“Ia tidak pernah meninggalkan Bait Allah dan siang malam beribadah dengan berpuasa dan berdoa”
Menunggu adalah pekerjaan yang paling membosankan, paling dihindari semua orang. Mungkin sekarang tidak begitu menyiksa karena ditemani teman kecil si HP or BB tersayang yang bisa membuat kita tersenyum ketawa sendiri tanpa menyadari sekeliling kita. Menunggu adalah pekerjaan sulit yang menuntut kesabaran dan kesetiaan. Orang Indonesia termasuk sulit belajar sabar, apalagi kalau disuruh menunggu. Coba kita lihat berapa lama kita belajar budaya antri? Rasanya sudah lebih dari 10 tahun lalu kita lihat iklan “bebek aja antri”. Mungkin hanya di kota besar dan ditempat publik orang ‘terpaksa’ antri dengan dibatasi tali or tiang. Begitu busway beroperasi di jam sibuk kita bisa lihat bagaimana budaya antri jarang terlihat. Untuk para profesional, terlambat hadir dianggap tanda kurang profesional karena kita tidak menghargai orang lain yang hadir tepat waktu. Seluruh peserta rapat bisa melotot kalau kita datang terlambat tanpa meminta maaf. Biasanya memang lebih enak menjadi yang ditunggu dari pada yang menunggu kan? Paling-paling diomelin.
Injil hari ini mengajak kita belajar akan dua hal, pertama apa yang menjadi pengharapan dan tujuan hidup kita sehingga kita mau berlama-lama menunggu dan melakukan sesuatu untuk mencapai tujuan hidup. Kedua, apa yang kita lakukan sementara tujuan hidup atau pengharapan itu belum menjadi kenyataan. Hana sebagai seorang nabiah memiliki tujuan yang jelas. Ia menantikan perjumpaan dengan “sang Juru Selamat” yang dinubuatkan dalam kitab Taurat. Ia yakin sekali bahwa iapun tidak akan mati sebelum bertemu sang Juru Selamat Israel. Padahal bagi seorang perempuan, apalagi janda yang nampaknya juga tidak punya anak, hidupnya sudah pasti sengsara ditengah masyarakat Yahudi. Tidak ada suami, tidak ada anak yang memeliharanya dihari tua. Tapi ia memiliki satu pengharapan, ia tidak hidup dari pengasihan orang lain, ia hidup bertahan dari hari kehari karena pengharapannya akan Yahwe. Tidak ada yang bisa dilakukannya sebagai janda kecuali berdoa siang dan malam. Kalau hari ini belum berjumpa, besok saya akan kembali lagi. Siapa tahu besok adalah saatnya perjumpaan itu. And it happen for ages… sampai usianya 84 th ! Waduh kesabaran tingkat apa yang dimiliki Hana untuk bertahan dari hari ke hari, minggu ke minggu, bulan ke bulan sampai puluhan tahun? Tapi rupanya penantian dan pengharapannya tidak sia-sia. Satu hari yang sangat berharga itupun datang. Dan seluruh hidupnya 84 tahun cukup untuk membayar kebahagiaannya. Dihari tuanya ia bersaksi kepada semua orang bahwa Sang Juru Selamat sudah datang. Iapun siap untuk mati karena ia sudah mencapai pada tujuan hidupnya.
Menjelang akhir tahun 2009, inilah saatnya kita merenungkan apa yang sudah kita lakukan selama setahun ini. Apakah kita mendekat pada tujuan hidup kita untuk berjumpa dengan Tuhan ? Menyimpang jauh atau malah sebenarnya tidak bergerak kemana-mana karena kita pun juga tidak tahu tujuan hidup kita. Apa yang kita ingin capai dalam hidup ini? Adakah yang membuat kita memiliki passion untuk bertahan dari hari ke hari, minggu ke minggu bahkan puluhan tahun? Adakah pengharapan yang kita miliki seperti Hana, yang berani berdoa kalau Tuhan belum menjawab kerinduanku berjumpa Sang Juru Selamat, mungkin besok Ia akan datang.
