Fiat Voluntas Tua

In Memoriam: Rm A. Karim Arbi SJ

| 2 Comments

Hari ini genap 9 tahun Romo Karim Arbi yang namanya terpampang sebagai pelindung Aula Gereja Santa Perawan Maria Ratu dan juga seorang penggerak CU(Credit Union) di Indonesia, ditembak mati di Timor Lorosae.Untuk mengenangnya Romo Maryono mengirimkan email tentang perkenalannya dengan beliau semasa ditugaskan di saat sulit di Timor Lorosae.

Kirim Amo Karim,

ami temi Ita boot nia naran

iha oração santo sira nian![1]

Amo, ha’u hakarak hakerek estoria ida kona ba Amo. Amo sei hanoin lian Tetum, ka? Nuudar memoria ida atu hanoin Amo, ha’u hakerek barak kona ba esperiensa moris hamutuk ho Amo. Nune’e ho lian Tetum kiik ida ne’e, ha’u hakarak hanoin Amo nebe harii tiha ona fraternidade entre ita. Ha’u ho Amo no mos ho povu sira iha Timor! [2]

Romo, sebenarnya sulit sekali menuliskan kisah kita, kisah persahabatan saya dan Romo. Karena, kita tidak pernah berkata-kata tentang hal itu. Tetapi, biarlah satu alinea kisah ini saya awali dengan bahasa yang pernah melingkupi kehidupan kita sehari-hari. Kita lebih menjalani hidup ini biasa-biasa saja, berjalan dan kita lewati tanpa ada hal yang istimewa. Saya tidak menangkap, bahkan tidak sadar. Tetapi, Romo lebih dulu merasakannya bahwa dalam hal yang tidak istimewa itu ada sesuatu yang bermakna. Banyak hal-hal kecil dan sepele yang terjadi di antara kita.

Saya kenal Romo karena saya bertugas di Dili. Meskipun kita sama-sama Yesuit tetapi saya hanya dengar nama Romo. Saya hanya bisa membayangkan pribadi Romo. Itu pun dengan referensi para romo dari Jerman yang saya kenal. Kira-kira tidak jauh berbeda dari mereka. Orangnya serius, menakutkan, dan tidak suka tertawa. Tetapi, dari cerita saya ini, pandangan orang termasuk juga pandangan saya terhadap Romo menjadi lain.

Sepulang Romo cuti dari tanah leluhur, Romo langsung tinggal di komunitas SJ di Taibisse. Saya ingat apa yang Romo lakukan, yaitu mencari kendaraan untuk keliling dan bekerja di Timor. Honda Win yang dulu sering dipakai oleh Romo Edu dipilih untuk jadi kendaraan Romo. Rasanya sepeda motor itu terlalu kecil. Kasihan, ia harus menanggung beban tubuh yang gendut. Kadang-kadang Romo mengendarai Chevrolet Trooper yang biasa dipakai Romo Ageng. Romo masih ingat ada cerita lucu tentang kendaraan itu? Tiba-tiba dengan wajah merah berkeringat, Romo datang menjumpai saya di seminari dan mengatakan bahwa mobil itu rusak. “Mobil ini tidak bisa mendaki!” kata Romo waktu itu. Lalu saya mencoba mobil itu dan ternyata bisa jalan dengan lancar. Romo masih belum mengerti kenapa mobil itu tidak mau mendaki ketika dikendarai Romo. Mungkin mobil itu marah. Jelas marah! Karena, versnelling-nya keliru masuk. Pada jalan mendaki Romo ingin ganti gear dari 3 ke 2 tetapi rupanya masuk ke gear 4. Mesin mobil cuma menderu tetapi tidak mau jalan cepat. Rupanya peristiwa ini menjadi berkat untuk saya. Romo begitu mempercayai saya dalam urusan mesin dan mobil. Setiap ada keluhan pasti Romo datang menemui saya. Ketika Romo membeli sebuah Kijang berwarna biru, Romo mengajak saya untuk memeriksa dan mencoba pertama kali. Ketika saya mengatakan OK, Romo langsung mengatakan OK kepada dealer dan dibawa pulang. Juga ketika Romo membeli mikrolet untuk melayani para pengungsi di Timor, Romo juga mengajak saya untuk meneliti mobil baru itu. “Biarkan teknisi saya ini memeriksa mobil itu”, demikian kata Romo kepada mekanik yang disediakan oleh dealer. Ternyata banyak hal yang tidak beres dan Romo minta agar segera dibereskan.

