“Terbukalah telinga orang itu dan seketika itu terlepas pulalah pengikat lidahnya”
GusDur memang seorang kiai yang luar biasa, cerdas tapi juga rendah hati. Tidak mudah bagi seorang besar dan visioner sekelas GusDur bisa mentertawakan dirinya didepan publik. Ketika beliau salah ucap di depan DPR dengan mengatakan “tentang pembubaran DPR … eh, Deppen dan Depsos…” dengan entengnya Gus Dur menertawakan dirinya sendiri sebagai penutup kesalahan ucap itu. “Yah, beginilah kalau presidennya batuk dan Wapresnya flu!” Demikian juga di salah satu forum internasional yang dihadiri banyak petinggi dari berbagai negara di Bali dengan entengnya, Gus Dur mengejek dirinya sendiri dengan bahasa Inggris yang sangat baik bagaimana keadaan Indonesia, sebuah negara yang presidennya buta dan Wapresnya bisu.
Renungan hari ini sebenarnya juga ditujukan pada kita sendiri, sejauh mana kah kita berani menelanjangi diri sendiri. Sejauh mana kah kita bisa melihat kasih dan karya Tuhan dalam diri kita. Jangan-jangan kita justru ‘buta’ dan tidak melihat banyaknya kesempatan yang ditawarkan Tuhan agar kehidupan kita menjadi lebih baik – menjadi baik dihadapanNya. Kita buta dan tidak melihat banyaknya orang-orang yang dengan tulus bermaksud menolong kita, tapi kita menanggapinya dengan negatif dan menolak mereka, hanya karena mereka tidak ‘selevel’ dengan kita.
Atau kalaupun kita tidak buta, kita melihat bagaimana Tuhan sudah berkarya dan melimpahi kita dengan kasihNya, tapi kita masih seperti orang tuli – tidak bisa mendengar kesedihan dan kesulitan orang lain, tidak tergerak untuk menolong sesama kita. Atau juga menjadi bisu, tidak berani bersuara melawan ketidak adilan, mengemukakan kebenaran ditengah praktek yang semu yang melanggar rasa keadilan. Banyak kesempatan kita lebih memilih diam seribu basa, memilih posisi yang tenang, tidak usah rusuh – bengok-bengok, biar damai semua tenang. Kita memilih tinggal dalam zona nyaman. Inilah bahayanya.
Berada dalam zona nyaman akan mem buat kita buta, tidak mau melihat kebenaran, dan menutup telinga pada jeritan kesakitan serta penderitaan orang lain, dan akhirnya lebih baik tutup mulut dan membisu – berharap orang lain saja yang bertindak.
Nah, kalau sampai Tuhan Yesus dalam perikop ini mengambil cara yang nyeleneh, meludah ke tanah dan memungutnya untuk ‘menyembuhkan’ si bisu-tuli ini, mungkin suatu saat nanti kita juga juga mengalami hal serupa. Sendiri dan terpojok dalam situasi dimana kita harus menelanjangi diri dihadapan Tuhan, mengakui bahwa kita memang tuli dan bisu dan ingin disembuhkan Tuhan sendiri. Hanya Dia yang dapat mengijinkan terbukanya sumbatan telinga dan kekangan lidah bibir kita, dan itu dilakukanNya secara pribadi. Artinya Tuhan Yesus ingin kita juga datang dengan kerendahan hati untuk berani mengakui bahwa kitapun ingin disembuhkan dari kebisuan dan ketulian kita. Sehingga selanjutnya kita bisa meneruskan karya pewartaanNya dengan lebih peka mendengarkan pesan Tuhan lewat suara dan jeritan penderitaan orang-orang disekitar kita serta berani berteriak membawa suara kenabian, tidak berdiam diri menutup mulut serta berani memberitakan Kabar Baik kemanapun kita diutus.
===============================================================================================
Bacaan Injil Mrk 7:31-37
“Kemudian Yesus meninggalkan pula daerah Tirus dan dengan melalui Sidon pergi ke danau Galilea, di tengah-tengah daerah Dekapolis. Di situ orang membawa kepada-Nya seorang yang tuli dan yang gagap dan memohon kepada-Nya, supaya Ia meletakkan tangan-Nya atas orang itu. Dan sesudah Yesus memisahkan dia dari orang banyak, sehingga mereka sendirian, Ia memasukkan jari-Nya ke telinga orang itu, lalu Ia meludah dan meraba lidah orang itu. Kemudian sambil menengadah ke langit Yesus menarik nafas dan berkata kepadanya: “Efata!”, artinya: Terbukalah! Maka terbukalah telinga orang itu dan seketika itu terlepas pulalah pengikat lidahnya, lalu ia berkata-kata dengan baik. Yesus berpesan kepada orang-orang yang ada di situ supaya jangan menceriterakannya kepada siapa pun juga. Tetapi makin dilarang-Nya mereka, makin luas mereka memberitakannya. Mereka takjub dan tercengang dan berkata: “Ia menjadikan segala-galanya baik, yang tuli dijadikan-Nya mendengar, yang bisu dijadikan-Nya berkata-kata”