Fiat Voluntas Tua

Pastor Sinten tentang “Pendidikan Anak”

| 1 Comment

Dalam sebuah kesempatan rekoleksi untuk mempersiapkan Natal, Pastor Sinten mengajukan beberapa model pendidikan anak kepada umat yang antusias mengikutinya, termasuk Panurata, Jerawati, dan Judesanti. Pastor Sinten mengatakan begini, “Cobalah Bapak Ibu pikirkan, manakah pendidikan anak yang terbaik menurut Anda?

Model pertama, pendidikan anak dalam Keluarga Trimbil. Pasutri Trimbil selalu berusaha untuk membuat anaknya Kevin bisa mandiri. Karena itu setelah Kevin bisa berjalan dan berbicara lancar, Trimbil selalu meminta Kevin ambil minum sendiri, dan membentak-bentak, “Ambil sendiri dong, kalau minum, kan adhe Kevin punya kaki untuk berjalan, dan punya tangan untuk mengambil!” Kevin berlatih tiap hari begitu, setiap kali dia minta tolong pada papa atau maminya, “Pa, Mam…aku minta minum..haus. ..!!” Jawaban mereka selalu sama! “Papa Mama sudah bilang Kevin, jangan cengeng, jangan manja, Kevin mesti ambil sendiri, kan sudah diajari ambil air dari dispenser! Kevin punya tangan dan punya kaki kan?” Trimbilwati pun memperlakukan anaknya sama dengan Trimbil suaminya.

Lalu Pastor Sinten melanjutkan, “Model kedua, keluarga Trendi, anaknya David selalu ditawari oleh papa maminya kalau mau makan atau minum. Maminya, Keren, sering bilang begini, “David, piring dan nasimu mau diambilkan atau ambil sendiri? Lauknya…ambil sendiri? David bilang, “Mam, sekarang aku minta diambilin ya….besok aku ambil sendiri, boleh kan Mam?” Maminya menyahut, “David, sekarang Mami ambilkan, besok juga tidak dilarang David minta tolong Mami!” Trendi juga memperlakukan David sama seperti isterinya.

Model ketiga, keluarga Lindung, yang begitu “memanjakan” anaknya, Sony. Lindung sering bilang begini, “Sony, nanti tidak boleh ambil piring dan nasi sendiri ya..! Harus Papi atau Mami yang ambilkan, kalau kamu yang ambil, nanti bisa tumpah, dan lagi kamu kalau ambil nasi sering berjatuhan di mana mana, apalagi ambil sayur, kuahnya sering tumpah! Nah supaya meja tetap bersih, pokoknya Sony tidak boleh ambil sendiri ya!! “Sony diam dan tidak mampu berbuat apa-apa. Suatu saat, Sony ketahuan ambil sayur sendiri karena minta
tambah, tiba-tiba ada bentakan dari Maminya, Lingga, isteri Lindung, “Sony…Sony, tahu tidak, coba lihat, kuah sayur tercecer di mana mana. Mami itu capek sayang, bersih-bersih meja terus tiap hari! Kamu kan punya mulut, minta tolong dong, ama Mami atau Papi.”

Setelah menceritakan 3 kasus itu, Pastor Sinten mengajukan pertanyaan, manakah model pendidikan anak yang kira-kira bisa membuat anak mampu belajar ambil keputusan sendiri? Siapa yang memilih model keluarga pertama: Keluarga Trimbil? Dari 80an peserta, hampir setengahnya memilih model Trimbil. Dengan alasan, Trimbil benar, mengajarkan kemandirian kepada anak!

Siapa memilih model keluarga kedua: Trendi dan Keren? Ada sekitar 20 orang yang memilih. Alasan mereka, meskipun sederhana pilihan yang harus diputuskan, tapi Trendi dan Keren membuat anaknya mandiri, tapi juga tidak mengalami kekerasan (bentakan).

Siapa memilih model keluarga ketiga, keluarga Lindung dan Lingga? Hanya ada 10 orang.dan ternyata mereka berasal dari keluarga yang terbiasa hidup di asrama. Alasan mereka, praktis ..kalau makanan dan minuman diambilkan papa dan maminya, jadi tidak berhamburan makanan dan sayuran, dan bisa makan menurut keperluan, tidak harus stress karena banyak nasi dan sayur terbuang karena tidak termakan.

Pastor Sinten lalu mencoba menjelaskan lebih lanjut, ‘Jadi ada sekitar 10 orang tidak memilih. Meski tidak memilih…bapak ibu juga membuat sebuah keputusan: yakni tidak memilih! Okey..barangkali bingung juga he ha ha…

Begini, model kedua, Trendi dan Keren bisa menjadi model pendidikan anak yang memberi kesempatan anaknya untuk belajar membuat keputusan. Akan tetapi model itu membutuhkan kesiapan orang tua untuk “makan hati”, menanggung resiko: mau repot kalau anak minta
diambilkan, juga kalau ambil senidiri, akan ada ketidakaturan di meja makan, piring bisa juga pecah, kuah tercecer dsb.