Entah dari siapa, waktu itu Romo juga tahu bahwa saya bisa mengurusi komputer. Mungkin Romo Rutten atau orang lain yang cerita pada Romo. Waktu itu Romo bingung antara mau beli komputer di Jawa atau di Dili saja. Saya menyarankan agar Romo membeli di Dili dan saya yang akan memilihkan perangkat-perangkatnya. “Baik, sekarang kita pergi dan kamu yang memilihkan semuanya. Saya percaya kepadamu, nanti saya tinggal bayar.” Wah, celaka! Baru kali ini saya harus mengerjakan hal yang sebenarnya tidak saya ketahui. Dari koran saya tahu merk-merk perangkat yang baik. Itu yang saya pilih. Betapa senangnya Romo karena komputer itu bisa dipakai untuk memutar CD lagu-lagu klasik dan bahkan bisa menonton film. Tetapi sial bagi saya, karena tiap kali Romo menelepon saya dan minta diajari cara mengoperasikan komputer. Rupanya membeli barang yang Romo sendiri tidak bisa menggunakannya. Untunglah sebelum Romo datang, saya juga mengajari hal yang sama kepada Romo Rutten. Romo Rutten selalu mencatat “pelajaran” yang saya berikan tetapi Romo tidak. Romo yakin sekali bahwa dengan membaca sendiri buku pegangan yang berbahasa Inggris itu, Romo akan bisa mengoperasikannya. Ternyata tidak! Romo tidak mengenal “jargon-jargon” dalam dunia komputer. Romo lebih yakin dengan “pelajaran” saya. Tetapi sekali lagi Romo, Romo enggan untuk mencatat. Suatu kali saya ditelepon, “Romo bagaimana ini komputer saya, saya mau menjalankan tetapi semua gambar hilang!” Ya Tuhaaan! Mungkin tangan Romo gemetar saat memegang mouse sehingga tanpa sengaja meng-klik sesuatu yang membuat icon-icon program berlarian. Icon-icon bisa saya temukan tetapi saya bingung ketika Romo minta saya menjelaskan apa masalahnya dan bagaimana penyelesaiannya. Ini ‘kan cuma untung-untungan Romo! Saya bukan ahli di bidang komputer. Kali lain, Romo menelepon saya lagi, “Romo, komputer saya tidak mau hidup. Segera ke rumah, ya!” Saya sendiri bingung karena sulit sekali menemukan penyebab kematian komputer itu karena Uninterupted power supply-nya masih menyala tetapi tidak kuat menjalankan komputer. Ah, Romo ini! Saya mau ketawa menertawakan kebodohan Romo. “Inilah penyebabnya Romo, Romo belum menancapkan steker ke stop kontak dengan baik!” Romo Cuma geleng-geleng kepala. Mungkin Romo juga ingin menertawakan diri Romo sendiri.

Suatu kali Romo datang mengunjungi saya di seminari. “Yon, ada cerita lucu di Liquisa!” sambil senyum Romo mulai cerita. Rupanya Romo baru saja mengunjungi para pengungsi di kota Liquisa yang pergi dari desanya akibat peristiwa kerusuhan di bulan April 1999. Para Milisi dibantu oleh militer Indonesia menembaki pengungsi di Liquisa. Nah, di situ ada cerita lucu. Ada milisi yang lari ketakutkan karena berjumpa dengan Mate klamar (roh orang mati). Ceritanya begini, ada seorang pengungsi yang ditembak oleh milisi dengan senjata rakitan dan langsung rubuh di depan penembaknya. Milisi mengira orang itu mati. Tetapi, rupanya hanya pingsan sebentar dan ketika milisi menengok ke arah lain, pengungsi itu bangkit berdiri. Waktu itu si milisi kembali memperhatikan orang yang dikira mati. Milisi kaget dan membuang bedil rakitannya. Ia lari karena melihat orang sudah mati bangkit lagi. Mate klamar … mate klamar! Sambil tertawa bersama, Romo saya tawari minum.

