“Ambil semuanya ini dari sini, jangan kamu membuat rumah Bapa-Ku menjadi tempat berjualan.”
Mengenangkan atau merayakan ‘Pesta Pemberkatan Gereja Basilik Lateran’ hari ini pertama-tama perkanankan saya angkat dua pengalaman yang cukup mengesan bagi saya ketika saya bertugas sebagai Ekonom Keuskupan Agung Semarang, sbb:
1). Paroki “X” adalah sebuah paroki di kota kecil, yang mencakup atau meliputi daerah pedesaan yang miskin. Dengan atau melalui relasi tertentu paroki tersebut memperoleh sumbangan cukup besar guna pelayanan pastoral sosial di parokinya. Ada kabar burung atau suara-suara bahwa terjadi penyelewengan dana atau uang yang dilakukan oleh mereka yang terlibat dalam pengelolaan pelayanan sosial ini. Salah satu bentuk pelayanan sosial adalah berupa ‘pinjaman tanpa bunga’ bagi para tukang becak untuk membeli becak (maklum kebanyakan pengemudi becak tidak memiliki becak sendiri, melainkan milik boss tertentu). Pengurus pinjaman pembelian becak ini ada 10 (orang) dan setiap bulan mengadakan pertemuan untuk evaluasi, sedangkan jumlah peminjam adalah 20 orang. Para pemimjam berkewajiban mengangsur pinjaman Rp.25.000,-/ bulan, sementara itu tiap anggota pengurus pinjaman becak memperoleh uang transport rapat Rp.50.000-/hadir. Jika dicermati kiranya jelas sekali bahwa para pengurus pinjaman becak ini ‘makan becak’ alias mencari keuntungan dari keringat atau jerih payah orang miskin, padahal mereka sendiri berkecukupan. Maka dengan rendah hati dan tegas saya bubarkan panitia/pengurus pinjam becak ini. Setelah saya lihat lebih cermat ternyata tidak hanya para pengurus pinjaman becak yang komersial dalam pelayanan pastoral, tetapi juga pengurus dewan paroki, antara lain ‘layat’ ke salah seorang keluarga anggota dewan paroki ke kota lain menggunakan uang paroki untuk perjalanan/sewa kendaraan maupun makan bersama di perjalanan.
2). Paroki “Y” memiliki proyek untuk membangun sebuah kapel di stasi, maka dibentuklah panitia pembangunan kapel. Diusahakan kolekte khusus dan sumbangan sukarela dari umat, yang memang miskin atau tidak kaya, maka jumlah dana/sumbangan uang dari umat kiranya kecil sekali jika dibandingkan dengan kebutuhan beaya pembangunan kapel. Untuk itu panitia berusaha mencari dan mengusahakan dana/sumbangan ke luar daerah. Dalam rangka mencari dan mengusahakan dana tersebut pada umumnya mereka pergi bersama-sama dengan menyewa mobil dan diperjalanan mereka juga makan bersama di warung atau restoran. Yang menarik adalah bahwa beaya sewa mobil dan makan bersama ini diambil dari sumbangan umatnya/kolekte yang terkumpul, dan dari laporan yang ada dapat dilihat bahwa jumlah sumbangan umat sendiri tidak mencukupi untuk sewa mobil dan makan bersama mereka, dan untuk itu mereka minta bantuan paroki. Nah sekali lagi di sini saya melihat bahwa panitia pembangunan kapel tersebut kurang berkorban atau bahkan mencari keuntungan (maklum ketika ke luar kota mereka pada umumnya sambil belanja untuk keperluan pribadi/keluarga) : uang sumbangan umat habis untuk ‘jalan-jalan’ panitia pembangunan kapel. Maka dengan rendah hati dan tegas minta supaya panitia tersebut dibubarkan dan diganti oleh mereka yang rela berkorban.
Dari dua kasus di atas saya melihat masih ada atau cukup banyak orang “membuat Rumah Bapa menjadi tempat berjualan” alias mencari keuntungan atau bersikap mental komersial dalam kegiataan socsal maupun keagamaan
“Ambil semuanya ini dari sini, jangan kamu membuat rumah Bapa-Ku menjadi tempat berjualan.”(Yoh 2:16)
“Rumah Bapa-Ku” untuk masa kini antara lain adalah ‘gereja/kapel, tempat ziarah’ atau tempat suci, yaitu “tempa-tempat yang dikhususkan untuk ibadat ilahi atau pemakaman kaum beriman yang dipersembahkan atau diberkati sesuai dengan buku-buku liturgi yang ditetapkan” (KHK kan 1208). “Dalam tempat suci hanya dapat diizinkan hal-hal yang berguna bagi pelaksanaan atau peningkatan ibadat, kesalehan dan keagamaan, serta dilarang segala sesuatu yang tidak cocok dengan kesucian tempat itu. Namun Ordinaris (Uskup) dapat sesekali memberi izin untuk penggunaan lain, asalkan tidak bertentangan dengan kesucian tempat itu” (KHK kan 1210).
