Fiat Voluntas Tua

Kasih Ibu: KEPOMPONG AKAN JADI KUPU-KUPU (Mgr. Puja)

| 2 Comments

Tulisan Mgr Pujasumarta, Uskup Bandung,  dimuat dalam majalah UTUSAN, No. 12, Th. Ke-58, Desember 2008, hal. 30-31. Semoga menjadikan inspirasi para ibu dan perempuan untuk senantiasa mengamalkan dan menanamkan kasih kepada anak-anaknya. Juga kepada kaum bapak untuk mengasihi anak perempuannya agar menjadi ibu yang sanggup menjadi ‘sekolah cinta’ bagi anak-anaknya. (RA)

Minggu, 16 November 2008, 09.58-10.03. Lima menit saja. Kesempatan untuk menghubungi Ibu lewat telpon dari Kantor Keuskupan Bandung, Jl. Jawa 26 Bandung 40113. Lewat media komunikasi tersebut jarak Bandung – Kalitan Surakarta terjembatani. Kami bisa berdialog barang sejenak untuk memaknai kasih ibu.

“Ini siapa ya?” suara dari Kalitan terdengar untuk memastikan bahwa saya sedang menelpun. “Kabar dari Kalitan baik-baik saja!” lanjutnya. “Aku kangen”, kudengar ungkapan Ibu dengan suara sendu. Memang, beberapa hari ini Bandung kutinggalkan untuk mengikuti Sidang Tahunan Konferensi Waligereja Indonesia, 3-13 November 2008, di Jakarta, tanpa pamit lebih dahulu. “Kangenku sampai kubawa ke mimpi, lho!” katanya. “Lho, kok sampai begitu!” jawabku. “Iya, sampai tak tahan aku menahan air mataku. Namun, kepada anak dan cucu tidak kuceritakan pengalaman ini. Jangan-jangan nanti malah diledek!” cerita Ibu berbagi pengalaman tentang kasihnya kepada saya dalam bahasa ibu (mother tounge).

Kesempatan berkontak selama lima menit Minggu pagi itu (16/11/2008) menjadi pintu masuk bagi saya untuk memutar sejarah kasih ibu bagi anak-anaknya. Bagaimana ibu mengasihi anak-anaknya aku saksikan ketika ia merawat adik-adikku. Sejak dalam kandungan, anak disayanginya dengan kasih seorang ibu. Ia menjadi pendidik pertama dan utama bagi anak-anaknya dalam berdoa. Menjelang makan tanda salib dibuat untuk dirinya, dan juga untuk anak yang dikandungnya. Setiap kami sekeluarga bersama berdoa rosario, ibu biasaya memimpin berdoa. Dalam doa malam selalu kami dengar Ibu menyebut nama kami masing-masing dengan ujudnya masing-masing. Di doa Ibuku namaku disebut.

Masih jelas dalam ingatan saya, bila bulan Desember tiba, tanda bahwa masa Adven tiba juga. Anak-anak diajak untuk mempersiapkan hati agar pantas menerima kedatangan Yesus pada hari raya Natal. Keluarga kudus Nazaret itulah yang dijadikan oleh cermin besar “kaca benggala” bagi keluarga kami. Ketika saya belajar di Roma tahun 1983, pada awal mas Adven saya tulis surat panjang kepada Bapak dan Ibu, surat yang saya beri judul “Serat-serat ing wiwitaning mangsa Advèn 1983” dalam bahasa ibu.  25 tahun sudah surat itu kutulis, tetapi rasanya tetap bermakna sekarang ini juga. Saya kutipkan di sini sepenggal pengalaman iman yang dibagikan orangtua kepada anak-anaknya. (Pernah penggalan surat tersebut saya pasang di http://pujasumarta.multiply.com/journal/item/27/Si_enthung_bakal_dadi_kupu. Silakan click!)

