Fiat Voluntas Tua

Catatan dari SAGKI -I : Mgr Puja – Sekjen KWI

| 1 Comment

SIDANG AGUNG GEREJA KATOLIK INDONESIA 2010 ‘Dia datang agar semua memperoleh hidup dalam kelimpahan’ (bdk. Yoh. 10: 10) Caringin, Bogor, Senin, 1 November 2010, ketika Gereja Katolik merayakan Hari Raya Orang Kudus dimulailah Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI), 1-5 November 2010. Pada jam 16.30 perayaan Ekaristi dimulai, dipimpin oleh selebran utama Mgr. Martinus Situmorang, Ketua Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), didampingi oleh konselebran Mgr. Leopoldo Girelli, Duta Besar Vatikan untuk Indonesia, Mgr. Michael Angkur, Uskup Bogor, dan para Uskup dari seluruh Indonesia, dan bersama seluruh peserta yang berjumlah 400-an peserta. Iringan nyanyian dengan aneka melodi bercorak budaya Nusantara, diringi dengan berbagai alat musik, yang didukung oleh paduan suara memeriahkan perayaan Ekaristi pembuka SAGKI.

Mgr. Martinus mengajak seluruh peserta untuk bersukacita, bersyukur atas perayaan iman yang sedang terjadi, yang menjadi daya kekuatan menghadapi keprihatinan-keprihatinan bangsa akhir-akhir ini. Seusai perayaan Ekaristi, pemukaan diteruskan dengan acara pembukaan resmi, yang dihadiri oleh Bp. Suryadharma Ali, Menteri Agama RI. Pada acara pembukaan tersebut disampaikan berberapa sambutan dari Pastor Alfons Duka, SVD Ketua Umum SAGKI 2010, Nuncio Mgr. Leopoldo Girelli, Mgr. Martinus Situmorang, Ketua KWI, dan Bp. Menteri Agama. Sidang secara resmi dibuka oleh Bp. Menteri Agama dengan membuka selubung yang ditarik oleh sekumpulan balon ke atas. Dan tampaklah tulisan SAGKI 2010.

KATA SAMBUTAN

Menjelang Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI), 1-5 November 2010, kita saksikan peristiwa-peristiwa memilukan terjadi di tanah air Indonesia: banjir bandang di Wasior Irian Jaya (4 Oktober 2010), tsunami dan gempa di Mentawai (25 Oktober 2010), ledakan gunung Merapi di Jawa Tengah (26 Oktober 2010), dan banjir serta tanah longsor di berbagai daerah. Bencana alam tersebut menelan korban manusia, merusak hutan, kampung, desa dan kota, dan terus mencemaskan kita semua. Sementara itu di berbagai tempat di Indonesia ini tetap saja terjadi perusakan-perusakan yang dilakukan oleh sekelompok orang karena inteloransi yang semakin meningkat, dan karena kepentingan diri yang kelewat. Sementara itu pula dari berbagai tempat di seluruh pelosok tanah air itu datang utusan-utusan umat Katolik untuk menghadiri SAGKI, suatu kesempatan berbagi kisah tentang Yesus, yang datang agar semua memperoleh hidup dalam kelimpahan (bdk. Yoh. 10:10). Secara sangat jelas iman kita kepada Yesus mengantar kita untuk mencerna apa makna beriman dalam keprihatinan yang mencemaskan, dan dalam kegelapan yang mencekam. Bagaimana memaknai hidup dalam kelimpahan dalam diri para korban bencana alam, dan ulah manusia yang memboroskan kelimpahan itu? Bagaimana menemukan makna harapan ketika manusia dipojokkan dalam keadaan tanpa harapan? Bagaimana berkisah tentang Yesus yang datang agar semua memperoleh hidup dalam kelimpahan di Indonesia dewasa ini? Mencari bersama jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan pekerjaan bersama para utusan umat beriman yang berhimpun dalam SAGKI 2010.

