“Aku harus memberitakan Injil Kerajaan Allah sebab untuk itulah Aku diutus.”
Menjadi pengurus itu gampang-gampang susah. Kalau hanya jadi pengurus seksi di lingkungan tantangannya tidak akan seberat ketua lingkungan; demikian juga tugas antara seksi dan pengurus harian Dewan Paroki. Walau sama-sama dibatasi 3 tahun masa kepengurusan dengan perpanjangan satu kali, hal ini bisa menjadi sulit untuk beberapa orang. Entah sulit untuk memulainya sehingga banyak yang menolak tawaran sebagai pengurus lingkungan/Dewan paroki; atau sebaliknya sulit untuk menyerahkannya kembali bahkan tidak bersedia dievaluasi. Tidak sedikit ada oknum yang berkali-kali menjadi pengurus entah di seksi anu, lalu menjadi wakil ketua dan periode berikutnya ganti lagi … wah sepanjang segala abad semua mau diurus. Padahal saat ybs menjabat apa yang dilakukan pun belum tentu maksimal bahkan laporanpun tidak ada. Ada juga pengurus yang sejak terpilih sampai beberapa tahun kemudian tidak jelas melakukan apa. Lho jadi untuk apa jadi pengurus? Mentang-mentang tidak digaji apa lantas berarti tidak berbuat apa-apa?
Saya belajar mendisiplinkan diri menerapkan satu dari 7 habit Stephen Covey : Begin with the end in mind. Dalam satu kepengurusan, saya harus menetapkan target – konsultasikan dengan pemimpin terpilih apa harapannya dan mengapa saya yang dipilih. Maka dalam periode tersebut saya menetapkan apa yang saya harus lakukan dan bagaimana ukuran keberhasilannya. Kalau kita tahu bahwa pekerjaan kita bakal berakhir dengan baik, maka masih ada kemungkinan meningkatkannya pada periode kedua. Atau kalau memang sudah baik, cari tantangan lain yang lebih berat pada periode kedua. Pada periode kedua, kita harus mempersiapkan dengan kader-kader di lapis berikutnya yang siap mengambil alih tugas kita selanjutnya.
Maka saat saya harus mundur sebagai moderator salah satu milis karena berakhirnya kepengurusan saya, saya sadar dan mempersiapkan diri untuk tugas perutusan baru… yang biasanya lebih berat. Saya bersyukur bahwa saya bisa legowo dan berani melepaskan tugas kepada mereka yang telah dipersiapkan. Kaderisasi bukan dilakukan oleh orang lain, kita sendiri harus melatih diri kita untuk mendelegasikan tugas, belajar untuk melepaskan tugas pada seseorang dan mengawasinya dari jauh. Siap setiap saat dihubungi dan siap dengan berbagai solusi dan alternatif jalan keluar apabila mereka menemui halangan. Kaderisasi juga berarti siap untuk tidak tampil dan senang bila orang yang menggantikan kita ternyata telah siap melaksanakan tugas kita… Nah ini yang susah, banyak contoh diberbagai organisasi bahkan di bidang politik, gak ada orang yang lebih baik kecuali keluarganya. Sang bupati sudah menjabat dua periode, eh… majulah istri bupati, Nggih sami mawon!
Sebagai seorang utusan, apalagi sebagai murid Kristus, kita sudah tandatangan kontrak dengan menerima Sakramen Krisma – harus siap diutus kemana saja, siap juga ditempatkan ke tempat-tempat yang lebih tinggi (termasuk lebih sulit). Maka bila saya harus menghadapi jadual yang bertabrakan, antara tugas paroki untuk turun ke lingkungan, tugas keuskupan untuk mengunjungi paroki, tugas partai untuk turun ke daerah, tugas kantor ketemu client yang ‘berat’, tugas di rumah untuk datang ketemu wali kelas dsb, saya cenderung memilih tugas yang paling berat, yang tidak dapat digantikan orang lain. Tugas yang membuat sayapun juga tidak bisa mengandalkan kemampuan diri, yang membuat saya semakin mengandalkan rahmat Tuhan.
