Fiat Voluntas Tua

Ware Werin (Mans Werang, CM)

| 0 comments

Kendati hujan turun begitu lebat, lelah dan capek setelah perayaan natal di paroki serta beberapa stasi, saya tetap mengadakan kunjungan ke Stasi Noningire dan Waiginai untuk merayakan Natal bersama umat. Saya diantar oleh Sr. Jean Adeline, Dw dan Sr. Imelda, Dw. Tatkala tiba di Rumingnai, hujan masih juga turun dengan lebatnya. “ it is hard time for me”, kata saya kepada Sr. Jean Adeline, Dw, melihat cuaca buruk dan tidak bersahabat dengan saya. Dibantu oleh Skipper, kami mulai menurunkan barang-barang dan bensin untuk motor ke tepi sungai.

Tidak ada penumpang, hanya saya seorang diri saja ditemani oleh skipper menuju Noningire dan Waiginai. Selama tiga jam perjalanan dengan perahu di atas sungai, hujan masih juga turun dengan lebatnya, membuat barang-barang, makanan dan tubuh saya semuanya basah. Saya sudah mencoba membungkus barang-barang dengan terpal, dan payung, namun masih juga basah. Saya merasa sangat kedinginan. Ketika saya tiba di stasi Noningire, beberapa anak-anak dan orang-orang tua  sudah menyambut kedatangan saya. Melihat saya datang sendirian, mereka merasa kasihan. Segera mereka mengantarkan saya ke rumah pemimpin umat yang tidak jauh dari tepi sungai.  Beberapa umat khususnya yang tua-tua berbondong-bondong datang menyalami saya, mengucapkan selamat natal. Beberapa kali mereka mengatakan kepadaku “anewe, ware werin, Father”. Saya beristirahat sebentar, sambil menikmati dua buah pisang yang dimasakan oleh istri Steven, pemimpin umat di kampung Noningire. Setelah itu saya melanjutkan perjalanan kaki lagi selama satu jam menuju kampung Waiginai yang ditemani oleh Pablo dan dua anak kecil. Tidak ada hujan lagi, namun ketika tiba di kampung Waiginai, saya membuka rangsel dan matras tempat tidur saya, ternyata semuanya basah. Segera saya mengeringkan barang-barang saya dan  masuk ke rumah Joe, pemimpin umat kampung Waiginai. Saya memilih membaringkan diri  dalam keadaan pakaian yang masih basah. Beberapa orang-orang tua datang sambil menyalami saya, mereka berkata  “anawe, Father, ware werin”. Kata-kata yang sama saya dengar dari mereka, tetapi kesederhanan kata-kata ini  memberi makna yang mendalam bagi saya ketika merayakan perayaan Natal bersama mereka, 28th-30th of December 2009. Hati saya menjadi sangat gembira, meskipun rasa lelah, capek dan kedinginan karena hujan.

Jangan takut

Sambutan sederhana dengan kata-kata “ware werin” artinya jangan takut mengingatkan saya akan kisah para gembala di Betlehem. Tatkala para malaikat penyampaikan kabar gembira  tentang kelahiran Yesus kepada mereka. Ungkapan yang hampir sama, “jangan takut, hari ini di kota Daud telah lahir juru selamat membuat hati mereka diliputi sukacita dan gembira”. Para gembala adalah kelompok yang terpingirkan dalam masyarakat. Mereka hanya tahu dan mengerti bagaimana mengurus dan membawa kawanan domba saja, tetapi justru warta gembira pertama-tama tentang kelahiran Tuhan Yesus mereka dengar. Mendengar kabar dari malaikat Tuhan, para gembala bergegas ke Betlehem, dan mereka menemukan seorang bayi mungil di palungan. Setelah itu mereka pulang ke tempat mereka masing-masing dengan hati yang diliputi dengan kegembiran dan sukacita.

