“Ia membasahi kakiNya itu dengan air matanya dan menyekanya dengan rambutnya”
Saya sering merasa terganggu dengan perilaku beberapa orang yang hobbynya (maaf) menjamu para ulama, tokoh masyarakat termasuk para romo. Masalahnya bukan karena saya tidak bisa melakukannya, tapi terkadang ada kemunafikan disana. Betulkah mereka akan melakukannya lagi bila ybs sudah tidak menjabat lagi sebagai romo paroki atau pejabat keuskupan? Apakah hal yang sama dilakukan pada mantan romo? Yang terjadi biasanya malah ‘iren’ atau tepatnya kelompok yang satu tidak mau kalah dengan kelompok lain, kemudian mengajak romo atau pejabat keuskupan ke tempat yang lebih mahal lagi. Semoga ini pandangan yang salah, or at least hanya oknum umat lah yang melakukannya.
Hal demikian justru menjadi sumber pemecah belah umat di kalangan para ‘penjamu’. Kelompok lain merasa iri hati karena romo anu pergi dengan si ini, akhirnya tersebar berita si romo begini dan begitu. Lalu masih ditambah dengan bumbu apakah si romo itu gak tau kalau si anu itu begini dan begitu…. halaaah….. buntutnya puanjang banget itu cerita. Padahal pastilah sang romopun kalau diundang keluar masuk gang dan kampung untuk duduk makan bersama di Amigos (agak minggir got sedikit) juga tidak akan menolak. Tapi stigma ‘makan’ dengan romo itu harus berkelas dan mahal justru membuat kasta tersendiri dalam umat. Sehingga yang terjadi masing-masing merasa berhak menghakimi orang lain, termasuk menghakimi sang romo.
Mungkin ini ‘berkah’nya jadi pengurus Dewan Paroki sehingga harus menghadapi berbagai kelompok umat yang saling tarik ulur berebut ‘pengaruh’ ya pengaruh terhadap romo juga pengaruh terhadap umat. Duuuh… Injil hari ini mengingatkan kita untuk menerima siapapun dalam ‘rumah’ hati kita. Entah dia pendosa, entah dia romo atau siapapun, biarlah kita bukakan pintu hati dan mengajaknya makan seperti keluarga sendiri. Tanpa penghakiman tanpa penilaian, tanpa menunggu hari Lebaran pintu maaf terbuka setiap saat.
Justru disitulah esensi kasih, seseorang yang diterima utuh dengan segala kelemahannya justru merasa dihargai dan diterima sebagaimana Tuhan kita menerima kita manusia apa adanya. Kita sendiri merasakan bagaimana bedanya perlakuan tuan rumah bilamana menerima kita sebagai tamu, duduk di teras dan di ruang makan keluarga. Kalau anda sudah memiliki hubungan dekat dengan seseorang, pasti anda tidak diajak mengobrol di halaman parkir kan? Pastinya ibunya sudah berteriak dari dalam ” hayooo makan dulu…, tante punya makaroni nih”. Anda akan diterima dengan apa adanya, kalaupun gak ada makananpun kita ngobrol sambil minum teh hangat di meja makan.
Itulah diplomasi meja makan yang seharusnya kita berlakukan juga pada siapapun yang berada disekitar kita. Semua orang pasti pernah lapar, dan semua orang senang diajak makan… bukan tentang makanannya, tetapi mengajak makan bersama di ruang makan adalah suatu pengakuan bahwa kita diterima dalam keluarga. You are always welcome at our place (baca: di meja makan). Apalagi bagi mereka dari suku jawa, mangan ora mangan sing penting ngumpul. Nanti kan makanan datang sendiri (tinggal telpon untuk delivery kok).
Diplomasi meja makan membuat Yesus bisa diterima diberbagai kalangan. Dari kelompok terhormat seperti orang Farisi, juga zakheus si pemungut cukai, dan berbagai kelompok masyarakat lainnya. Si pendosapun tahu bahwa ia akan lebih mudah menemui Jesus secara terbuka , dengan seadanya saat di meja makan. Ia tahu bahwa Yesus tidak akan menolaknya, walaupun yang punya rumah sekalipun tidak menghendaki kehadirannya. Semoga kita juga selalu menerapkan diplomasi meja makan, memperlakukan orang lain berharga bagi kita dan melayani mereka layaknya anggota keluarga sendiri. Kita memang satu dalam keluarga … keluarga Allah yang saling mengasihi (seharusnya).
=============================================================================================
Bacaan Injil Luk 7:36-50
“Seorang Farisi mengundang Yesus untuk datang makan di rumahnya. Yesus datang ke rumah orang Farisi itu, lalu duduk makan. Di kota itu ada seorang perempuan yang terkenal sebagai seorang berdosa. Ketika perempuan itu mendengar, bahwa Yesus sedang makan di rumah orang Farisi itu, datanglah ia membawa sebuah buli-buli pualam berisi minyak wangi. Sambil menangis ia pergi berdiri di belakang Yesus dekat kaki-Nya, lalu membasahi kaki-Nya itu dengan air matanya dan menyekanya dengan rambutnya, kemudian ia mencium kaki-Nya dan meminyakinya dengan minyak wangi itu. Ketika orang Farisi yang mengundang Yesus melihat hal itu, ia berkata dalam hatinya: “Jika Ia ini nabi, tentu Ia tahu, siapakah dan orang apakah perempuan yang menjamah-Nya ini; tentu Ia tahu, bahwa perempuan itu adalah seorang berdosa.”