“Barangsiapa menyambut anak ini dalam namaKu, ia menyambut Aku”
Ketika si bungsu masih balita, setiap kali saya mengajak ke mall, ke pesta perkawinan dan ke gereja sekalipun, ia tidak pernah punya pikiran ‘macem-macem’. Polos sepolos-polosnya. Cuek secuek-cueknya. Gak takut juga gak minder. Gak perduli dia dihargai atau tidak, dengan Pe-De nya dia ikut masuk ruangan. Begitu saya lepaskan gandengan tangan ia siap dengan pertanyaan “bunda, aku boleh lihat-lihat? jalan-jalan? Janji deh satu putaran, kembali lagi ke bunda” . Ia bisa muter-muter sendiri tanpa takut terpisah karena yakin bahwa ia akan menemukan bundanya kembali. Walhasil saya terpaksa menunggu pada posisi yang sama sampai ia kembali lagi. Saat ia menghilang dari pandangan, ada rasa was-was, tapi itulah resiko yang saya hadapi untuk belajar mempercayai anak. Percaya bahwa ia pasti bisa menemukan saya kembali.
Pernah satu kali ia menghilang dan tidak kembali disebuah hypermarket. Kok lama sekali? wah langsung instink saya bergerak. Pasti ia lupa tempat saya berdiri karena lorongnya hampir sama. Benar dugaan saya, sesaat kemudian ada pengumuman anak yang terpisah dari ibunya, hhm… bukan ibunya yang menghilang kan? Dari jauh saya melihat ia berbincang-bincang dengan seorang SatPam, terlihat cemas dan matanya mulai berair. Tapi begitu melihat saya, langsung dia berlari memelukku. “Bunda, maaf ya, aku lupa jalannya.” Setelah saya berbincang dengan petugas, ternyata ia sudah mencatat lengkap data alamat dan telpon kami dari si kecil, Memang kami mengajarkan anak-anak menghafal nama lengkap orang tua, alamat dan telpon begitu bisa menghitung. Well, gak ada salahnya berjaga-jaga kan?
Anak kecil begitu polos tanpa prasangka sementara sebagian orang tua begitu protektif dan penuh kecemasan sehingga anaknya justru tidak belajar untuk menjadi mandiri karena berbagai aturan yang dibuat orang tua. Kepolosan yang sama saya hadapi setiap saat menghadapi anak-anak yang dibawa orang tuanya maju menerima komuni. Ada yang tahu bahwa mereka hanya menerima sentuhan lembut, ada juga yang memaksa minta hosti dari mamanya. Saya menyentuh mereka dengan membisikkan: Tuhan Yesus ada bersamamu Nak.
Marilah kita belajar dari anak-anak, percaya bahwa semua pasti beres bila bersama orangtuanya. Mereka percaya pada kita, walau mungkin kehidupan diluar sana sedang sulit, bisnis lagi susah. Mereka tidak ragu dengan kita, orang tuanya. Mereka tidak perduli apakah orangtuanya mendapat posisi baik atau tidak, di promosi atau tidak, yang penting mereka tahu bahwa mereka dicintai. Maka berilah kesempatan juga dengan menunjukkan bahwa kita mempercayai mereka, mengasihi mereka dengan memberikan kebebasan. Tentunya sesuai dengan umur anak-anak. Hanya orang dewasa yang memiliki ambisi, anak-anak tidak pernah memikirkan ambisi seperti para murid yang berambisi menjadi nomor satu. Tidak salah dengan ambisi, tapi bila kita menomorsatukan Tuhan, kita datang kepada Yesus seperti anak-anak yang hanya ingin menyenangkan orang tuanya. Tidak ingin membuat orang tuanya sedih seperti si bungsu yang menyesal karena tersesat akibat tidak memperhatikan tanda-tanda.
===============================================================================================
Bacaan Luk 9:46-50
“Maka timbullah pertengkaran di antara murid-murid Yesus tentang siapakah yang terbesar di antara mereka. Tetapi Yesus mengetahui pikiran mereka. Karena itu Ia mengambil seorang anak kecil dan menempatkannya di samping-Nya, dan berkata kepada mereka: “Barangsiapa menyambut anak ini dalam nama-Ku, ia menyambut Aku; dan barangsiapa menyambut Aku, ia menyambut Dia, yang mengutus Aku. Karena yang terkecil di antara kamu sekalian, dialah yang terbesar.” Yohanes berkata: “Guru, kami lihat seorang mengusir setan demi nama-Mu, lalu kami cegah orang itu, karena ia bukan pengikut kita.”Yesus berkata kepadanya: “Jangan kamu cegah, sebab barangsiapa tidak melawan kamu, ia ada di pihak kamu.”