesia tahun 1879 di Mayong Jepara, Jateng. Hidupnya membawa dan memberi berkat bagi sesama, khususnya kaum perempuan.
Yang dilakukan sungguh menyentuh batin dan hidup saya. Bahkan, saya berkhayal, seandainya dia tidak pernah berjuang dan mengangkat hidup kaumnya, apa yang terjadi pada diri perempuan Indonesia? Saya mengenalnya sejak di bangku taman kanak-kanak lewat cerita orang tua dan guru. Mereka menuturkan riwayat hidup dan perjuangannya. Kecintaan saya pada Kartini semakin berkobar manakala diajak orang tua menelusuri tempat-tempat bersejarahnya.

Napak tilas biasanya dimulai dari tempat kelahirannya di Jepara, kemudian ke tempat dia hidup sebagai istri bupati di Rembang, lalu bapak ibu melanjutkan ke makamnya di Bulu Mantingan. Memang tak sukar untuk menelusuri sejarah Kartini karena saya dilahirkan dan sampai remaja tinggal di Blora yang tidak jauh dari ketiga tempat tersebut.

Semangat ingin mendalami Kartini pun tidak pernah pudar dalam sanubari walau kini saya berada di tempat yang jauh. Kerinduan untuk menelusuri tempat bersejarah maupun menelaah hidupnya selalu membara, menghidupkan semangat saya. Kartini sungguh luar biasa dalam kreasi berpikir dan bersosial. Dia mengatasi dirinya.
Dia keluar menembus cakrawala baru untuk mewujudkan impiannya memajukan kaumnya-para perempuan pribumi-yang berada pada status sosial rendah, terpuruk, dan terbelenggu adat. Meskipun hanya mengenyam pendidikan ELS (Europese Lagere School) dan ketika berusia 12 tahun dipingit karena adat yang tidak membolehkan wanita keluar rumah, belajar sesuatu yang baru, dia tetap belajar menulis dan membaca.

Dengan kemampuan berbahasa Belanda, Putri Jauhari ini mengembangkan komunikasi dengan dunia luar. Dia berkorespondensi dengan para sahabat di Belanda. Sahabatnya, Rosa Abendanon, sangat mendukung dengan banyak bercerita tentang kemajuan wanita Eropa serta mengirimi buku-buku, koran, dan majalah. Hati Kartini tertarik dan tertantang kemajuan berpikir perempuan Eropa.

Dari sini, dia memperoleh roh yang berkobar-kobar untuk memajukan perempuan pribumi. Jiwanya memberontak melihat penderitaan, penindasan, dan ketidakberdayaan wanita di sekeliling. Setiap hari, Kartini menyaksikan eksploitasi wanita. Kebodohan wanita menjadi pendorong memintarkan perempuan. Hegemoni laki-laki atas wanita menginspirasi Kartini untuk menerjang dan mengangkat harkat serta martabat kaumnya.

Haus Ilmu

Bara di hatinya senantiasa berkobar membakar semangat untuk terus belajar dan mencari cara mewujudkan cita-citanya. Kartini tidak hanya membaca koran, majalah, buku dari sahabatnya di Belanda, tetapi juga mencari dan mendalami sumber-sumber lain, di antaranya De Hollandsche Lelie, majalah wanita yang berisi kebudayaan dan ilmu pengetahuan.
Raden Ajeng tidak hanya membaca, tapi juga menulis artikel dan mengirimkan dan dimuat beberapa kali di majalah tersebut. De Locomotief , majalah dari Semarang yang diasuh Pieter Brooshooft, selalu menjadi santapan bacaan yang menambah gizi wawasan.

Dia juga selalu memburu leestrommel (paket majalah yang diedarkan toko buku kepada langganan). Semua itu menggambarkan kelaparan dan kehausan Kartini akan ilmu pengetahuan sekaligus menunjukkan kekuatan serta keluasan ilmu kehidupan dari hasil membaca.
Sayang, waktu itu belum ada internet. Andai ketika itu sudah ada, dapat dibayangkan Putri Sejati itu pasti rajin berselancar di dunia maya untuk mendapat pengetahuan sebagai amunisi mencapai cita-cita mengangkat dan memperkaya wanita agar menjadi cerdik pandai, mandiri, dan memiliki hak sama untuk belajar seperti kaum Adam.

Perhatiannya tidak hanya semata-mata soal emansipasi wanita, tapi juga masalah sosial umum dan agama. Kartini melihat perjuangan wanita agar memperoleh persamaan hukum, kebebasan, otonomi sebagai bagian dari gerakan yang lebih luas. “… Agama harus menjaga kita dari berbuat dosa, tetapi berapa banyaknya dosa diperbuat orang atas nama agama itu …” kalimat yang ditulis dalam sebuah surat itu memperlihatkan sikap kritis Kartini sekaligus gugatan dari lubuk nuraninya.

