Fiat Voluntas Tua

Syukur atas Makna Kematian (Mgr Pujasumarta)

| 1 Comment

Kami mengucapkan turut berduka cita sedalam-dalamnya atas wafatnya ibu R. Ay. Agnes Sukarti Pudjosumarto, ibu dari Mgr Puja dan romo Ismartono SJ. Semoga arwahnya diberikan istirahat kekal bersama Bapa di surga, dan semoga keluarga yang ditinggalkan diberikan penghiburan. Berikut tulisan Mgr Puja sehubungan dengan wafatnya ibunda tercinta.

Jumat,  14 Mei 2010, malam hari sekitar jam 22.00 diantar oleh mas Alex saya meluncur dari Bandung menuju Kalitan Surakarta. Keputusan tersebut saya ambil setelah mempertimbangkan data medis yang menerangkan kondisi kesehatan Ibu. Menyusuri jalan panjang dalam rintik-rintik hujan malam itu saya merasakan bahwa alam pun hendak mengungkapkan rasa cemas hati saya bersama dengan saudari dan saudara saya yang menunggui Ibu, yang sejak Kamis, 13 Mei 2010, siang hari diantar ke  Rumah Sakit Umum Brayat Minulya Surakarta. Yang mencucurkan air bukan hanya langit, tetapi juga mata kami.

Ingat saya pada waktu kami keluarga besar Pudjosumarto merayakan ulangtahun Ibu yang ke-89 pada tanggal 10 Agustus 2009. Kami bersepakat untuk bersyukur secara istimewa pada hari ulangtahun yang ke-90, bila Tuhan menghendaki. Pertemuan Keluarga pada akhir tahun 2009 membuahkan kesepakatan untuk membentuk Panitia HUT ke-90 Ibu yang menurut rencana akan kami selenggarakan pada hari Minggu, 15 Agustus 2010. Pernah dalam rangka merayakan hari ulang tahun Ibu, adik saya menulis sebuah puisi, yang dibacakan untuk pertama kalinya pada tanggal 10 Agustus 2003. Puisi itu berjudul “Ibu, Matahari Pagiku”. Beberapa bait dari puisi itu saya lengkapi dengan melodi. Ibu menghendaki agar puisi itu dibacakan lagi pada hari ulang tahunnya. Sepanjang jalan malam itu, senandung “Ibu, Matahari Pagiku” menyertai perjalanan gelap malam itu.

Sabtu, 15 Mei 2010, siang hari kami memasuki kota Sala, langsung menuju RSU. Brayat Minulya, masuk ke Ruang Gawat Darurat (ICU) tempat Ibu berbaring tak berdaya. Kami menemani Ibu dengan doa, nyanyian “nDherek Dewi Maria”, yang menjadi kesukaan Ibu, doa dan nyanyian yang diajarkan oleh Ibu kepada kami anak-anak sejak usia dini. Sementara itu para dokter dan perawat mengusahakan proses penyembuhan terjadi, menaikkan tekanan darah. Namun kami menyadari pula bahwa organ-organ tubuh yang telah bekerja selama 89 tahun lebih itu pun memiliki kemampuan terbatas.
Minggu, 16 Mei 2010, setelah menyaksikan tayangan Penyejuk Imani Katolik Indosiar tentang Hari Komunikasi Sedunia Ke-44, saya mengikuti misa hari Minggu di gereja Paroki Purwosari, tempat kami dibiasakan oleh Bapak dan Ibu untuk “sowan Gusti”, menghadap Tuhan. Saudara-saudari berdatangan, menyatakan perhatian, mendoakan Ibu, dan dengan doa, meneguhkan hati agar yang terbaik yang dikehendaki Tuhan terjadi atas kami. Dengan terpatah-patah Ibu mengatakan isi hati seorang Ibu, yang secara detil mengingatkan kami bila mengadakan pertemuan di rumah Kalitan, menanyakan apakah meja telah ditata, apakah hidangan cukup. Ia ungkapan juga bahwa Bapak telah mengajaknya. Memang, ajakan itu pernah disampaikan kepada Bapak pada saat-saat terakhir hidupnya.

Tercatat SMS yang saya kirimkan jam 19.58 kepada Rama Is, “Mas Is, Ibu kritis. Kami berdoa bersama di sekitar Ibu.” “Aku ikut berdoa dari sini. Salam”, jawab mas Is dari Maumere Flores. Mas Is kemudian berpesan, “Matura yen aku isih nang Flores, lan sesuk sowan mrono. Kowe matura Ibu wae yen arep rapat, nyuwun pamit. Sesuk pesen tiket Garuda wae, ben ora telat. Mobilmu ben nang Sala, nang Jakarta nganggo Kijangku.” (“Katakan kepada Ibu bahwa saya masih di Flores. Katakan kepada Ibu, bahwa akan Rapat Presidium KWI, mohonlah izin. Besok pagi pesan tiket Garuda saya, agara tidak terlambat. Mobilmu biar di Sala, selama di Jakarta gunakan mobilku.”) Pada saat itu saat kritis terlewati, Ibu tenang kembali.

