Tetapi dengan keras Yesus melarang mereka memberitahukan siapa Dia.
Mengajarkan anak untuk memiliki PD, rasa percaya diri ternyata gampang-gampang susah. Maklum diantara kita siapa sih punya pengalaman menjadi orang tua? Lha kita sendiri gak PD juga menjadi orang tua, apalagi kalau semakin sering para orang tua kita mengingatkan kita dengan jaman mereka. “Duluuuu… waktu ayah masih seumur kamu, waktu kami punya anak balita dsb dsb”. Tapi disisi lain kita juga kadang begitu percaya bahwa cara kita mendidik anak adalah yang terbaik; we know our family better than anyone, aren’t we? Sangat relatif ukurannya, berbeda antara pengalaman satu orang dengan orang lainnya. Sehingga kalau mendengar anak menceritakan kehebatan orang tuanya didepan temannya, kita bisa berpikir “inikah hasil didikanku? Darimana ia belajar menjadi sombong?” Atau di ekstrim lain kita dipanggil ibu guru karena anak kita terlalu diam di kelas, kurang PD.
Mengetahui kelemahan diri sendiri itu baik, dan memang dibutuhkan kerendahan hati untuk menerimanya. Memahami kekuatan pribadi juga baik karena kita tahu kapan dan bagaimana memanfaatkannya. Lalu batasnya dimana sampai kita tahu bahwa kita or anak-anak kita masuk di bawah garis ke PDan atau malah melanggar batas maximum, sampai jadi narsis ?
Yesus jelas mengutus semua murid dan pengikutNya untuk memberitakan Kerajaan Surga sampai keujung dunia, sampai akhir zaman. Tetapi mengapa didalam perikop ini Yesus melarang memberitakan siapa Dia? Bukankah ini bertentangan dengan perintahNya dalam Amanat Agung? Saya melihatnya justru pada momen inilah Yesus mengingatkan bahayanya sering-sering disebut dan dikenal banyak orang. Keinginan untuk menjadi terkenal dan dicari orang banyak bisa membuat kita terperangkap untuk cinta diri – narsis berlebihan, dan melupakan tujuan utama kita. Lupa bahwa sebagai pengikut Kristus kita memiliki tugas melaksanakan Amanat Agung, memberitakan Kabar Baik ke semua orang. Bukannya memberitakan kehebatan diri sendiri dan menikmati ketenaran dan fasilitasnya.
Maka batas antara PD dan Narsis adalah sejauh mana kita membangun relasi dengan Tuhan. Saat kita menyadari segala kelemahan dan kekurangan kita, kita percaya bahwa Allah akan melengkapi kita untuk dapat mewartakan Kabar Baik semaksimal mungkin. Demikian pula bila kita menyadari talenta dan kelebihan yang ada pada kita, marilah kita syukuri karena melalui talenta tersebut kita mampu mengambil bagian dalam memuliakan Kerajaan Surga.
Yesus mampu menjaga relasi dengan Bapa secara intensif, Ia selalu menyempatkan waktu untuk menyendiri dan berdoa. Yesus yakin sekali akan kesembuhan setiap orang yang datang padaNya, tapi tidak menjadi narsis karenanya. Ia sadar semua terjadi karena kehendak BapaNya. Maka marilah kita menjaga hubungan kita dengan Bapa seperti Yesus yang selalu meluangkan waktu bersama BapaNya, sehingga kita tidak pernah ‘minder’ ataupun malah menjadi narsis dan melupakan misi perutusan kita menjalankan Amanat Agung.
=============================================================================================
Bacaan Mrk (3:7-12)
Sekali peristiwa, Yesus menyingkir ke Danau Galilea bersama murid-murid- Nya, dan banyak orang dari Galilea mengikuti Dia. Juga dari Yudea, dari Yerusalem, dari Idumea, dari seberang Yordan, dan dari daerah Tirus serta Sidon datanglah banyak orang kepada-Nya. Sesudah mereka mendengar segala yang dilakukan-Nya. Karena orang banyak itu, Yesus menyuruh murid-murid- Nya menyediakan sebuah perahu bagi-Nya, jangan sampai Dia terhimpit oleh mereka. Sebab Yesus menyembuhkan banyak orang, sehingga semua penderita penyakit berdesak-desak ingin dijamah oleh-Nya. Bilamana roh-roh jahat melihat Yesus, mereka jatuh tersungkur di hadapan-Nya dan berteriak, “Engkaulah Anak Allah!” Tetapi dengan keras Yesus melarang mereka memberitahukan siapa Dia.