Jam 2 tadi pagi saya mendapat sms dari seorang kader yang sedang pulang kampung bahwa acara tahunan buka bersama dengan ratusan anak-anak yatim yang awalnya kesulitan dana dilaporkan berhasil sukses bahkan dihadiri serta dibantu pemda setempat. Ia juga memberikan kabar baik lainnya bahwa bupati menanyakan kesediaannya untuk maju mendampingi sebagai wakil bupati di periode berikutnya. Saya hanya bisa membalas smsnya dengan ucapan selamat dan syukur. Saya sampaikan padanya bahwa tugas berikut adalah membantu para nelayan mau kembali melaut lagi. Saya memahami betapa sulitnya didalam dunia pragmatis saat ini melahirkan pemimpin yang punya kepedulian dan siap ditempatkan dimana saja. Siap dihantam kiri-kanan (apalagi dihantam iming-iming uang) , siap berjuang sendiri tapi bukan berarti tanpa perhitungan. Banyak yang ingin ‘duduk’ tapi tidak siap menjalankan tugas yang berat. Sudah dudukpun, lupa berdiri! Sudah ‘duduk’ malah pindah ke penjara
Injil hari ini mengingatkan kita para pelayan Tuhan, para murid Kristus agar tidak terpaku pada pelayanan bahkan terpaku ‘bonus’ pelayanan itu sendiri. Yesus dicari banyak orangterutama yang sakit karena kuasaNya, mereka mencariNya dengan berbagai tujuan. Ada yang ingin sembuh, ada yang ingin tahu saja, ada yang ingin diberkati dsb. Tidak jelas berapa banyak yang ingin ketemu Yesus karena ingin mendengar Kabar Baik yang disampaikanNya. Sehingga saat Ia sedang menyingkir dan berdoa, murid-murid dipaksa mencari Yesus. Mana yang lebih penting, sibuk melayani orang lain atau sibuk berdoa? Semua tergantung dari fokus pelayanan itu sendiri, tergantung pada sang utusan. Apakah kita terlena dengan popularitas, dengan fasilitas yang didapat dari setiap penugasan sehingga lupa apa misi sebenarnya? Apakah kita sendiri memahami mengapa kita yang dipilih? kemana kita diutus dan apa misi yang kita bawa?
Belajar dari kasus Singaraja, dan banyak kasus kepemimpinan lainnya, kita sering berkata siap menerima tugas perutusan, tapi tidak siap untuk mempertanggungjawabkannya di akhir jabatan. Kalaupun siap bertanggung-jawab, tidak siap untuk menyerahkannya kembali – yang sama saja artinya tidak siap untuk ditempatkan ke ladang ‘pertempuran’ yang lain. Atau sebaliknya, tidak mau diutus kemana-mana – saya mau jadi orang katolik yang baik saja. Maksud lo??! Well, kabar buruknya adalah tidak ada pengikut Kristus yang tidak diutus – setiap orang yang mengikuti Misa sampai selesai, tidak hanya menerima Tubuh Kristus tapi sekaligus satu paket dengan perutusannya di akhir Misa. Maaf seribu maaf, tidak ada katolik yang ‘biasa-biasa’ saja. You’ve got everything from Him even His blood, and you did nothing? That is unfair.
Mari kita renungkan sudah sejauhmana kita mempertanggung-jawabkan tugas perutusan sampai titik ini. Apakah tugas kita sebagai ibu rumah tangga, sebagai mahasiswa, sebagai karyawan sudah dilakukan dengan sebaik mungkin? siapkah kita menerima tugas yang baru dan sekaligus menyerahkan tugas kepada ‘kader’ berikutnya? Lalu kapan? Siapkah kita diperlengkapi dengan berbagai kemampuan dengan melalui berbagai tantangan ? Utusan yang dikirim tentunya utusan terbaik, ambassador, yang terbaik dari yang ada yang berani ‘bertempur’ di garis depan. Yang sigap dalam mengambil keputusan sejalan dengan yang mengutusnya – ini hanya bisa dilakukan bila kita tahu persis apa yang diinginkan Sang Pengutus. Mari kita belajar dari Yesus, tidak terikat dengan gebyarnya pelayanan, nikmatnya dielukan orang-orang, dicari untuk berkotbah dan melayani kiri kanan, tapi Ia selalu memiliki waktu menjaga relasi dengan Allah Bapa. Ia siap pergi ketempat-tempat lain yang lebih sulit, lebih berat , siap meninggalkan PW Posisi Wuenak. Kabar Baik harus diberitakan ditempat-tempat yang ‘tidak baik’…. siap kah kita diutus ketempat yang lebih gelap, lebih berat, lebih ganas ?
===============================================================================================
Bacaan Injil Luk 4:38-44
“Kemudian Ia meninggalkan rumah ibadat itu dan pergi ke rumah Simon. Adapun ibu mertua Simon demam keras dan mereka meminta kepada Yesus supaya menolong dia. Maka Ia berdiri di sisi perempuan itu, lalu menghardik demam itu, dan penyakit itu pun meninggalkan dia. Perempuan itu segera bangun dan melayani mereka. Ketika matahari terbenam, semua orang membawa kepada-Nya orang-orang sakitnya, yang menderita bermacam-macam penyakit. Ia pun meletakkan tangan-Nya atas mereka masing-masing dan menyembuhkan mereka. Dari banyak orang keluar juga setan-setan sambil berteriak: “Engkau adalah Anak Allah.” Lalu Ia dengan keras melarang mereka dan tidak memperbolehkan mereka berbicara, karena mereka tahu bahwa Ia adalah Mesias. Ketika hari siang, Yesus berangkat dan pergi ke suatu tempat yang sunyi. Tetapi orang banyak mencari Dia, lalu menemukan-Nya dan berusaha menahan Dia supaya jangan meninggalkan mereka. Tetapi Ia berkata kepada mereka: “Juga di kota-kota lain Aku harus memberitakan Injil Kerajaan Allah sebab untuk itulah Aku diutus.” Dan Ia memberitakan Injil dalam rumah-rumah ibadat di Yudea.”