Kemudian, menjelang tengah malam Suster perawat menyampaikan berita kepada kami bahwa Ibu kritis lagi. Kami berkumpul di sekitar Ibu. Lima menit menjelang tengah malam Ibu dibantu untuk bisa bernapas, namun tubuh Ibu semakin dingin, sampai hembusan nafas terakhir pada tanda waktu 00.00. Dokter menyatakan bahwa Ibu telah dipanggil Tuhan. Saya kirimkan kepada Mas Is SMS berita duka, “Mas, Ibu seda.” “Requiescat in Pace,” jawabnya. “Jam 00.00 persis”. 0 adalah tanda tak terbatas, keabadian dalam waktu. Memang dengan kematian Ibu masuk ke dalam hidup abadi. Untuk perhitungan kami yang masih terikat pada ruang dan waktu, kami bersepakat untuk menyatakan bahwa Ibu dipanggil Tuhan pada hari Senin, 17 Mei 2010, pukul 00.01, begitu dokter mencatat pada laporan kematian. Hari Senin pula, 22 Maret 1998, dini hari pada pukul 04.50 Bapak menghembuskan nafas terakhir. Sebelumnya Bapak mengatakan, “Yo nang greja, sowan Gusti.” Kami memaknai kematian sebagai peristiwa iman, saat seseorang masuk dalam keabadian, dan mulai hidup baru untuk memuji Allah bersama para kudus di surga.

Kematian sebagai peristiwa iman menyatakan pula bahwa Allah adalah Dia yang bersama dengan manusia. Ia adalah Yang Ada untuk kita, namanya Immanuel. Dan bahkan Ia tetap bersama dengan kita pada saat kita ditinggalkan. Kami ditinggalkan Ibu karena dipanggil Tuhan untuk menghadap-Nya, namun Ia tidak ingin kami kesepian sebagai peziarah kehidupan ini. Allah mengutus Anda semua menjadi teman-teman seperjalanan kami. Kehadiran Anda semua dalam berbagai macam cara, dengan hadir pada saat Ibu “ginanjar sakit”, selama perkabungan pada Misa Tirakatan (Senin, 17 Mei 2010), pada Misa Requiem dan pemakaman (Selasa, 18 Mei 2010) merupakan tanda kepeduliaan Allah kepada kami semua. Juga kehadiran Anda melalui rangkaian bunga yang memenuhi jalan kampung kami, melalui ucapan ucapan simpati, bela sungkawa, perhatian dan doa yang Anda sampaikan dengan banyak cara merupakan tanda kehadiran Allah yang selalu beserta dengan kami.

Kami keluarga besar Pudjosumarto mengucapkan terimakasih tak terhingga kepada :
- Bp. Julius Cardinal Darmaatmadja, SJ (Uskup Agung Keuskupan Agung Jakarta)
- Mgr. Ignatius Suharyo (Uskup Agung Coadiutor Keuskupan Agung Jakarta)
- Rm. Pius Riana Prabdi, Pr (Administrator Diosesan Keuskupan Agung Semarang)
-  Rm. Paulus Wirasmohadi Soerjo, Pr (Vikaris Jenderal Keuskupan Bandung)
- Rm. Ignatius Djonowasono, Pr (Vikaris Episcopalis Kevikepan Surakarta)
- Rm. FX. Gunawan Heru Susanto, MSF (Pastor Paroki Purwosari Surakarta)
- Rm. Antonius Subianto, OSC (Wakil Provinsial OSC)
- Rm. Albertus Sadhyoko Raharjo, SJ
- para rama yang mempersembahkan Misa Requiem

Terimakasih kami tujukan juga kepada para dokter, suster, perawat RSU Brayat Minulya, dan Anda semua yang dengan bebagai cara mengantar Ibu untuk menghadap Tuhan, untuk “sowan Gusti”, dan mengantar kami ke tempat yang dalam untuk memaknai kematian.

Salam, doa ‘n Berkat Tuhan

+ Johannes Pujasumarta
Uskup Keuskupan Bandung

One Comment

  1. nderek bela sungkawa ingkang lebet….. nderek remen pun gesang kalih Gusti ingkang langgeng…

Leave a Reply

Required fields are marked *.