Tahun 1971 saya masuk SMP Pangudi Luhur (SMP PL). Itulah saat pertama saya mengenal Jeffrey. Siapa anak SMP PL yang tak kenal Jeffrey. Hampir setiap hari berkelahi di lapangan depan Warung Bang Bading. Tidak penting siapa lawannya. Yang penting berkelahi. Ha ha ha…….
Salah satu lawan bergelutnya adalah Robert. Entah sudah beberapa kali mereka berdua duel di lapangan. Masih belum puas, Jeffrey yang tinggal di Jl. Rajasa, kalau sore datang lagi ke rumah Robert di Jl. Kartanegara, dan…….berantem lagi. Kalau Ali VS Frazier cuma 3 “show”, entahlah ini fight Jeffrey VS Robert. Tidak terhitung.
Jeffrey selalu tertawa geli kalau saya ingatkan dia soal Robert, yang Jeffrey sendiri tidak pernah tahu kenapa dia harus sering berkelahi lawan Robert. Beberapa belas tahun lalu Jeffrey pernah bilang ke saya kalau Robert “udah enggak ada”.
Saya keluar dari SMP PL tahun 1972 saat kelas 2, dan berita-berita soal Jeffrey tidak sering saya dengar. Belasan tahun kemudian saya baru dengar kalau waktu Kelas 2 atau 3 SMP, Jeffrey sempat menjajaki untuk sekolah di Semarang. Mungkin ini awal dari perjalanan religius panjang seorang Jeffrey Dompas yang selalu berusaha dekat dengan dan terus mencari hakiki dari Yesus Kristus, Sang Maha Jujungannya yang sangat ia cintai.
Di SMA PL saya praktis beda ‘gank’ dengan Jeffrey. Menurut cerita-ceritanya kepada saya di kemudian hari dan dari koleksi photonya, saya melihat banyak aktifitas Jeffrey di masa remajanya. Mulai dari latihan beladiri, naik gunung dan sebagainya. Yang tidak berhasil saya lacak adalah dari mana datangnya kemampuannya bernyanyi. Kenapa tahu-tahu Jeffrey jadi jago dan doyan bernyanyi.
Di tahun 80an saya sering bertemu di JD. Terutama kalau lagi gaul di akhir pekan. Bisa ketemu di Captain’s Bar Mandarin, sama-sama dengerin teman kita nyani dan ngeband, bisa juga bertemu di tempat lain. Masing-masing kami dengan komunitas kami sendiri-sendiri. Maklum. Baru sama-sama “pengantin baru”, anak-anak juga masih kecil. Semua orang sibuk dengan urusan dirinya sendiri.
Di awal tahun 90an, suatu hari saya dapat telfon dari Jeffrey, yang dalam komunitas kerja dan profesional namanya sudah semakin sangat melekat dengan nama fam-nya. Jeffrey Dompas a.k.a. JD. JD mengajak saya bertemu. Kami bertemu di Coffee Shop Hotel Century. Dan ini yang akhirnya jadi awal dari kedekatan kembali saya dengan JD.
JD mempertanyakan, sebetulnya, setiap hari kita kerja, cari uang, kita wara wiri ke sana ke mari, itu semua untuk apa ya. Kita kawin. Kita disibukkan dengan urusan-urusan rumah tangga. Ini semua untuk apa? Harusnya sebuah keluarga kan harus bermanfaat bagi orang lain. Dipertemukannya 2 anak manusia, pria dan wanita, dan diikat dalam Sakramen Perkawinan yang saling mereka terimakan dihadapan Tuhan, harusnya menjadi peristiwa besar dan membawa manfaat bagi orang lain. Bagi komunitas yang lebih besar. Bagi sesama. Dumplaaaaanksss……
Wah berat punya nih. Itu reaksi pertama saya dalam hati waktu JD mengutarakan apa yang ada dalam hati dan pikirannya. Tapi entah kenapa ajakan JD ini menjadi sangat menarik untuk saya. Ditambah pada saat itu, saya memang lagi jarang-jarang ke Gereja. Jarang banget tepatnya. Seminggu sekali aja enggak sempet. Jadwal Gereja kalah sama jadwal lainnya. Termasuk kalah dengan jadwal bangun siang di hari Minggu.
Gayung bersambut. Saya bersemangat. Lalu masing-masing dari kita mencoba kontak beberapa teman yang punya niat yang sama dan berusaha membuat lembaga perkawinan dan keluarga menjadi bermanfaat tidak saja bagi diri sendiri, tapi juga bagi orang lain. Bagi sesama manusia.
