“Betapa lambannya hatimu sehingga kamu tidak percaya segala sesuatu”
Saya pernah mengalami peristiwa yang sungguh memalukan, dimana saat itu merasa sebagai seorang senior, maka harus paling tahu segalanya, bahkan merasa paling hebat diantara orang-orang yang hadir tersebut.
Ketika itu kami sedang mempersiapkan diri untuk pergi kesebuah desa, dan saya hanya tahu desa tersebut dari cerita orang dan membaca buku, maka dengan gaya yang sok tahu itu, mulailah menjelaskan situasi, kondisi dan lokasi desa tersebut. Tanpa disadari, didalam kelompok tersebut ada seorang muda yang ternyata putra kepala desa yang hendak kami tuju, tetapi dia diam dan memperhatikan dengan seksama penjelasan saya hingga selesai.
Kemudian dia angkat bicara, menjelaskan lebih detail lagi sambil mengoreksi dengan halus tanpa mempermalukan dan hal ini tidak diketahui teman-teman lain, namun ketika itu saya sungguh malu sekali dan menyadari bahwa senioritas tidak berarti adalah orang yang serba tahu, sering kali senioritas menjadikan kita sombong, dan ternyata sombong ini adalah sifat orang yang bodoh dan lamban hati untuk peduli terhadap sesama.
Seperti saat ini, demikian banyak teman-teman yang menjadi caleg, begitu sok tahunya tentang politik, begitu pongahnya lagak dan lagu mereka, begitu berkobar-kobar semangatnya untuk menang dan yakin sekali untuk mendapatkan kursi sehingga rela menghabiskan hartanya, bahkan berhutang dan berjanji manis. Ketika diingatkan bahwa kecil kemungkinan untuk menang dan lebih baik mengalah atau mendukung caleg lain yang punya kemungkinan menang lebih besar, maka yang terjadi adalah teriakan protes dan kemarahan karena merasa dilecehkan.
Tetapi sekarang fakta bicara, tiada satupun suara yang didapatkan, pun masih saja tidak mau terima kenyataan, bahkan menuding Gereja berpihak pada yang lain dan tidak mau mendukung mereka yang punya visi memperjuangkan umat Kristiani, apakah seperti ini contoh orang-orang yang mengaku pengikut Kristus?
Kita semua ini, seperti para murid yang sedang dalam perjalanan menuju emaus, Tuhan selalu hadir diantara kita dalam berbagai dimensi, mengingatkan dikala lupa, mengangkat kita dikala jatuh, menggendong kita dikala letih, meringankan kita dikala berbeban berat, menghibur kita dikala sedih dan duka, tetapi saat kita senang kita melupakanNya. Padahal hampir setiap minggu kita melihat Tuhan memecah-mecahkan roti, memberkatinya menjadi tubuhNya dan dibagikan kepada kita, maka sudah saatnya untuk berhenti menjadi orang yang bodoh dan lamban hati. [Samsi Darmawan]
==================================================================
Bacaan Luk 24:13-35
“Lalu Ia berkata kepada mereka: “Hai kamu orang bodoh, betapa lambannya hatimu, sehingga kamu tidak percaya segala sesuatu, yang telah dikatakan para nabi! Bukankah Mesias harus menderita semuanya itu untuk masuk ke dalam kemuliaan-Nya? ” Lalu Ia menjelaskan kepada mereka apa yang tertulis tentang Dia dalam seluruh Kitab Suci, mulai dari kitab-kitab Musa dan segala kitab nabi-nabi. Mereka mendekati kampung yang mereka tuju, lalu Ia berbuat seolah-olah hendak meneruskan perjalanan-Nya. Tetapi mereka sangat mendesak-Nya, katanya: “Tinggallah bersama-sama dengan kami, sebab hari telah menjelang malam dan matahari hampir terbenam.” Lalu masuklah Ia untuk tinggal bersama-sama dengan mereka. Waktu Ia duduk makan dengan mereka, Ia mengambil roti, mengucap berkat, lalu memecah-mecahkannya dan memberikannya kepada mereka. Ketika itu terbukalah mata mereka dan mereka pun mengenal Dia, tetapi Ia lenyap dari tengah-tengah mereka. Kata mereka seorang kepada yang lain: “Bukankah hati kita berkobar-kobar, ketika Ia berbicara dengan kita di tengah jalan dan ketika Ia menerangkan Kitab Suci kepada kita?” Lalu bangunlah mereka dan terus kembali ke Yerusalem. Di situ mereka mendapati kesebelas murid itu. Mereka sedang berkumpul bersama-sama dengan teman-teman mereka. Kata mereka itu: “Sesungguhnya Tuhan telah bangkit dan telah menampakkan diri kepada Simon.” Lalu kedua orang itu pun menceriterakan apa yang terjadi di tengah jalan dan bagaimana mereka mengenal Dia pada waktu Ia memecah-mecahkan roti.”