Fiat Voluntas Tua

Mengenang Sengsara Tuhan, Peringatan Jumat Agung

| 1 Comment

Pagi ini saya menghabiskan waktu lebih lama untuk merenungkan tentang kisah sengsara Yesus, Tuhan kita, dengan satu pertanyaan, yaitu: seperti apa sih sengsara yang dialami Yesus itu? Saya berusaha untuk melupakan semua ulasan eksegese yang pernah saya baca sebelumnya agar kisah sengsara Yesus tidak menjadi “mata pelajaran” seperti saat belajar agama. Saya memohon agar diijinkan menembus lorong waktu untuk berada di tanah suci, bukan melalui ziarah untuk melihat keadaannya sekarang ini, melainkan untuk melihat keadaan 2000 tahun yang lalu. Keinginan saya tidak untuk menyaksikan bagaimana Yesus menghadapi sengsara-Nya, melainkan ingin turut merasakan seperti apa sengsara-Nya itu. Saya abaikan komentar orang lain karena saya bukan bermaksud akan membuat injil baru, saya hanya ingin mengukur diri saya sendiri, sebatas mana saya sanggup turut merasakan derita Tuhan Yesus. Alhasil, saya menyimpulkan bahwa belum pernah ada dan tidak akan pernah ada derita yang sama, apalagi yang lebih besar, dari derita yang dialami Yesus.

Jauh sebelum Ia diutus, Yesus sudah mengetahui derita yang akan dialami-Nya kelak, karena memang untuk itulah Ia diutus. Kira-kira sama seperti seseorang yang menderita cancer stadium lanjut, “divonis” mati oleh dokter. Bisa kita bayangkan bagaimana perasaan orang itu melewati hari-harinya menanti ajal tiba.

Yesus tidak melakukan kesalahan, Ia adalah simbul ketaatan yang sempurna, tetapi Ia mesti menderita atas kesalahan yang diperbuat orang lain. Yesus diadili oleh pengadilan yang tidak adil. Seandainya saya dituduh dan mesti menerima hukuman atas kesalahan yang tidak saya perbuat, apalagi hukuman dijatuhkan melalui proses pengadilan yang tidak adil, apakah saya sanggup?

Yang betul-betul membuat sengsara Yesus menjadi begitu parah, ketika Bapa-Nya meninggalkan Dia. “Eli, Eli, lama sabakhtani?”, “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” Keallahan Yesus dicopot agar pengorbanan Yesus menjadi sempurna, mengalami sakit badan dan juga hati. Kesengsaraan pun datang bertubi-tubi. Ia dikhianati oleh murid-Nya sendiri, “dijual” dengan harga yang sangat murah, lebih murah dari harga sebuah sepeda motor. Tetapi terhadap murid-Nya itu, Yesus masih berkenan membasuh kakinya. Bahkan murid yang disiapkan untuk meneruskan karya penyelamatan-Nya, menjadi “batu karang” bagi gereja yang didirikan-Nya, menyangkal Dia di hadapan orang-orang, tidak mau mengakui sebagai murid-Nya. Murid-murid-Nya yang lain juga berhamburan menyembunyikan diri. Hanya Yohanes yang mengikuti Yesus sampai ke istana Imam Agung, karena ia mengenal imam agung itu, sementara Petrus hanya berdiri di luar pintu, padahal belum lama Petrus menghunus pedang, siap mempertaruhkan nyawa demi Yesus.

Yesus dibelenggu dan digiring ke pengadilan tak ubahnya seperti seorang pesakitan, padahal beberapa hari sebelumnya Ia datang ke Yerusalem bagaikan seorang raja, dielu-elukan orang di sepanjang jalan.
Ia ditelanjangi dan bahkan jubah-Nya dijadikan undian.
Ia dimahkotai duri sehingga darah-Nya menetes menutupi wajah-Nya.
Yesus tidak diberi makan atau pun minum, apalagi diberi kesempatan istirahat atau tidur.
Ia diberi minum anggur yang sudah asam, itu pun diberikan dengan cara yang sangat tidak etis, menggunakan bunga karang dan dicucukkan ke mulut-Nya menggunakan tongkat. Yesus sudah menjadi kenyang mendengar teriakan orang-orang yang tadinya mengelu-elukan Dia, “Salibkan Dia! Salibkan Dia!”

Yesus harus memikul sendiri salib yang akan digunakan untuk menyalibkan Dia, dipermalukan karena dipertontonkan berjalan menuju bukit Golgota. Tidak jelas apakah salib yang dipikulnya itu merupakan salib yang utuh atau tidak, karena sesuai tradisi Roma, hanya batang yang horisontal yang mesti dipikul, sedangkan batang yang lebih berat, yaitu yang vertikal sudah ditancapkan di tempatnya. Tetapi yang jelas, sampai tiga kali Yesus terjatuh, sampai akhirnya dibantu orang untuk memikul salib-Nya itu.

Maria, ibu-Nya itu, dan juga para sahabat dan murid-murid-Nya, juga turut merasakan derita Yesus. Bagaimana dengan Bapa-Nya di Surga, bagaimana perasaan-Nya?
Tentu kesedihan yang teramat dalam dirasakan Bapa melihat Anak-Nya yang dikasihi-Nya itu. Semua itu gara-gara ulah manusia!

Jika sekarang manusia masih saja berbuat dosa, dengan apa lagi Bapa akan melakukan penebusan?
Anak-Nya telah dikorbankan-Nya.
Masak iya Yesus disuruh mati dua kali?

Saya sungguh-sungguh merasakan derita memikul salib saya sendiri, tetapi tak seujung kuku dibandingkan derita Yesus.
Apa pantas saya mesti terus-terusan mengeluh dan menggerutu?

Sandy Kusuma

One Comment

  1. Buat yang Kristen/Katolik atau yg non-muslim, mari kunjungi blog ini:
    islamexpose.blogspot.com
    Ditunggu kunjungan & partisipasinya.
    JBU ;)

Leave a Reply

Required fields are marked *.