Pengalaman para gembala mengingatkan saya akan pengalaman selama merayakan Natal di kampung Waiginai dan Noningire. Selama perayaan ekaristi umat mengungkapkan kegembiraannya. Lagu tentang “Christmas time is here again, alleluia”, dinyanyikan secara bersama-sama dengan gembira. Kadang mereka menepuk tangan sambil tersenyum menyanyikan lagu ini. Mereka seperti para gembala yang menerima kabar sukacita tentang kelahiran Tuhan Yesus di dalam hati, rumah dan komunitas mereka. Mereka adalah umat-umat yang sederhana yang tinggal di hutan. Mereka hidup sangat sederhana, tetapi gema Natal tentang kelahiran Juru selamat menyentuh kedalaman hati mereka.

Kesaksian hidup

Steven Kusu, prayer leader dari kampung Noningire berkata kepadaku, gema natal harus membuat kita berani memberitakan tentang kelahiran Yesus kepada orang lain. Kelahiran Yesus seharusnya mengubah hidup kita dari beriman kepadaNya menuju bentuk kesaksian hidup nyata di dalam hidup berkomunitas. Kesaksian hidupnya ditunjukan dalam mendidik dan membesarkan anak-anaknya. Kelima anaknya adalah anak-anak yang sangat baik, patuh dan setia kepadanya. Seorang pendeta bertanya kepadanya “apa rahasia membuat anak-anakmu begitu setia kepadamu dibandingkan dengan anak-anak saya”? Steven Kusu berkata kepadanya, “jangan takut memberikan kesaksian dan teladan hidup yang baik sebagai orang tua kepada anak-anak kita, hadirlah bersama mereka dan libatkan mereka dalam kegiatan mengereja”. Katanya lebih lanjut kepadanya. Bila anak kita dididik dengan cinta, maka mereka pun akan berani mencintai, bila kita menunjukkan teladan kepada mereka, mereka akan patuh dan setia  kepada kita. Pengalaman mencintai ini harus menjadi darah daging dalam hidup mereka, sehingga dimanapun mereka berada mereka mampu mengaktualisasikan hidup mereka kepada orang lain.

Setelah perayaan ekaristi, saya kembali ke paroki St. John Parish, Matkomnai. Tatkala saya meninggalkan kampung mereka, anak-anak dan orang-orang tua mengantarkan saya di tepi sungai. Kata-kata perpisahan masih terdengar dari mulut mereka. Di tepi sungai mereka melambaikan tangan kepada saya sambil berkata, “ware werin” Father”. Mungkin mereka sedang mengajarkan saya tentang warta gembira ini juga harus menjadi milik saya. Meskipun saya pulang hanya seorang diri saja, tetapi gema, “ware werin”, artinya jangan takut masih terekam kuat di dalam hati saya. Kadang hidup ini begitu berat untuk dijalani ketika menghadapi sesuatu yang ada di depan, dan kadang pula ada rasa takut bila menghadapi segala tantangan dan kesulitan dalam hidup ini. Namun, perayaan Natal di kampung Noningire dan Waiginai membawa makna baru yang telah dialami dan diajarkan oleh mereka supaya jangan takut, karena hari ini telah lahir seorang juru selamat bagi kita di kota Daud. Dan ini yang dimaksudkan adalah telah lahir Yesus dihati kita, di rumah dan di komunitas kita. Ketika mesin motor mulai bunyi, saya ingat doa sederhana yang pernah dibawakan oleh seorang sahabat yakni meminta “the grace from God to accept the things I can not change, the courage to change the things I can, and the wisdom to know the difference”. Gema doa ini mendorong saya untuk menyambut Dia dengan hati yang gembira, dan tidak takut, karena DIa yang datang adalah Imanuel yang artinya Allah beserta kita. Disinilah iman kepada Tuhan dituntut, karena imanlah yang membuat semuanya menjadi berbeda.

Leave a Reply

Required fields are marked *.