Saya langsung kontak pasutri Suryo Susilo. Juga beberapa nama lain seperti RTS Masli dan Evelyn, Henry Gunawan dan Thres dan masih banyak lagi. JD mengajak adik-adiknya dan beberapa koleganya di bisnis. Ada sekitar 20 pasutri yang mendukung pemikiran JD. Dan juga dukungan penuh dari Romo Hendra Sutedja SJ, sahabat JD. Kita mulai aktifitas kita dengan Misa Kudus rutin, berpindah-pindah tempat dari rumah ke rumah kita masing-masing, sampai suatu hari lahirlah YAYASAN RAGI. Nama indah yang diusulkan oleh Ira Dompas. Ragi. Mengembangkan sesuatu. Oleh beberapa teman, RAGI ini juga diplesetkan menjadi RADA GILA.
JD sangat serius dengan Ragi. Beberapa program ia rancang bersama Romo Hendra. Sementara seperti biasa, saya dan Susilo lebih banyak mendukung JD dengan hiburan adu plesetan dan lawakan-lawakan gaya Srimulat yang jatuh-jatuhnya ya garing gitu deh. Ha ha ha…. JD biasanya cuma bisa tertawa dan senyum-senyum saja.
Setelah beberapa tahun dan sesudah menjalankan beberapa program, RAGI akhirnya vacuum. Wajar. Usia kita saat itu masih terhitung muda. Orang muda dengan kesibukan dan prioritasnya masing-masing. Tapi yang menarik, Ragi sebagai Yayasan boleh pudar, tapi secara semangat dan jalinan hati, kami semakin dekat. Terutama JD, Sus dan saya. Juga dengan Romo Hendra.
Dalam beberapa kesempatan JD sering bicara bahwa ternyata Ragi tak pernah mati. Justru semangatnya yang membuat banyak hal yang tidak bisa diwujudkan dengan wadah Yayasan Ragi, malah terwujud dengan semangat Ragi. Dan kalau berbicara soal ini, JD tidak pernah bisa menutupi kegembiraan dan kebanggaannya.
Saya dan JD dalam banyak hal berbeda. Juga kami dengan Sus. Kita menyadari bahwa kita tidak perlu jadi sama, dan memaksakan diri untuk sama. Tapi di dalam perbedaan itu ada respek dan rasa hormat yang semakin mendalam dalam diri kita masing-masing.
Saya sangat menghormati JD. Menghormati dalam arti yang sesungguhnya. Oleh karena itu saya tidak pernah menolak kalau JD mengajak saya untuk terlibat dalam aktifitas-aktifitas sosial dan keagamaannya. Pra, bantuin jadi MC di acara lelang amal ya. Pra, ada waktu jadi Moderator acara Devosi Maria? Jawaban saya selalu:”Siap Oom Jeff”. Termasuk saat awal tahun ini JD mengajak saya terlibat dalam sebuah gerakan yang diberi nama Gerakan Seribu Kasih. Sebuah gerakan pengumpulan dana bagi orang-orang muda berpotensi yang tidak beruntung. Kami sibuk mempersiapkan launchingnya yang diawalinya dengan Misa Kudus di Atmajaya. Akhir-akhir ini, kesibukan kerja membuat saya rajin membolos dalam rapat-rapat Gerakan Seribu Kasih.
Bulan September lalu, saya mendengar kabar kalau JD kena demam berdarah. Dirawat di RSPI. Perkembangannya begitu cepat sampai saya mendengar bahwa JD terkena leukemia acute dan segera harus dibawa ke Singapore. September dan Oktober kebetulan bulan yang sangat padat urusan kantor. Beberapa kali Istri saya mengingatkan kapan mau bezoek JD ke Singapura. Kalau sibuk, ya pulang pergi aja. Tapi besoknya kembali saya harus ke luar kota, dan bahkan beberapa kali melintas di angkasa di atas Singapura. Belum sempat bezoek JD.
Oktober lalu, JD BBM saya. Saya juga BBM dia waktu ulang tahun. Saya copy paste berikut ini.
Participants:
————-
Kepra, Jeff in PL solidarity
Messages:
———
Jeff in PL solidarity
Invoke Memorare:
Pra, gw senyum2 lihat program CNN di spore gen hosp
Jeff in PL solidarity
Invoke Memorare:
Judulnya “Bullying ends” atau apa..ada anak SD/SMP yg dikeplak palanya…ha ha. Kayaknya musti studi banding ke PL dah
Kepra:
Hi Jeffrey Dompaaaaas….. Waaaaah seneng banget nih lo udah aktif BBMan lagi. Ha ha ha……
Kepra:
Kemarin sore, Mas Herianto (kita manggilnya Kardinal Herianto), Ketua Perkumpulan Komunitas Retnas, setelah 2 bulan dirawat Mount Elizabeth, kembali ke Jakarta dengan gagah dan berjalan kaki.