Masih adakah ‘orang-orang yang berjualan di tempat suci’ atau berbisnis di tempat suci, sebagaimana dikisahkan dalam Kabar Gembira hari ini, di daerah atau tempat kita? Mungkin anda masih ingat ‘peristiwa penampakan Bunda Maria, yang didalangi oleh Bapak Thomas dan rekan-rekannya’ di tempat-tempat ziarah Bunda Maria di wilayah Keuskupan Agung Semarang, antara lain di Sendang Sono dan Sendang Sriningsih. Banyak orang dari mana-mana berbondong-bondong datang ke tempat-tempat tersebut ketika mendengar info bahwa akan terjadi penampakan Bunda Maria, yang didalangi oleh Bapak Thomas tersebut. Kami (keuskupan) curiga atas peristiwa ini, namun melarang juga tidak bijak, dan sementara itu kami berpegang pada sabda ini :”Biarkanlah mereka, sebab jika maksud dan perbuatan mereka berasal dari manusia, tentu akan lenyap, tetapi kalau berasal dari Allah, kamu tidak akan dapat melenyapkan orang-orang ini”(Kis 5:38 -39). Kami curiga karena dari info yang kami terima tidak ada sedikitpun dari jumlah uang kolekta yang jumlahnya jutaan itu ditinggalkan untuk kepetingan pemeliharaan tempat ziarah yang bersangkutan, melainkan semuanya mereka ambil dan bawa pergi. Maka sementara itu kami juga berusaha mencari tahu dari berbagai pihak, dan ada kecurigaan jangan-jangan ini merupakan kegiatan ‘para normal’. Dan memang benar, ketika kami mohon bantuan seorang para normal yang baik, yaitu P.Loggman MSC, ternyata penampakan Bunda Maria tersebut merupakan upaya dari sekelompok para normal yang jahat. Dari bantuan para normal baik ini, pada suatu saat berhasiillah usaha kami menggagalkan adanya penampakan Bunda Maria tersebut, dan sejak itu kegiatan Bapak Thomas dan teman-teman ‘mati’. Yang memprihatinkan adalah kami dengar bahwa Bapak Thomas sendiri mati karena bunuh diri, mungkin karena frustrasi.
“Ambil semuanya ini dari sini, jangan kamu membuat rumah Bapa-Ku menjadi tempat berjualan.”, demikian sabda Yesus yang menjadi kenyataan atau terwujud terkait dengan ‘penampakan Bunda Maria’ tersebut. Maka dengan ini kami berharap kepada siapapun: jangan coba-coba mencari keuntungan diri sendiri atau memperkaya diri , dengan mengkomersialkan tempat suci atau ibadat . Sekiranya ada sumbangan, entah dalam bentuk barang atau uang, terkait dengan tempat suci atau ibadat hendaknya dimanfaatkan sesuai dengan ajaran Gereja. Barang atau uang tersebut dengan demikian menjadi harta benda gerejawi, yang memiliki tujuan-tujuan khas, terutama ialah untuk “mengatur ibadat ilahi, memberi sustensi(kehidupan) yang layak kepada klerus serta pelayan-pelayan lain, melaksanakan karya-karya kerasulan suci serta karya amal kasih, terutama terhadap mereka yang berkekurangan” (KHK kan 1254 $ 2).