Surat-surat di awal masa Adven 2003:
Pada waktu itu (1950-an) tidaklah mudah mendapatkan pekerjaan. Masalah itulah yang menyebabkan hati selalu gelisah dan was-was. Bagaimana lagi! Bila matahari mulai terbit di ufuk timur, ketika ayam jago mulai berkokok, tanda hari siang mulai lagi. Padahal hari itu harus makan dan memberi makan kepada anak-anak. Bila mau makan, haruslah bekerja, akan tetapi tidak ada pekerjaan yang bisa diandalkan.
Wekdal semanten (1950-an) boten gampil pados pedamelan. Prekawis punika ingkang murugaken manah tansah miris lan ketir-ketir. Lha kados pundi ta! Yen surya mlethèk ing bang-bang wétan, kalanipun jago sami kluruk, mertandhani siang wiwit malih. Kamangka dinten punika kedah nedha lan nedhani laré-laré. Yèn badhé nedha kedah nyambut damel, nanging boten wonten pedamelan ingkang gumanthok.
Tibalah musim panas penyebab daun-daun kering dan rontok. Bapak sedang berjalan-jalan di kebon, berdoa, meditasi dan kontemplasi.
Mangsa bentèr murugaken ron-ron sami garing lan rontok. Bapak saweg tindak-tindak wonten ing kebon, sembahyang, meditasi lan kontemplasi.

”Lihatlah, nak,
Ulat yang sedang bersembunyi di daun itu.
Meski daun-daun lain kering,
tidak tidaklah daun itu.
Si Ulat tetap saja dapat makan,
Dan sekarang telah menjadi kempompong.
Saatnya akan tiba
Kepompong akan menjadi kupu
terbang ke mana pun.
”Delengen, anggèr,
uler sing ndhelik nang godhong kuwi.
Senajan godhong-godhong liyané garing
nanging godhong kuwi ora.
Si uler tetep bisa mangan,
lan saiki wis dadi enthung.
Arep tekan titi mangsané mengko
si enthung bakal dadi kupu
mabur tekan ngendi-endi.

Bila si Ulat saja begitu besar diperhatikan
oleh Allah,
apalagi kita ini
yang menjadi anak-anak Allah.
Yèn sing uler waé digatèkaké semono gedhéné
déning Gusti,
apa menèh awaké dhéwé
sing dadi putra-putra Dalem iki.

Peristiwa itulah, Nak,
yang menyebabkan aku tetap percaya
dan selalu berharap
pada penyelenggaraan ilahi.
Kuwi, anggèr,
sing marakaké aku tetep percaya
lan tansah duwé pangarep-arep
marang pangrengkuh Dalem Gusti.”

Teringat saya, bila Ibu sedang menggendong adik-adik saya. Kadang diajak melihat-lihat taman, disenandungkan nyanyian, agar hati gembira.
Kula kémutan, yèn Ibu saweg nggéndhong adhi-adhi kula. Sok dipun ajak wonten kebon, dipun menyanyèkaken, supados remen.

Mau kutangkap kupu itu,
Namun terbangnya merepotkan
Ke utara, ke selatan, ke timur, balik ke barat
Ke sana ke mari ke mana pun.
Siapa dapata menangkap?
Baru saja hinggap, lalu terbang lagi.
Kupu kuwi dakincupé
Mung aburé angewuhaké
Ngalor ngidul ngétan bali ngulon
Mrana-mréné mung saparan-paran
Sapa bisa ngincupaké mentas méncok cégrok banjur mabur pleper

Bila demikian yang digendhong ngantuk, lalu tertidur.
Yèn ngaten punika ingkang dipun géndhong ngantuk, lajeng tilem.

”Lihatlah, Nak,
Kepompong akan menjadi kupu
terbang ke mana pun.
Saatnya akan tiba
Kepompong akan menjadi kupu
terbang ke mana pun.
”Delengen, anggèr,
arep tekan titi mangsané mengko
si enthung bakal dadi kupu
mabur tekan ngendi-endi.”