Pengalaman iman akan Yesus yang hidup, dan tetap hidup di antara orang-orang mati korban bencana merupakan bahan berkisah yang saling menghidupkan. Dari mulut-Nya telah kita dengar kata-kata indah yang diucapkan-Nya, “Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang.” (Luk 4: 18-19) Kisah tentang Yesus di Indonesia hanya dapat muncul dari orang-orang Indonesia yang telah mengalami Yesus yang hidup dalam realitas masyarakat Indonesia, yang beraneka dalam budaya dan agama, serta sedang melakukan perjuangan pembebasan dari kemiskinan. Nilai-nilai kehidupan yang tersimpan dalam aneka budaya dan berbagai agama, dan terutama yang tersimpan dalam kisah hidup orang miskin dan sengsara merupakan benih-benih firman, yang dalam diri Kristus, Sang Firman, menemukan pemenuhannya. Berkisah tentang Yesus yang hidup di Indonesia menjadi isi dialog pada hari-hari SAGKI di antara para utusan, agar semakin mengenali wajah Yesus di dalam keberagaman budaya (Selasa, 2 November 2010), dalam dialog dengan agama dan kepercayaan lain (Rabu, 3 November 2010), dan dalam pergumulan hidup kaum marjinal dan terabaikan (Kamis, 4 November 2010). Kalau dialog itu terjadi, maka para utusan menjadi penutur kisah tentang Yesus, dan saling menjadi narasumber satu sama lain. Dialog sebagai pembicaraan mendalam melibatkan peserta dialog untuk menggunakan kata tidak sekedar sebagai penyampai informasi, tetapi sebagai ungkapan isi hati yang berdaya ubah, yang transformatif, karena dalam kata itu terkandung firman yang kreatif, yang menciptakan.

Di kedalaman hati manusia, ketika firman dikenali sebagai Sang Firman, maka peserta dialog diubah menjadi umat beriman, yaitu Gereja. Dalam Sidang Agung ini perserta dialog diubah menjadi Gereja Katolik Indonesia, yang dipanggil dan sekaligus diutus untuk berkisah tentang Yesus kepada masyarakat Indonesia. Dewasa ini, kita semakin yakin bahwa dialog adalah cara dewasa menjadi Indonesia. Bila kita berkehendak mewujudkan Gereja menjadi sungguh Katolik dan sungguh Indonesia, maka Gereja Katolik harus menjadi Gereja yang berdialog dengan realitas Indonesia. Karena itu, merupakan tugas kitalah mengembangkan dialog dengan berbagai budaya, dengan belajar terus-menerus untuk menemukan nilai-nilai baik, benar dan indah yang terkandung dalam aneka budaya Nusantara, dan menjadikan peristiwa inkarnasi sumber inspirasi untuk mengupayakan inkulturasi, agar keselamatan Allah dihayati dalam cita rasa Indonesia. Dialog dengan berbagai umat beragama, terutama umat beragama Islam, menentukan masa depan Indonesia sebagai masyarakat majemuk, yang ber-Bhinneka Tunggal Ika, dengan membangun hidup bersama dalam semangat cinta dan hormat satu sama lain. Dialog dengan orang miskin, kaum marjinal dan terabaikan, merupakan ungkapan kesetiaan kita pada Yesus yang mudah tergerak hatinya dalam perjumpaan-Nya dengan mereka. Dialog tiga wajah inilah yang hendaknya menjadi tantangan dan peluang bagi Gereja agar menjadi sungguh Katolik dan sungguh Indonesia.

Dalam dialog sejati kita dapat menemukan hidup yang dibawa oleh Yesus, Sang Gembala Baik, yang datang agar semua memperoleh hidup dalam kelimpahan (bdk. Yoh. 10:10). Selamat bersidang, agar kita semakin dekat mengikuti-Nya, semakin dalam mengenal-Nya dan semakin mesra mencintai-Nya.

Jakarta, 27 Oktober 2010 + Johannes Pujasumarta Sekretaris Jenderal KWI

http://networkedblogs.com/aaSp5

One Comment

  1. Terima kasih sudah masuk ke blog ini. Tugas kitalah mendoakan para romo, para gembala kita. Menjadi setia adalah salib yang dipanggul setiap orang atas pilihannya. Setia untuk selibat sama beratnya dengan setia pada pasangannya sampai ajal memisahkan mereka. Anda sudah menikah? Berapa lama? Tidak mudah untuk menjaga kesetiaan dalam puluhan tahun hidup perkawinan. Menuntut perubahan hukum gerejawi dalam sakramen imamat dengan alasan yang dikemukakan sama juga dengan mempertanyakan janji sakramen pernikahan. Tuhan itu setia pada janjinya bagi manusia, maka manusia diberikan rahmat untuk membalas kesetiaannya melalui sakramen-sakramen tersebut. Silahkan bertanya tentang latar belakang 7 sakramen kepada pastor disekitar anda, atau anda bisa mengikuti KEP kursus evangelisasi pribadi untuk memahami latar belakang Ajaran Gereja. Mohon maaf saya tidak bisa meng upload komentar-komentar anda di blog saya.

Leave a Reply

Required fields are marked *.