Hari ini ayahku genap berusia 93 tahun. Tidak ada acara tiup lilin, karena dia sudah tidak lagi bisa meniupnya. Anak-anak dan cucu menyanyikan lagu selamat ulang tahun, dan kakak saya menyanyikan dengan keras di telinganya(maklum dia sudah sulit sekali untuk mendengar dengan jelas). Ayahku senang, ikut bertepuk tangan. Tapi sebentar kemudian sudah lupa bahwa dia berulang tahun.
Saat berdoa, ia mengulang setiap kalimat yang kami ucapkan. Kadang salah-salah sehingga membuat yang mendoakan harus menahan tawa. Setelah doa, kami memintanya untuk menyanyi, maka melantunlah lagu Bengawan Solo, syairnya semua masih lengkap. Tak lama mengalir pula lagu Indonesia Raya, masih terasa semangat nasionalismenya. Mungkin ayahku masih ingat masa-masa berjuang bersama sahabat-sahabatnya di Partai Katolik Indonesia dahulu , saat tahun 60-an, bersama alm IJKasimo yang sudah jadi pahlawan nasional.
Beberapa minggu terakhir, aku sering memikirkan ayahku. Sehari-hari aku lebih banyak bekerja sendirian di ruang kerjaku yang kecil di kantor G&G, berteman dengan tripleks, acrylic, cutter , lem, bor dan gerinda (aku sedang menyiapkan mural-mural jalan salib untuk peresmian sebuah kapel di Semarang). Mungkin karena sendiri, maka pikiranku sering melayang-layang. Tiba-tiba aku sering merasa rindu akan ayahku (saat ia masih muda), mungkin Tuhan tengah mengingatkanku bahwa di usia ayahku yang ke 93 ini, aku mungkin saja tak lagi punya banyak waktu dan kesempatan untuk bersama dia lagi.
Kondisinya kadang sudah naik-turun, lendir di parunya kadang membuatnya sulit untuk tidur. 2 minggu lalu dia sempat demam. Kondisinya menurun drastis. Saat itu aku menemaninya. Seperti biasa dia berbicara sendiri dan tak menyadari ada yang menemani,” Kalau bisa meminta waktu lebih karena hutangnya sudah jatuh tempo, pasti nanti dibayar dalam waktu seminggu….tolong bisa diberi tambahan waktu…” Saat itu saya tiba-tiba jadi sedih dan ingin memeluknya, dan mengatakan” Pap, tidak usah memikirkan hutang lagi…Tuhan sudah hapuskan hutang-hutang pap. Sekarang pap bebas merdeka, tak perlu lagi pikirkan bagaimana melunasi hutang. Mukjizat sudah terjadi…” Tapi aku tahu kata-kata itu tak akan berguna, karena ia tak mampu untuk mendengarnya. Dia sudah hidup dalam dunianya sendiri. Lagi-lagi kata meminta tambahan waktu didaraskannya. Tapi setelah mendengar baik-baik, saya berubah pikiran. Agaknya dia tidak sedang memikirkan hutangnya, tapi sedang meminta tolong pada seseorang untuk keringanan hutang orang lain. Ya, memang begitulah tabiat ayahku, dalam keadaan sesusah apa pun, selalu berusaha membantu orang lain yang kesusahan. Karakter ini yang dulu kadang menjadi pemicu pertengkaran dengan alm ibuku, yang marah karena suaminya sering mengutamakan kepentingan orang lain.
Kadang aku merasa bahwa nama permandian ayahku sangatlah tepat dengan karakternya, yaitu Paulus. Paulus yang saat di penjara masih bisa mendoakan umatnya, mengajak mereka untuk selalu bersukacita. Paulus yang mengandalkan Kristus sebagai kekuatannya dalam menghadapi pencobaannya, begitulah ayahku dulu yang setiap pagi berangkat jam 5 untuk mengikuti Misa pagi, dan selalu memasang lilin banyak-banyak di gereja ( alm rm Suryo pernah bercanda ttg ayahku “ini dia, opa yang mau bakar gereja’) dan di kamar tidurnya, tiap hari, tidak pernah absen. Dan saat perjalanan ke gereja, selalu mengantar jemput umat yang searah dekat gereja. “kalau kita percaya sama Yesus, segelap apapun pasti suatu kali ada terang” dia pernah bilang padaku, anaknya yang dulu sempat mempertanyakan apa makna doa-doanya saat puluhan tahun problem hutangnya tak pernah terpecahkan.
Seperti Paulus yang mencintai umatnya, ayahku juga sangat mencintai keluarganya. Memberikan yang terbaik di dalam kekurangan, mungkin itulah mottonya. Berapa waktu sudah tak terhitung yang dihabiskannya untuk menemaniku berlatih tennis dan ping-pong . Mungkin dulu ia punya mimpi bahwa anak lakinya terkecil ini akan mengikuti jejak adiknya (pamanku yang tak pernah aku kenal karena meninggal saat muda) yang menjadi pemain tennis yang terkenal di tahun 60an. Aku masih mengingat 2 atau 3 macam buah-buahan yang dibawanya saat pulang ke Bandung setiap Jumat malam, untuk anak-anaknya. Buah yang sering juga menjadi bahan omelan istrinya, entah karena terlalu mentah, atau terlalu matang, atau apa saja lah.
Maka di hari ulang tahunnya yang ke 93 ini, aku hanya bisa mendaraskan terima kasih kepada Bapa , untuk kehadiran ayahku di dalam kehidupanku, untuk iman yang diwariskannya kepadaku, untuk perjuangannya memikul salib selama puluhan tahun untuk menyelamatkan keluarganya di dalam badai kehidupan….
Kalaupun satu saat nanti aku harus berpisah dengan ayahku, aku tetap akan bersukacita. Ayahku telah menyelesaikan pertempurannya dengan baik dan setia, tak ada lagi yang harus dituntut darinya. Ayahku telah setia menjadi saksiNya, baik dengan kata dan perbuatan, pertolongan-pertolongannya pada orang lain, perjuangannya di Parkindo, buku-buku rohani karangannya (“Kritik-kritik terhadap agam Katolik dan jawabannya; Pengalaman saya dalam mengatasi segala kesulitan, Pengalaman saya dalam memilih agama;dll”. Tak ada lagi hutang yang tersisa…mungkin sebagai hadiahnya, Yesus saat ini sudah siapkan lapangan tennis abadi buat dia di sana….untuk ayahku bermain sepuasnya , ditemani ibuku, satu saat nanti.
Kali ini, cukup ucapan terima kasih saja…untuk KasihMu!
Jakarta, 10 Februari 2012
Heru Hendradinata