Rasa-rasanya doa Ibu pula yang telah memberi suasana dalam keluarga, tempat pertumbuhan benih-benih panggilan menjadi imam. Tidak salah kalau keluarga disebut sebagai seminari dasar, tempat pertumbuhan benih panggilan iman. Untuk menanggapi panggilan hidup keluarga harus saya tinggalkan. Tahun 1962 setamat dari Sekolah Rakyat (SR) – sekarang disebut Sekolah Dasar – Pangudi Luhur. Rasa hati berat meninggalkan rumah! Bila libur tiba, saya pulang ke rumah! Kebiasaan Ibu berdoa dengan menyebut nama setiap anak masih kudengar juga. Bila hari terakhir liburan tiba, menjelang kembali ke Seminari, selalu saja hati menjadi berat. Pada saat berpamitan itulah saya tidak bisa menahan air mata keluar. Itulah sebabnya Ibu mengatakan saya itu “mata yuyunen” (mother tounge), air mata menggenang di mata! Meskipun berat, hari itu harus saya lewati, meninggalkan keluarga, terbang ke Mertoyudan, masuk Seminari lagi. Saya memantapkan langkah-langkah saya, karena yakin bahwa doa Ibu menyertai saya sampai saat ini pun, ketika saya terbang ke Bandung, untuk melaksanakan tugas perutusan yang dipercayakan oleh Bapa Suci Benediktus XVI kepada saya menjadi uskup.

Kasih keibuan saya rasakan telah membentuk feminitas kasih dalam diri saya. Hati saya mudah terpesona oleh keindahan, yang mengantar saya untuk memahaminya dalam harmoni. Saya senang pada hal-hal sederhana. Dan dalam terang kasih memberi makna pada hal-hal sederhana itu, menghargai yang kecil, maximi facere minima. Saya lebih suka proses pelan yang berkelanjutan, agar terjadi perubahan. Tetesan air memecah batu karang tidak dengan kekerasan, tetapi dengan menetes terus-menerus. Gutta cavat lapidem non vi sed semper cadendo. Bila berada dalam kegelapan, saya lebih suka menyalakan lilin, daripada mengutuk kegelapan itu. In the darkness it’s better to light a candle than to curse the darkness.

Nubuat Yesaya 42:3 “Buluh yang patah terkulai tidak akan diputuskannya, dan sumbu yang pudar nyalanya tidak akan dipadamkannya, tetapi dengan setia ia akan menyatakan hukum.” memberi inspirasi kuat bagi saya untuk memelihara harapan pada mereka yang putus asa, karena saya percaya bahwa Allah adalah dasar pengharapan yang tak tergoyangkan.

Saya merasa lebih nyaman menggunakan cara lembut (suaviter in modo) untuk menangani perkara-perkaran kehidupan. Semoga kasih yang perkasa dari Bapak melengkapi cara lembut itu dengan tetap teguh berpegang kuat pada prinsip-prinsip kehidupan (fortiter in re). Dengan demikian feminitas kasih dilengkapi dengan masculinitas kasih, yang secara terpadu bersumber pada Allah sendiri yang adalah kasih.

Terimakasih kepada Maria, bunda yang berhati lembut, dan beriman perkasa, teladan hidup beriman. Selamat Natal 2008,

Bandung, 15 November 2008
+ J. Pujasumarta
Uskup Keuskupan Bandung
http://pujasumarta.multiply.com/

2 Comments

  1. Tak ada yang dapat melebihi kasih seorang ibu, kecuali … kasih Kristus

    Semoga ibu dan bapak saat ini dalam pelukan kasih Kristus dan belaian Bunda Maria … karena kasihmu pada anak cucu

  2. artikel tentang Kasih Ibu ini betul2 menyentuh.. dan memang begitulah adanya kasih seorang ibu.
    Bravo Romo.

Leave a Reply

Required fields are marked *.