Apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.
Perceraian bukan barang baru, sudah terjadi sejak adanya peradaban manusia, sampai-sampai nabi Musa merasa perlu membuat aturan tentang perceraian ini. Sepanjang tahun 2009, telah terjadi 250 ribu kasus perceraian di Indonesia, meningkat 20% dibandingkan tahun sebelumnya. Secara kuantitatif, pernikahan Katolik tidak memberikan kontribusi yang signifikan terhadap angka itu, meskipun tidak dapat disimpulkan bahwa pernikahan Katolik itu mampu menangkal ancaman perceraian. Pernikahan Katolik yang monogami dan tak terceraikan itu malah telah menjadi “belenggu”, tetap hidup bersama tetapi dengan relasi yang tidak lagi harmonis. Bahkan kalau mau jujur, rasanya tidak ada pernikahan tanpa masalah. Sebagian besar, kalau tidak dapat dikatakan nyaris seluruhnya, pasutri menjawab “baik-baik saja” ketika saya tanyakan tentang relasi di antara pasutri itu.
Umumnya mereka tidak jujur, atau berpura-pura “tidak ada masalah”. Jika sudah demikian, apakah yang dipersatukan oleh Allah itu ternyata persatuan yang penuh dengan masalah? Apakah hidup selibat merupakan alternatif?
Hendaknya kita tidak mengartikan secara harfiah semata terhadap apa yang disampaikan Yesus tentang “menjadi satu daging” itu (Mereka bukan lagi dua, melainkan satu). Hendaknya tetap disadari bahwa Tuhan menciptakan masing-masing manusia itu unik, berbeda satu dengan yang lainnya, dan pernikahan lebih merupakan persekutuan dari dua pribadi yang berbeda.
Dengan menyadari perbedaan ini diharapkan akan menimbulkan saling pengertian di antara satu dengan lainnya, tidak lagi saling menuntut agar pasangan menjadi sama atau serupa dengan kita. Persekutuan itu disebut “sepasang” karena masing-masing masih dengan karakteristiknya. Seumpama sepasang sepatu, tetap ada sepatu kiri dan sepatu kanan yang memang tidak dapat dipertukarkan.
Manalah mungkin seorang istri meminta kepada suaminya, “Gantian dong, berikutnya kamu yang hamil ya”.
Saya menikah dengan segudang perbedaan, mulai dari perbedaan suku, agama, umur, sampai pada perbedaan hobi dan selera. Rasanya sulit untuk mencari kesamaan di antara lautan perbedaan itu. Tidak mengherankan kalau kami berdua adalah jagoan bertengkar, dan itu dimulai sejak masih pacaran, dan semakin menjadi-jadi setelah pernikahan berlangsung. Saya ingin pasangan saya mau berubah seperti yang saya inginkan, menjadi serupa dengan saya. Inilah kesalahan fatal dalam relasi kami, sehingga berulang kali kami dilanda keputus-asaan dan mulai memikirkan tentang perceraian. Anak-anak pun akhirnya menjadi “samsak”, tempat pelampiasan amarah.
Kami hidup bersama di bawah satu atap, tetapi dengan “dunia” masing-masing. Siapa yang mesti mengalah ketika menonton televisi, saya suka film action sedangkan istri saya suka drama. Siapa yang mesti mengalah, istri saya suka makanan pedas sedangkan saya tidak. Siapa yang mesti mengalah ketika dalam perjalanan di mobil, saya suka lagu-lagu jazz sedangkan pasangan saya suka lagu-lagu pop. Belum lagi kalau berbicara tentang sikap terhadap mertua, ipar, atau relasi sosial. Begitu mudahnya kami menemukan “bahan” untuk bertengkar.
Yang mengherankan, perceraian itu tidak pernah sungguh-sungguh terjadi. Selalu saja ada penyebab atau alasan untuk “kembali”. Tuhan menggiring kami untuk terlibat di komunitas ME (Marriage Encounter). Ditugasinya kami berdua di komisi keluarga keuskupan sehingga banyak kesempatan bagi kami untuk melihat berbagai permasalahan yang dihadapi oleh pasutri-pasutri lainnya. Sampai akhirnya kami merubah pendapat kami sendiri tentang “Apakah dia memang jodoh saya” menjadi “Apakah saya memang jodohnya”. Suatu kesadaran bahwa kami memang tidak pantas untuk menceraikan sesuatu yang telah dipersatukan Allah. Rekonsiliasi berlangsung secara perlahan-lahan, menuju ke arah perbaikan. Masing-masing mulai mengerti akan jati dirinya, sekaligus mengerti jati diri pasangannya, sehingga timbul kerelaan untuk melakukan sesuatu demi pasangan.
Suatu ketika, kami bercanda dengan berujar, “bertengkar yuk”. Kerinduan akan sesuatu yang sudah sangat jarang kami lakukan sekarang ini, menjadi bodoh karena tidak tahu lagi bagaimana caranya bertengkar. (Sandy Kusuma)
===============================================================================================
Bacaan Injil, Mrk 10:1-12
Dari situ Yesus berangkat ke daerah Yudea dan ke daerah seberang sungai Yordan dan di situ pun orang banyak datang mengerumuni Dia; dan seperti biasa Ia mengajar mereka pula. Maka datanglah orang-orang Farisi, dan untuk mencobai Yesus mereka bertanya kepada-Nya: “Apakah seorang suami diperbolehkan menceraikan isterinya?” Tetapi jawab-Nya kepada mereka: “Apa perintah Musa kepada kamu?” Jawab mereka: “Musa memberi izin untuk menceraikannya dengan membuat surat cerai.” Lalu kata Yesus kepada mereka: “Justru karena ketegaran hatimulah maka Musa menuliskan perintah ini untuk kamu. Sebab pada awal dunia, Allah menjadikan mereka laki-laki dan perempuan, sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.” Ketika mereka sudah di rumah, murid-murid itu bertanya pula kepada Yesus tentang hal itu. Lalu kata-Nya kepada mereka: “Barangsiapa menceraikan isterinya lalu kawin dengan perempuan lain, ia hidup dalam perzinahan terhadap isterinya itu. Dan jika si isteri menceraikan suaminya dan kawin dengan laki-laki lain, ia berbuat zinah.”