Waktu berangkat juga enggak bisa duduk.
Kepra:
2 bulanan ini, setiap hari ada 3 nama yang gue doakan. Ber kali2 dalam satu hari. Lo tahu dong. Gue kan kagak pandai berdoa. Jadi doanya singkat. Tapi gue doakan ber kali2 dalam satu hari.
Kepra:
Ya Bapa, perkenankanlah kami berdoa untuk kesembuhan Mas Pandu, Mas Herianto dan Jeffrey Dompas. Bunda Maria doakanlah kami.
Kepra:
Mas Pandu, kakak ipar gue. Setahun yg lalu divonis cancer prostat. Setiap hari gue berdoa singkat ini. Kondisinya sekarang, cancernya sudah dinyatakan bersih. Dan aktifitasnya dari mulai dinyatakan sakit tetap tidak berubah. Tetap aktif, ke luar kota, ke luar negeri, ke mana2 lah.
Kepra:
Mas Heri sejak Agustus kemarin juga “tumbang”. Dalam seminggu di operasi. Di kekrek2 beberapa kali di di rumah sakit di sini. Segera kantornya turun tangan. Dibawa ke Mount E. Setelah 2 bulan, kemarin sudah kembali menjadi “Kardinal” yg gesit dan lantang.
Kepra:
Pokoknya 3 nama ini masih terus ada di doa harian gue. Khususnya elo Jeff. JAGOAN SMP PL yang sangat gue kagumi. THE GREATEST FIGHTER dalam sejarah SMP PL. Ha ha ha…… ELO PASTI BISA.
Kepra:
Gue, dengan keterbatasan gue menyusun kata2 dalam berdoa, setiap hari beberapa kali akan terus berdoa. TULUS. Penuh kesungguhan. Agar elo kuat. Dan agar elo sembuh, Agar elo kembali beraktifitas seperti biasa.
Kepra:
Ya Bapa, perkenankanlah kami berdoa untuk kesembuhan Mas Pandu, Mas Herianto dan Jeffrey Dompas. Bunda Maria doakanlah kami. Amin.
Kepra:
Sorry. Belum sempet bezoek. Si Samsi monyong tuh. Main selonong boys sendiri aja. Ha ha ha. Okay Jeff. Doa kita semua juga untuk kesehatan Ira.
Jeff in PL solidarity
Invoke Memorare:
Pra, stop! Gw jadi cengeng neh….ha ha..itu doa ampuh banget. Mangraguna..mau mantu kayaknya ya…tks bro, love to all.
Kepra:
Love you too Bro. Get well soon.
Jeff in PL solidarity
Invoke Memorare: <3 (y)
Kepra:
Jeff, Happy Birthday. Cepat sembuh. Setiap hari kita terus berdoa untuk itu. Amin. Salam, Kepra, Rina ‘n anak2.
Jeff in PL solidarity
Invoke Memorare:
Tks pra..doa kalian ampuh percaya, aku pasti sembuh
Beberapa hari yang lalu, bahkan tadi pagi, Istri saya mengingatkan lagi untuk bezoek Jeffrey, bersamaan dengan BBM dari Ida Dompas yang kasih kabar Jeff kritis. Selang beberapa menit, saya baca di status Davy ‘ippie’ Ratu:”Selamat Jalan Jeff”. Dan BBM Ida Dompas masuk juga:”RIP Jeff”.
Sumpeeee Jeff. Gue sedih banget. Asnawi kontak gue. Dia bilang lo pergi terlalu cepat. Si Ippie juga ngerasa keilangan lo. Susilo bilang:”Pra, sohib kita udah pergi”. Gue baca milis PL dan BBM orang. Semua merasa keilangan lo. Semoga ini membuat lo bangga di atas sana. Dan ini juga sebuah pencapaian terbesar dalam hidup lo:”Semua orang sayang sama elo”.
Jagoan SMP PL ini telah pergi menghadap Tuhan yang sangat ia cari dan cintai di sepanjang hidupnya. Selamat jalan Jeff. Selamat jalan sang Jagoan.
Dalam duka yang mendalam, KEPRA.
Markus RA ‘kepra’ Prasetyo