Fiat Voluntas Tua

Mea Culpa

| 0 comments

“Ia menerima orang berdosa dan makan bersama dengan mereka.”

Dalam sesi tanya jawab di sidang pleno SAGKI,  seorang uskup meminta masukan kepada Kang Sobary dan Bhiku Pannyavaro tentang apa yang harus dilakukan umat katolik setelah kita kehilangan tokoh sekaliber almarhum romo Mangun yang perannya begitu kuat diantara kehidupan masyarakat pluralis. Kang Sobary mengatakan bahwa pertanyaan yang serupa juga muncul dikalangan NU saat cak Nur tidak ada, saat Gus Dur juga tiada. Siapa yang mirip cak Nur dan siapa mirip Gus Dur? Mungkin banyak yang memirip-miripkan tetapi  tidak ada yang memiliki watak genuine. Yang paling sulit adalah menterjemahkan keberanian kata-kata menjadi tindakan – adakah tindakan-tindakan yang diambil itu didasari oleh kepentingan pribadi untuk mendapat keplok atau tindakan akibat panggilan dunia yang  datang dari bagian paling dalam dari jiwa kita. Maka marilah kita bertanya sesudah betoro romo di poncowati tidak ada – bagaimana dengan dunia? toh tetap berjalan dan nantinya muncul juga betara kresno.  Inilah saatnya poro romo betoro romo (red: para romo dan uskup) harus berani bersikap, harus lurus serta berani menegakkan yang harus ditegakkan.

Dalam pesan senada, bhiku Pannyavaro menjelaskan bahwa contoh atau teladan seperti almarhum Romo Mangun dalam masyarakat tentu dibutuhkan. Tetapi dalam perekembangan spiritualitas, marilah kita bekerja tanpa membandingkan satu dengan yang lain. Kalau saya merasa kurang dari yang lain, maka akan timbul ambisi untuk bisa menyamai dengan yang lain. Kalau saya  merasa sama dengan yang lain, berarti ada upaya untuk mempertahankan apa yang saya rasa baik. Kalau saya lebih  tinggi dari yang lain, maka akan timbul ke-aku-an. Mungkin itu biasa dalam masyarakat untuk menutupi kekurangannya, mempertahankan yang dipunyai atau untuk meningkatkan prestasinya. Tetapi dalam kebersihan jiwa (spiritual) saat kita merasa sama, lebih rendah atau  lebih tinggi, merupakan kotoran jiwa juga. Marilah kita terus bekerja tanpa risau, tanpa membandingkan satu dengan yang lain; terserah masyarakat menilai agar  batin kita tetap bersih dan tidak dibakar bakar oleh keakuan.

Kesimpulannya dalam kita berkarya kita harus memiliki sikap yang tulus untuk bisa memperhatikan kebutuhan serta perduli akan orang-orang lain disekitar kita – bukan mencari ketenaran, bukan agar dilihat orang, tetapi sungguh dilandasi keinginan untuk mengangkat nilai dan harkat manusia disekitar kita.  Harus berani konsisten dalam bersikap menyatakan kebenaran dan keadilan serta siap menghadapi segala resiko. Persis seperti yang dilakukan Yesus, Ia tidak segan duduk sama rendah berdiri sama tinggi dengan masuk ke kawanan orang pendosa yang dinilai rendah oleh orang-orang Farisi. Yesus memiliki kemampuan untuk berdialog dengan kaum intelek seperti orang Farisi, tetapi Ia tidak malu berinteraksi dengan para pemungut cukai karena dengan ketulusan Ia ingin menyapa mereka yang termarginalkan dan terpinggirkan.

Pelayanan dan karya pada akhirnya akan teruji apakah kita melakukannya tanpa dilandasi pertobatan; kita bisa tergoda untuk memuliakan diri-sendiri, bukannya memuliakan Allah Tritunggal. Kita mungkin sering terpaku dengan ritual atau SOP yang harus perfecto, semua ritual keagamaan harus sempurna, karena ingin menyenangkan hati Tuhan. Tapi kita lupa bahwa yang membuat terselenggaranya pesta besar di sorga  dimana para malaikat bersorak-sorak adalah bilamana ada satu orang bertobat. Jangan-jangan kitalah yang ditunggu para penghuni sorga untuk bertobat – bertobat dari mencari kemuliaan diri lewat berbagai upaya-upaya yang tidak tulus dan merasa benar sendiri  – tidak berbeda dari orang Farisi. Bertobat dari ketidakpedulian, bertobat dari ketakutan untuk tampil membela yang benar. Bertobat untuk keluar dari ‘zona nyaman’ kita. Mea culpa … mea culpa…. Aku berdosa, aku sungguh berdosa..

==============================================================================================

Bacaan Injil  Luk 15:1-10

” Para pemungut cukai dan orang-orang berdosa biasanya datang kepada Yesus untuk mendengarkan Dia. Maka bersungut-sungutlah orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat, katanya: “Ia menerima orang-orang berdosa dan makan bersama-sama dengan mereka.” Lalu Ia mengatakan perumpamaan ini kepada mereka: “Siapakah di antara kamu yang mempunyai seratus ekor domba, dan jikalau ia kehilangan seekor di antaranya, tidak meninggalkan yang sembilan puluh sembilan ekor di padang gurun dan pergi mencari yang sesat itu sampai ia menemukannya? Dan kalau ia telah menemukannya, ia meletakkannya di atas bahunya dengan gembira, dan setibanya di rumah ia memanggil sahabat-sahabat dan tetangga-tetangganya serta berkata kepada mereka: Bersukacitalah bersama-sama dengan aku, sebab dombaku yang hilang itu telah kutemukan. Aku berkata kepadamu: Demikian juga akan ada sukacita di sorga karena satu orang berdosa yang bertobat, lebih dari pada sukacita karena sembilan puluh sembilan orang benar yang tidak memerlukan pertobatan.”

Leave a Reply

Required fields are marked *.