Kartini memprotes kaum laki-laki yang berpoligami. Bagi dia, kalau itu diamini setiap lelaki, lengkap sudah penderitaan perempuan Jawa yang dunianya hanya sebatas tembok rumah. Itulah yang hendak didobrak. Dia juga mengkritisi kehidupan beragama. Menurut dia, dunia akan lebih damai jika tidak ada umat yang sering menjadikan agamanya sebagai alasan untuk berselisih, cekcok, dikotomi, dan saling menyakiti.

Pemikiran itu sangat berani di zamannya, apalagi yang mengungkapkan adalah wanita. Kartini ternyata memang berjiwa penulis. Itu tampak dari sejumlah karyanya, di antaranya, Zelf-ontwikkeling dan Zelf-onderricht, Zelf- vertrouwen, Zelf-werkzaamheid dan Solidariteit. Tulisan tersebut didasari Religieusiteit, Wijsheid en Schoonheid (ketuhanan, kebijaksanaan, dan keindahan), ditambah humanitarianisme (peri kemanusiaan) dan nasionalisme (cinta tanah air).

Semua itu merupakan gugatan sekaligus gagasannya untuk mengubah posisi dan kondisi wanita Indonesia yang terbelenggu situasi sosial saat itu, khususnya budaya Jawa yang dipandang menghambat kemajuan kaum perempuan. Pejuang kaum wanita itu ingin agar perempuan bebas belajar dan menuntut ilmu. Dia menginginkan wanita pintar agar anak-anaknya juga menjadi generasi yang cerdas, pandai, dan berbudi luhur karena seorang wanita memegang peranan penting bagi pendidikan dan perkembangan dalam keluarga.

Belum Selesai

Zaman pun terus bergerak. Jerih payah dan perjuangan Kartini akhirnya berbuah. Banyak wanita yang menduduki posisi penting di bumi pertiwi ini. Contoh Megawati Soekarno Putri yang pernah menjabat presiden. Pimpinan Radio Republik Indonesia untuk pertama kalinya pada tahun ini dipimpin seorang wanita, Rosarita Niken Widiastuti. Banyak wanita pengusaha yang sukses sehingga namanya mendunia.

Tidak sedikit wanita yang bergelar doktor. Tak terhitung perempuan yang jabatannya jauh lebih tinggi dari kaum pria. Namun, kita tidak boleh menutup mata dan hati, mungkin karena kepandaiannya, sulit dihitung jumlah wanita yang jatuh ke dalam kehidupan negatif. Mereka menjadi koruptor. Banyak pula yang justru merusak kaumnya sendiri dengan menjadi induk semang penjualan perempuan.

Mata kita juga harus terbuka, jutaan wanita Indonesia masih terbelakang dan buta huruf, khususnya yang tinggal di pedalaman. Masih banyak wanita korban trafficking menjadi komoditas perdagangan manusia. Jadi, perjuangan Raden Ajeng belum selesai. Kaum wanita sekaranglah yang memiliki kewajiban menyelesaikannya agar segenap perempuan Indonesia sungguh-sungguh menjadi diri sendiri, mandiri, dan bebas dari kebodohan, kemiskinan, serta penindasan.

Mampukah wanita Indonesia yang diwarisi harta terindah dan cita-cita mulia Kartini untuk berjuang membebaskan perempuan dari penindasan: kemiskinan, ketidakadilan, kebodohan, ketidakjujuran, ketidakbenaran, dan objekan? Mereka masih tertinggal dan terbelenggu budaya modern yang sarat tantangan.
Sebagai wanita, saya mengajak para perempuan masuk dalam nurani dan bertanya, “Apakah saya telah menjadi lentera semangat Kartini yang selalu berkobar dan mengobarkan kehidupan wanita untuk mencapai masa depan yang lebih gemilang?” Para perempuan adalah empu yang melahirkan, menghadirkan, dan menata kehidupan agar menjadi lebih baik dan selaras. Empu yang mampu memengaruhi dan mengubah lingkungan menjadi lebih nyaman, damai, dan harmonis.

Semoga semangat perubahan yang digelorakan Kartini merasuk dan menjadi kesadaran yang terinternalisasi pada diri setiap wanita Indonesia untuk menjadi agen perubahan. Wanita harus mampu mengubah situasi menjadi lebih baik bagi Indonesia. Semoga keberadaan setiap wanita Indonesia menjadi berkat bagi sesama dan anak-anaknya.

Sr Monika Ekowati, SND
Penulis adalah seorang biarawati

Leave a Reply

Required fields are marked *.