Kel 12:1-8.11-14; 1Kor 11:23-26; Yoh 13:1-15
Mungkin sudah ribuan kali kita melupakan. Sudah banyak peristiwa, kesusahan, penyakit, orang-orang, yang kita ‘buang’ dari ingatan. Sebagian besar yang mau kita lupakan itu telah mengharu biru hati kita. Lupa itu menyenangkan. Jadi kita bisa memasang wajah ceria, senyum ke sana sini, berpura-pura sebagai orang yang tak pernah sakit hati, masa kecil serba bahagia. Kata hati kita, ‘buang’ saja semua yang pernah menyakitkan hati, supaya bisa mulai secara baru. Kalau sudah sembuh dari sakit, ‘buang’ semua obat dan resep dari dalam laci! Kalau sudah sukses, ‘buang’ semua barang yang tidak akan kita pergunakan lagi! Kalau sudah merasa ‘bahagia’, ‘buang’ semua kenangan dan foto-foto yang mengingatkan pada masa lalu yang menyedihkan! Kalau sudah sembuh dari sakit hati, ‘buang’ atau kembalikan saja surat-surat dan hadiah dari orang yang telah menyakiti hati kita!
Kita, dengan senang hati, membuang dan melupakan segala kenangan yang menyedihkan. Tapi bagaimana kalau ada sesuatu yang sangat berharga di sana? Bagaimana kalau yang kita mau lupakan itu sungguh berarti dan riil bagi orang lain? Bagaimana kalau maksud orang lain sungguh-sungguh tulus terhadap kita? Melupakan, yang berarti ‘membuang’, adalah kesengajaan untuk lebih menyakiti lagi hati orang yang telah memberi. Melupakan, adalah menolak kasih. Dan ketika kita menolak sebuah kasih yang tulus, kita dengan sengaja melukai, merendahkan, membuang si pemberi. “Aku lebih bahagia kalau kamu menghilang dari hidupku. Biarkan aku hidup tenang.”
Semua yang dilakukan Yesus, khususnya di perjamuan terakhir, adalah sebuah ‘pemberian’. Ia memecahkan roti, tubuh-Nya, dan membagikannya kepada para murid. Ia mengedarkan piala berisi anggur sebagai darah-Nya yang akan tercurah di kayu salib. Ia membasuh kaki para murid-Nya, supaya mereka sendiri selalu ingat untuk melakukannya satu sama lain. Ia tidak sekedar berkata-kata supaya dicatat oleh para sahabat-Nya, tetapi ‘melakukan’ sesuatu yang mereka alami sendiri, yang mereka ingat baik-baik karena merasakannya sendiri. Yesus melakukan semua itu dalam perjamuan perpisahan ini, supaya ia tetap diingat. Ia ingin peristiwa ini membekas di hati mereka.
Maka, penolakan Petrus untuk dibasuh kakinya, hanya meramalkan bahwa Petrus pun kelak mengaku tidak mengenal Yesus ketika diadili. Betapa sulitnya Petrus ‘membiarkan’ Yesus membasuh kakinya, karena ia tidak ‘mengerti’ tindakan Gurunya itu. Padahal Yesus membasuh kaki murid-murid-Nya untuk mengajarkan tentang arti kerendah-hatian, melayani, dan memberi. Kalau Dia mau memberi, kita tak perlu bertanya ‘apa maksudnya’ pemberian itu! Mempertanyakan maksud pemberian itu tak sopan, apalagi sengaja mengembalikan untuk melukai hati sang pemberi. Kita, seperti Petrus, hanya berpikir sejauh ‘perlu/tidak perlu’ saja. Kita merasa berhak menolak karena tidak memerlukan? Bahkan lebih dari ‘perlu’; kita hanya akan selamat karenanya!
Seperti kaki para murid, hati kita pun masih kotor. Kita hanya akan selamat kalau ‘membiarkan diri’ dibasuh oleh Yesus. Ia tidak menjauhkan kita dari cobaan, tapi membersihkan hati kita ‘dalam’ semua cobaan. Ia memberi kita kekuatan ‘dalam’ seluruh peristiwa, kesusahan, penyakit, dan orang-orang yang mau kita buang dari ingatan itu. Ia ‘ada’ di sana! Kasih-Nya sungguh-sungguh dan riil ‘dalam’ setiap luka dan kesakitan yang harus kita tanggung itu. Jadi bagaimana mungkin mau melupakan semua itu? Kehadiran Yesus sungguh-sungguh nyata justru ‘di dalam’ peristiwa-peristiwa paling gelap hidup kita, ‘di dalam’ diri mereka yang tak mau kita ingat. Kita menjadi lebih dewasa, tak pernah sama lagi dengan dulu, karena semua peristiwa ini. Bersyukurlah!
Paulus, dalam bacaan II, sampai mengulang dua kali ‘mengapa’ Yesus membagi-bagikan roti dan mengedarkan cawan anggur dalam perjamuan terakhir. Yesus bersabda dengan jelas, “Perbuatlah ini sebagai peringatan akan Daku.” Perbuatlah ‘ini’, untuk mengenang Dia! Bagaimana kita mengingat Dia? Hanya dengan melakukan apa yang dilakukan-Nya, apa saja yang diperbuat-Nya ketika memberikan diri. Kita diajak untuk lebih banyak lagi ‘memberi’, dan memberi. Memberi, dan jangan mengambil, apalagi membuang. Dan memberi bisa sangat berarti, ketika yang kita pikirkan bukan nilai atau perlunya, tetapi ‘cinta’ yang apa adanya, perhatian yang tulus, hati yang juga mau terluka, demi membasuh serta menyembuhkan jiwa orang lain.
Mungkin kita kurang ‘mengerti’ sekarang, tapi kelak kita akan menyadarinya. Maksud Yesus ialah, kalau kita tidak mengerti sekarang, lakukan saja! Mungkin perjamuan Ekaristi ini juga tidak selalu kita hayati, tapi perbuatlah saja, terimalah saja semua pemberian-Nya yang kita kenangkan bersama ini. Untuk apa mempertanyakan? Mengapa berkeras hati melupakan peristiwa-peristiwa gelap dalam hidup kita?
Perjamuan terakhir Yesus bersama para murid ini pun diselimuti pengkhianatan. Yesus makan bersama, membasuh kaki para murid, ‘di dalam’ suasana yang menyedihkan. Jadi, tak usah kita melupakan apapun, atau siapapun lagi. Dalam semua itu, kita sudah dicintai dengan tulus, dikuatkan secara luar biasa. Yesus hanya ingin dikenang, ‘di dalam’ semua pengalaman hidup itu. Amin.
April 9, 2012 at 12:54 am
Saya juga suka sekali renungan ini. Sangat menginspirasi. Terima kasih.