Atau kita termasuk orang yang melewati hari dengan kesibukan dan rutinitas… dan tahu-tahu lho kok hari sudah gelap? Akhirnya kita kehilangan kesempatan, kehilangan waktu berharga, kehilangan pengharapan dan hidup mengalir begitu saja. Business as ussual ? Tidak, didalam Tuhan ada pengharapan, ada passion ada semangat untuk menjadi lebih baik hari demi hari. Kalau hari ini belum berhasil, siapa tahu Tuhan memberikan kesempatan hari esok. Then our business is not ussual. Its unussual business with God. Dunia menjadi berbeda bila kita memiliki pengharapan dan meletakkannya pada tangan Tuhan.
Kata siapa Tuhan tidak memahami business kita? Kata siapa Tuhan tidak memahami pekerjaan dan industri tempat kita hidup? Kata siapa Tuhan tidak mengenal anggota keluarga kita? Well.. tidak ada yang terlalu besar untuk Tuhan, juga tidak ada yang terlalu kecil untuk Dia. Yang penting dimanakah kita menempatkan Tuhan, Sang Juru Selamat, dalam kehidupan kita. Hanya hari Minggu kah? Hanya di gedung Gereja atau pertemuan lingkungan? Atau hanya di kegiatan bakti sosial dan kunjungan hura-hura sesaat ke panti jompo? Jangan-jangan kita termasuk orang yang ga sabaran menunggu jawaban doa. Maunya ‘begini’ dan maunya sekarang. Kalau gak…. besoknya malas ke Gereja, ngambek sama Tuhan. Hadoooh…
Percayalah bahwa Tuhan sama rindunya, bahkan lebih rindu untuk menjadi bagian dalam hidup kita…..selamanya. Bersyukurlah karena kita tidak perlu mengalami kehidupan seperti Hana, yang masih harus menunggu puluhan tahun dalam diam dan doa serta tinggal di Bait Allah sepanjang hari hanya untuk menyambut kedatangan Sang Juru Selamat. Kita hidup dalam Perjanjian Baru dimana kita bisa kapan saja bertemu Tuhan dalam Sakramen Ekaristi pun dalam doa. Hanya bedanya, Tuhan lebih banyak menunggu kapan Ia boleh datang karena kita mungkin lebih sibuk dengan HP dan BB. Kita mungkin belum cukup meluangkan waktu seperti Hana untuk berdiam diri dan berdoa serta menikmati perjumpaan denganNya dalam diam. Semoga saya salah. Tapi kalau sudah berdiam diri dan menikmati persekutuan yang indah bersama Tuhan, rasanya siap mati saat itu juga deh. Sukacita inipun selayaknya dibagikan ke semua orang disekeliling kita. Semoga pengharapan Tuhan untuk berjumpa dengan kita tidak sia-sia sehingga tidak perlu menunggu tahun depan lagi.
===============================================================================================
Bacaan Injil Lukas 2:3640
“Lagipula di situ ada Hana, seorang nabi perempuan, anak Fanuel dari suku Asyer. Ia sudah sangat lanjut umurnya. Sesudah kawin ia hidup tujuh tahun lamanya bersama suaminya, dan sekarang ia janda dan berumur delapan puluh empat tahun. Ia tidak pernah meninggalkan Bait Allah dan siang malam beribadah dengan berpuasa dan berdoa. Dan pada ketika itu juga datanglah ia ke situ dan mengucap syukur kepada Allah dan berbicara tentang Anak itu kepada semua orang yang menantikan kelepasan untuk Yerusalem. Dan setelah selesai semua yang harus dilakukan menurut hukum Tuhan, kembalilah mereka ke kota kediamannya, yaitu kota Nazaret di Galilea. Anak itu bertambah besar dan menjadi kuat, penuh hikmat, dan kasih karunia Allah ada pada-Nya”