Model pertama, ekstrim untuk membuat anak mandiri, tapi anak itu tidak mandiri, karena diperintah bahkan dibentak. Dia tidak punya inisiatif untuk ambil sendiri. Sementara anak model keluarga Trendi dan Keren memiliki kesempatan untuk berinsiatif “ambil sendiri”. Di situlah bedanya: menjadi mandiri karena perintah, dan menjadi mandiri karena hidup dalam relasi yang membebaskan. Dengan belajar membuat keputusan, anak itu akan tumbuh sebagai pribadi yang terbuka untuk proaktif dan mau inisiatif dalam berbagai hal.

Sementara model keluarga ketiga, Lindung & Lingga menutup kemungkinan anaknya untuk membuat keputusan, tapi selalu dilayani. Jangan heran dari keluarga ini ada kemungkinan tumbuh anak yang sangat tergantung dalam memenuhi kebutuhan dasarnya.

Pastor Sinten mengakhiri rekoleksi itu dengan mengutip kata-kata Maria, “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu.(Luk 1:38) Maria mampu ambil keputusan untuk menerima kabar gembira melalui Malaikat Gabriel. Keputusannya penuh resiko karena ia mengandung dari Roh Kudus sebelum menikah dengan Yusuf tunangannya. Apa kata orang? Maria tahu resikonya sebagai orang Yahudi, pasti disingkirkan. Namun, Maria tidak memutuskan untuk menolak Kabar Gembira yang mengejutkan itu melainkan menerimanya sebagai “perkataan Tuhan”. Maria menerima dalam resiko yang berat. Itulah keputusan iman, meski resikonya berat, toh Maria tetap ambil keputusan itu: dia tetap percaya untuk mulai melangkah, meski ada banyak ketidakpastian. Dalam ketidakpastian itulah, Maria terbuka kepada penyelenggaraan Ilahi. Bagaimanakah kita akan mampu membuat keputusan seperti Maria, kalau kita tidak membiasakan diri belajar ambil keputusan dalam keluarga kita sendiri. Padahal Allah saja selalu memberikan kesempatan kepada kita untuk menentukan pilihan dengan sadar dan bebas! Semoga hari hari menjelang Natal, kita mampu belajar untuk menentukan pilihan hidup karena Tuhan sudah percaya kepada kita! Tuhan yang percaya kepada kita adalah Tuhan yang menganugerahkan kebebasan! Kalau begitu, apakah kita juga bersedia untuk menciptakan kesempatan bagi suami, isteri, anak, saudara, sahabat kita agar mereka belajar menentukan jalan hidupnya sendiri?

Selamat mempersiapkan Natal!

Pastor Sinten mengakhiri rekoleksi itu dengan doa penutup. Panurata, Judesanti, Jerawati keluar dari aula Paroki Fransiskus Sukadiri dengan penuh senyum dan keceriaan. Pastilah mereka ceria bukan karena ketemu dengan Pastor Sinten yang tinggi, gemuk, berkumis tebal, tapi karena rekoleksi kali ini rasanya menggetarkan hati mereka. Komentar Panurata, “Wah, bener bener rekoleksi ini membuat aku hanya bisa tertunduk malu…ternyata cara pendidikan anakku selama ini masih jauuuuuuuh dari harapan Gereja!” Judesanti pun mengatakan yang sama, “Apalagi aku nih, sering membentak anakku, kuping apa canthelan baju lho…dipanggil 3 kali nggak denger! Gitu deh…aku ama anak-anakku! ” Tidak kalah ketinggalan Jerawati, “Jangan heran, diam diam begini, aku judes lho….wah.. .pokoknya kalau nasi sampai tercecer…tidak ragu-ragu nih…paha anakku jadi sasaran tanganku..sebel banget gitu…! Makan aja nggak bisa!” Panurata lalu mencoba menetralisir komentar antar mereka, “ya..yang penting kita sudah sadar sekarang ini…kita berubah sekaranga… iya kan?” Judesanti dan Jerawati serempak mengiyakan, “Iyeee Mas Panu…untung kita ikut rekoleksi ini ya…wah berkat Tuhan di hari Natal ini..untuk keluargaku!”

Mereka bertiga lalu berpisah di depan pintu gerbang gereja St. Fransiskus untuk pulang sendiri sendiri! Mereka pulang dengan kekayaan iman yang baru! [Blasius Slamet Lasmunadi, Pr]

One Comment

  1. Wah…Kisah yang asik Romo…bagus memang buat renungan. Pendalaman iman maupun rekoleksi jd tidak membosankan dan penjelasannya cukup sangat menarik!

Leave a Reply

Required fields are marked *.