Waktu itu, Romo sudah memikirkan berdirinya Jesuit Refugee Service di Timor. Saya pernah diajak mengunjungi para pengungsi yang mengalami intimidasi dari kelompok pro-integrasi. Suster Edna FDCC, rekan sekerja Romo, mengajak saya masuk ke lorong-lorong kecil tempat pengungsi bersembunyi. Keberadaan mereka dirahasiakan dan hanya suster dan imam yang boleh mengunjungi. Mereka adalah “pelarian” dari desa-desa mereka sendiri di Turiskai dan Aileu. Dan kebanyakan, meraka adalah para pemuda. Ketika saya mempersembahkan misa Minggu Suci di Foholau (salah satu stasi dari paroki Turiskai), saya hanya bertemu dengan para tua-tua. “Jovem sira halai hotu ba Dili, Amo!”[3], demikian kata seorang umat di Foholau. Kasihan sekali! Ketika perayaan Jalan Salib, orang-orang tua itulah yang memanggul salib besar ke puncak bukit Betulau. Menjadi kebiasaan di sana bahwa salib Yesus diarak dari kapel menuju puncak bukit dan ditancapkan di sana. Bukit itu tidak begitu tinggi. Keta haluha se imi moris todan no nakonu ho triste, hateke ba krus iha foho tutun ida ne’e. Uluk knanain Yesus lori ai-krus ita nia todan”![4] . Para tua-tua itu menggantikan tugas para pemuda yang lari dari desanya karena ancaman. Pemuda-pemuda itulah yang menjadi tanggung jawab Romo dan Sr. Edna. Aku akan diajak setiap kali berkeliling. Tetapi … aduh Romo, saya merasa kesulitan. Saya terbiasa dengan kehidupan di seminari. Segalanya ada dalam perhitungan waktu yang harus tepat. Romo dan suster bekerja tanpa diketahui kapan harus pulang. Romo lebih berorientasi pada persoalan bukan pada waktu. Ketika persoalan muncul, waktu tidak dihitung lagi. Saya sebaliknya! Waktu lebih dihitung meskipun persoalan-persoalan menunggu penanganan. Romo tidak kenal lelah.

Kadang tubuh memang tidak bisa diajak kompromi. Tubuh lelah tetapi Romo tak peduli terhadap suara tubuh yang meminta istirahat. Di suatu malam para suster yang sedang Romo beri retret panik. Seorang suster mendengar suara orang mendengkur. Ketika suster itu keluar dari kamarnya, ia melihat Romo terlentang di teras dan mendengkur. Romo sakit! Ia melihat celana tidur Romo basah. Ia membangunkan suster-suster yang lain dan mencarikan ganti celana panjang. Tetapi… celaka! Ada celana panjang tetapi , ya Allah … itu milik suster! Maaf Romo, cerita ini entah benar, entah tidak. Setelah selesai retret, suster itu menjadi bahan ejekan suster yang lain. Tubuh minta dengan paksa agar Romo untuk istirahat. Romo harus istirahat! Tetapi yang terjadi tidak demikian. Ketika saya menjemput di rumah retret, Romo menolak ketika saya minta agar saya yang menyetir mobil Romo. “Saya bisa!”, demikian jawab Romo.

Romo, semuanya berjalan begitu saja tanpa kita rencanakan. Kedatangan Romo di tempat kerja dan telepon-telepon dari Romo datang tanpa saya perkirakan. Karena, masalah yang kita hadapi juga tidak pernah bisa kita duga. Rasanya Romo mengajari saya untuk lebih menanggapi acara-acara yang dibuat oleh Tuhan sendiri. Kadang memang sulit melepas yang sudah direncanakan dan menanggapi acara yang spontan datang. Kadang kecewa dan ingin marah, tetapi saya diajak untuk melihat bahwa dalam pertemuan-pertemuan yang spontan dan tiba-tiba itu tersimpan suatu berkat. Saya menjadi sadar bahwa bekerja di Timor, ladang yang berat itu perlu suatu keterbukaan menerima segala sesuatu yang tidak seturut dengan keinginan kita. Dan, Romo mengajak melihat dan mengalami penyelenggaraan Tuhan sendiri. Dulu di novisiat, saya diajari agar memiliki disponibilitas. Siap menerima tugas apa saja. Tetapi, tidak pernah diajak untuk melihat “upah” yang dijanjikan. Orang akan lebih senang untuk melaksanakan hal-hal yang disenanginya.

Sebelum saya berangkat ke Timor, Romo Sindhu rekan kita itu, berkata pada saya, “Mar, dulu Presiden Sukarno meringkas semangat yang ada dalam Panca Sila menjadi satu, yaitu Gotong Royong. Dalam serikat kita, semangat-semangat yang yang kita pelajari juga bisa diringkas menjadi satu, yaitu Paseduluran (persaudaraan). Orang akan sengsara dalam serikat ini bila tidak punya saudara meskipun di bidang kerja mencapai kesuksesan besar.” Kata-kata Romo Sindhu menurut saya benar. Bukankah dalam perjumpaan-perjumpaan saya dengan Romo semangat itu yang tumbuh dalam diri kita? Entah Romo ingat atau tidak, ketika suatu kali Romo datang ke Seminari, saya menawari minum. Dan, meskipun saya pendek, saya merangkul pundak Romo. Secara spontan sambil memasuki pintu refter, Romo mengatakan, “Inilah yang disebut persaudaraan.”

