“Kamu sama seperti kuburan yang dilabur putih”
Saat kita menjelang tidur, saat rasa mengantuk luar biasa menyerang, sebenarnya kita dihadapkan pada satu keadaan antara hidup dan mati. Beberapa orang yang pernah merasakan pingsan dan menjelang koma, mengatakan bahwa rasanya seperti mengantuk yang luar biasa dan tidak tertahankan lagi. Saya pernah mengalaminya juga saat terjadi pendarahan diwaktu kelahiran anak kedua. Pipi saya ditepuk-tepuk perawat : bu bangun dong, jangan tidur, dilawan ngantuknya. Anak ibu lebih membutuhkan ibu ! Kata-kata perawat itu seperti petir yang ‘membangunkan’ saya dari rasa kantuk. Seorang romo yang memiliki masalahdi saluran tenggorokannya mengatakan hal serupa, saat menjelang tidur adalah saat yang bisa menyiksa. Ia bisa sesak nafas tiba-tiba dan sewaktu-waktu bisa meninggal. Maka saat menjelang tidur ia tidak yakin apakah bisa bangun lagi.
Sebagian kita menganggap tidur sebagai bagian ritme ritual kehidupan. Padahal bagi sementara orang saat menjelang tidur adalah keadaan antara hidup dan mati, yang membuat mereka menyadari belum tentu mereka mendapatkan kesempatan kedua. Sekali kita sudah mati, maka jazad kita akan menjadi dingin dan kaku, menjadi tulang belulang dibalik kuburan makam yang indah. Lalu kemanakah roh yang menghangatkan dunia disekitar kita, kemanakah roh yang memberikan cinta bagi orang-orang disekelilingnya? Dimanakah roh yang membuat seseorang dicari, dirindukan, yang menceriakan, yang membuat orang-orang disekelilingnya merasa kehilangan?
Injil hari ini menempelak saya yang terkadang karena kesibukan beruntun menganggap hidup hari ini seperti mesin yang harus digenjot sampai outputnya maksimal. We just take it for granted, habis dan gunakan sesuka kita karena besok masih ada lagi. Sehingga sehari yang cuma berisi 24 jam rasanya ingin diperpanjang karena yang ini belum dilakukan, yang lain belum selesai. Apa bedanya saya dengan orang Farisi yang hanya memikirkan tampak luar sementara didalamnya isi tulang-tulang busuk yang bau? Hanya mengutamakan apa yang tampak dan dilihat orang lain, agar kelihatan tampak ‘baik’ dan ‘indah’ seperti kuburan berlabur putih. Bukankah yang ‘didalam’ yang memberikan hidup dan bahkan menjadikan dunia menjadi tampak ‘hidup’ karena cinta harus terus dipelihara dan dipercantik senantiasa.
Hubungan kita dengan Tuhan haruslah dipelihara dan dipercantik senantiasa, jangan sampai menjadi dingin dan akhirnya menjadi bau karena busuk. Karena justru kasihNyalah yang menghidupkan tubuh ini, cintaNyalah yang membuat kita mampu bertahan dan mencintai orang lain. Sehingga apa yang kita lakukan akhirnya berjalan seperti robot karena tidak dijiwai dengan semangat yang menghidupkan, dengan semangat cinta yang memberikan harumnya kehidupan. Relasi yang dipelihara dengan Sang Khalik, membuat hidup ini senantiasa penuh rasa syukur apapun situasinya sehingga kita tidak pernah merasa ‘kekeringan’ dan ‘kelelahan’ menapaki hidup. Maka dengan demikian kita akan selalu siap menghadapi hari yang baru sebagai kesempatan kedua untuk menyatakan cinta kepada orang-orang yang mengelilingi kita, untuk menyapa mereka yang tersisihkan, memberikan perhatian yang beduka. Intinya kalau kita bisa bangun pagi hari ini, inilah kesempatan kedua untuk memperbaiki hari kemarin. Selamat pagi, selamat menikmati hari akhir dalam kehidupan kita. Do your best and let God do the rest !
==============================================================================================
Bacaan Mat 23:27-32
“Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab kamu sama seperti kuburan yang dilabur putih, yang sebelah luarnya memang bersih tampaknya, tetapi yang sebelah dalamnya penuh tulang belulang dan pelbagai jenis kotoran.Demikian jugalah kamu, di sebelah luar kamu tampaknya benar di mata orang, tetapi di sebelah dalam kamu penuh kemunafikan dan kedurjanaan. Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab kamu membangun makam nabi-nabi dan memperindah tugu orang-orang saleh dan berkata: Jika kami hidup di zaman nenek moyang kita, tentulah kami tidak ikut dengan mereka dalam pembunuhan nabi-nabi itu. Tetapi dengan demikian kamu bersaksi terhadap diri kamu sendiri, bahwa kamu adalah keturunan pembunuh nabi-nabi itu. Jadi, penuhilah juga takaran nenek moyangmu”
August 26, 2009 at 7:45 am
Saya pernah di-bius sewaktu amandel saya mesti diangkat. Cukup lama juga saya tidak sadarkan diri, sampai pipi saya ditepuk oleh dokter dan terbangun. Saya sering bertanya, bahkan lama sesudah operasi itu, ke mana ya saya waktu itu? Tubuh saya tergolek di ranjang operasi, tapi jiwa saya tak sedikitpun tahu apa yang terjadi seperti kisah di film-film, sukma menatap tubuh yang dikerubuti pelayat. Kesadaran di-nol-kan, tapi jiwa, di manakah dia saat itu? Apakah di situ letak perbedaan antara Yesus dan kita? Sebelum inkarnasi, pribadi Sang Sabda sudah ada di keabadian. Sementara kita belum ada ketika tubuh dan jiwa itu dipersatukan. Rumit juga ya misteri di balik batu nisan yang cantik!
August 26, 2009 at 7:53 am
Sebelum tidur, orang Islam berdoa:
“Bismika Allahumma ahya wa bismika amuut”
Dengan nama Allah yang menghidupkan dan mematikan…..