Fiat Voluntas Tua

Patung Pieta

| 0 comments

“Suatu pedang akan menembus jiwamu sendiri” – HR SP Maria berdukacita

Diujung bagian belakang gereja Santa Perawan Maria Ratu, terletak patung Pieta, replika dari karya Michelangelo. Patung versi aslinya terletak di basilika Santo Petrus di Roma, Italia yang merupakan karya pertama dari sekian banyak karya dengan tema yang sama oleh Michelangelo. Patung tersebut dibuat sebagai monumen di makam kardinal Perancis Jean de Billheres, tetapi kemudian dipindahkan ke lokasinya yang sekarang, kapel pertama di kanan basilika pada abad ke-18. Karya ini menggambarkan tubuh Yesus di pelukan ibunya Maria setelah penyaliban Yesus.

Saya bersyukur di jaman abad XV, kesenian patung  dan lukisan sangat dipuja sebagai tanda tingginya keberadaban manusia. Coba kalau Michael Angelo tidak membuat patung Pieta, kita tidak bisa membayangkan saat ini seperti apa rasanya Bunda Maria saat menerima jenazah Yesus dua ribu tahun lalu. Hhm… kira-kira inilah makna peninggalan patung dan karya seni lukis yang ditinggalkan para pujangga Gereja jaman baheula. Kita perlu menyadari esensi dibalik gambar dan patung yang ditinggalkan, kita tidak sedang dan tidak menyembah patungnya sebagai benda keramat. Tapi semangatnya tetap tinggal dihati kita agar senantiasa mendekatkan kita pada Allah Sang Sumber Kasih.

Pada perayaan Hari Raya Santa Perawan Maria berduka cita, romo Sumarya mengajak kita merenungkan sang bunda sebagai teladan umat beriman, yang mengandung, melahirkan dan mendampingi Penyelamat Dunia, yang datang untuk mempersembahkan Diri bagi keselamatan seluruh dunia dengan menderita dan  wafat di kayu salib.

Kenangan akan SP Maria Berdukacita adalah kenangan partisipasi SP Maria dalam penderitaan dan wafat Penyelamat Dunia, PuteraNya. SP Maria Berdukacita ini dikenangkan antara lain dengan patung karya Michael Angelo “SP Maria yang sedang memangku Yesus yang telah wafat di kayu salib”. Karena SP Maria adalah teladan umat beriman, maka kita semua umat beriman dipanggil untuk berpartisipasi dalam penderitaan dan wafat Yesus di kayu salib demi keselamatan seluruh dunia. Secara konkret kita dipanggil untuk siap sedia menderita dan berkorban demi keselamatan jiwa diri kita sendiri maupun orang lain atau sesama kita.

Kita semua mendambakan hidup mulia, damai sejahtera dan selamat selama di dunia ini dan kelak setelah dipanggil Tuhan atau meninggal dunia. “Jer basuki mowo beyo” = Untuk hidup mulia dan damai sejahtera, orang harus berjuang dan berkorban, demikian kata pepatah Jawa. Marilah jiwa perjuangan dan pengorbanan ini sedini mungkin kita dididikkan atau biasakan pada anak-anak dan tentu saja dengan teladan konkret dari para orangtua atau bapak-ibu.

Dengan kata lain hendaknya kita sebagai orangtua menjauhkan diri dari aneka macam bentuk pemanjaan pada anak-anak. Sedini mungkin, sesuai dengan kemampuan dan perkembangannya, libatkan dan fungsikan anak-anak dalam pemenuhan hidup bersama yang damai dan sejahtera., antara lain dengan memfungsikan anak-anak untuk mengerjakan hal-hal sederhana, dan makin lama makin sulit, misalnya menyapu, mematikan lampu/kran air, mengatur tempat tidur, dst… Mumpung tidak ada PRT yang sedang pulang kampung, jadikan kebiasaan ini sebagai kebiasaan untuk mandiri dan bertanggungjawab atas keadaan sekelilingnya. Jauhkan sikap mental atau budaya `instant’ pada anak-anak, seperti cepat-cepat pandai, kaya, dst.., mari kita ajak mereka untuk taat dan setia dalam mengikuti `proses’ yang baik dalam mengerjakan segala sesuatu.

=============================================================================================

Bacaan Injil Luk 2:33-35

“Dan bapa serta ibu-Nya amat heran akan segala apa yang dikatakan tentang Dia. Lalu Simeon memberkati mereka dan berkata kepada Maria, ibu Anak itu: “Sesungguhnya Anak ini ditentukan untuk menjatuhkan atau membangkitkan banyak orang di Israel dan untuk menjadi suatu tanda yang menimbulkan perbantahan — dan suatu pedang akan menembus jiwamu sendiri –, supaya menjadi nyata pikiran hati banyak orang.”

Leave a Reply

Required fields are marked *.