Romo, ternyata yang disebut persaudaraan tidak harus dijalani lewat peristiwa-peristiwa hebat dan menonjol tetapi justru lewat hal-hal yang kecil dan sepele. Segelas teh yang Romo minum menjelaskan arti persaudaraan itu dan mengingatkan saya kepada peristiwa sehari-hari yang telah kita jalani bersama. Santo Ignatius mengajari kita bahwa yang namanya cinta terutama terwujud dalam perbuatan. Untunglah dia tidak memberi batasan mengenai jenis dan macam perbuatan itu. Jadi kita bebas! Hal-hal yang terjadi begitu saja di antara kita telah membangun sesuatu yang lebih dalam dan berarti.

Eh, Romo … beberapa kali Romo datang dan minta bensin untuk mengisi mobil Romo. Romo selalu bertanya,”Saya harus membayar berapa?” Sampai saat ini Romo belum pernah membayar. Juga, minyak tanah yang Romo berikan kepada pengungsi. Romo cuma mengambil dari drum-drum di garasi. Juga ketika saya, para romo lain, serta para seminaris hendak berangkat mengungsi karena kerusuhan bulan September 1999, Romo mencari jeriken untuk mengambili bensin dan minyak tanah. Ketika kami berangkat, Romo masih memandang saya dan berkata, “Romo juga mau pergi? Saya membutuhkan bensin. Mana yang bisa saya ambil?” Saya tidak mengira bahwa itu adalah sapaan terakhir. Saya mendengar dari Kupang bahwa Romo tewas ditembak. Entah oleh siapa.

Romo, apakah sekarang Romo sekarang masih membutuhkan bensin dan minyak tanah? Ambillah Romo! Seperti dulu pernah saya katakan pada Romo,”Ini semua adalah pemberian, tidak ada salahnya bila saya berikan juga untuk Romo.” Romo ingat, dalam bahasa Tetum tidak ada terjemahan untuk kata “terimakasih”? Mereka meminjam kata dari bahasa Portugis, obrigado. Apakah mereka tidak tahu terimakasih? Saya rasa tidak! Saya mengalami bahwa setiap kali saya memberi akan dibalas dengan pemberian pula. Tanpa ucapan terimakasih. Terus menerus berjalan seperti itu tanpa ada kata-kata. Namun, ada sesuatu yang menumpuk tanpa dirasakan, yaitu “persaudaraan”. Inilah yang terjadi di antara kita. Cinta lebih terwujud dalam tindakan! Romo, saya gembira dan terkejut ketika nama Romo terderet dalam doa litani bersama para kudus saat tahbisan saudara-saudara kita seserikat di gereja Kotabaru, Yogyakarta. Amo Albrecht Karim Arbi, harohan mai ami![5]– [R. Maryono, SJ]


[1] Romo Karim, kami menyebut namamu dalam doa para kudus.

[2] Romo, saya ingin menulis sebuah kisah tentang Romo. Romo masih ingat bahasa Tetum ‘kan? Sebagai suatu peringatan untuk mengenang Romo, saya menulis banyak tentang pengalaman hidup bersama Romo. Maka, dengan sedikit bahasa Tetum ini saya ingin mengenang Romo yang telah membangun persaudaraan antarkita. Saya dan Romo, dan masyarakat di Timor.

[3] Para pemuda lari semua ke Dili, Romo

[4] Janganlah lupa bila hidup Anda berat dan penuh penderitaan, pandanglah kayu salib di puncak gunung ini. Yesus telah lebih dulu menderita membawa kayu salib penderitaan kita.

[5] Romo Albrecht Karim Arbi, doakanlah kami!

2 Comments

  1. Sebuah tulisan mengenai pengalaman tentang pelayanan dan persaudaraan yang menyentuh. Semoga menjadi inspirasi.

  2. amo Maryono, hau le ita bot nia istoria neé, hamnasa maibe emata ho matan ben. obrigado ba imi hotu nia kontribuisaun iha ami nia rain. ita hatene katak sira mate. ita lalika tan ona atu hatene se mak oho. ita fiar katak sira iha nai nia kadunan

Leave a Reply

Required fields are marked *.