“Kamu adalah ladang Allah, bangunan Allah. Sesuai dengan kasih karunia Allah, yang dianugerahkan kepadaku, aku sebagai seorang ahli bangunan yang cakap telah meletakkan dasar, dan orang lain membangun terus di atasnya. Tetapi tiap-tiap orang harus memperhatikan, bagaimana ia harus membangun di atasnya. Karena tidak ada seorang pun yang dapat meletakkan dasar lain dari pada dasar yang telah diletakkan, yaitu Yesus Kristus.”(1Kor 3:9b-11)
Yang menjadi ‘rumah/bangunan Allah’ terutama dan pertama-tama adalah manusia, bukan gedung atau tempat, sebagaimana dikatakan oleh Paulus bahwa “Kamu adalah ladang Allah, bangunan Allah”. Sebagai orang yang beriman pada Yesus kita juga disebut sebagai kaum beriman kristiani “ialah mereka yang karena melalui baptis diinkorporasikan pada Kristus, dibentuk menjadi umat Allah, dan karena itu dengan caranya sendiri mengambil bagian dalam tugas imami, kenabian dan rajawi Kristus, dan sesuai dengan kedudukan masing-masing dipanggil untuk menjalankan perutusan yang dipercayakan Allah kepada Gereja untuk dilaksanakan di dunia” (KHK kan 204$ 1)
Sebagai manusia, ciptaaan Allah, masing-masing dari kita adalah ‘kasih karunia Allah’, ‘ladang dan bangunan Allah’, dimana Allah hidup dan berkarya di dalam diri kita yang lemah dan rapuh ini. Sebagai ‘tempat Allah hidup dan berkarya’ kita dipanggil untuk ‘mengambil bagian dalam tugas imami, kenabian dan rajawi Kristus’ sesuai dengan kedudukan, jabatan, tugas pekerjaan dan fungsi kita masing-masing di dunia ini:
1) Tugas imami. Fungsi seorang imam antara lain adalah sebagai penyalur rahmat atau berkat Allah kepada manusia dan doa/dambaan/ kerinduan manusia kepada Allah. Kita semua orang beriman dipanggil untuk menjadi penyalur berkat Allah kepada sesama manusa dan dambaan/kerinduan sesama manusia kepada Allah. Sebagai ‘penyalur’ tentu saja kita senantiasa dirajai atau dikuasai oleh atau hidup bersama dengan Allah dalam situasi apapun, dimanapun dan kapanpun alias dalam keadaan suci, mempersembahkan diri seutuhnya kepada Allah. Ambil bagian dalam tugas imami Yesus Kristus berarti berbudaya seperti Yesus, memiliki cara melihat, cara merasakan, cara berpikir, cara bersikap dan cara bertindak sesuai dengan cara Yesus. Kemanapun kita pergi atau dimanapun kita berada diharapkan seperti Yesus yang “datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan.” (Yoh 10:10). Ambil bagian dalam tugas imami Yesus Kristus juga bagaikan ‘sungai’, “sehingga ke mana saja sungai itu mengalir, segala makhluk hidup yang berkeriapan di sana akan hidup. Ikan-ikan akan menjadi sangat banyak, sebab ke mana saja air itu sampai, air laut di situ menjadi tawar dan ke mana saja sungai itu mengalir, semuanya di sana hidup”(Yeh 47:9)
2) Tugas kenabian. Seorang nabi adalah pembawa suara atau kehendak Allah atau pewarta kebenaran-kebenaran di tengah-tengah hidup bersama yang sering diwarnai oleh aneka macam bentuk kebohongan maupun korupsi dan manipulasi. Maka pada umumnya cara hidup dan cara bertindak seorang nabi ada kemungkinan harus melawan arus serta menghadapi aneka macam tantangan dan hambatan, serta ada kemungkinan ia menjadi korban pembunuhan. Namun seorang nabi juga memiliki keyakinan iman ‘mati satu tumbuh seribu’. Tugas kenabian sebagai orang beriman pada masa kini sungguh mendesak dan up to date untuk dihayati dan disebarluaskan. Keutamaan-keutamaan yang layak untuk dihayati dan disebarluaskan pada masa kini antara lain : “kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri” (Gal 5:22 -23)
3) Tugas rajawi. Seorang raja pada umumnya dihormati, dijunjung tinggi, dipuji dan dikasihi oleh mereka yang dirajai atau dikuasai. Raja di dunia ini pada umumnya menguasai dan menindas, sedangkan tugas rajawi yang harus kita hayati dan sebarluaskan adalah tugas melayani sesama manusia dimana saja dan kapan saja. Pelayan yang baik senantiasa membahagiakan mereka yang dilayani tanpa pandang bulu. Pelayan yang baik pada umumnya kerja keras, cekatan, tanggap, gembira/ceria serta siap sedia menanggapi kebutuhan orang lain. Marilah kita hidup saling melayani dan membahagiakan.
Akhirnya dengan rendah hati kami, atas nama para imam, mohon dukungan dan doa anda sekalian agar kami dalam kelemahan dan kerapuhan serta rahmat Tuhan boleh menjadi imam-imam yang suci sampai mati. Seorang imam berasal dari umat dan harus kembali ke umat dengan melayani umat.
“Allah itu bagi kita tempat perlindungan dan kekuatan, sebagai penolong dalam kesesakan sangat terbukti. Sebab itu kita tidak akan takut, sekalipun bumi berubah, sekalipun gunung-gunung goncang di dalam laut; TUHAN semesta alam menyertai kita, kota benteng kita ialah Allah. Pergilah, pandanglah pekerjaan TUHAN, yang mengadakan pemusnahan di bumi “(Mzm 46:2-3.8-9)