Kita setuju bahwa dalam menyelenggarakan hidup mengGereja yang partisipatif, kita terapkan prinsip Kristokrasi (bahkan Theokrasi) dan Demokrasi. Kita tidak mau mengurangi jati diri kita sebagai pribadi manusia yang 100% dihargai oleh Allah sebagai citra-Nya (imago Dei); dan sekaligus kita tidak mau juga meniadakan Allah yang 100% menentukan habitus umat-Nya. Lalu? Seni “penegasan Roh” (= discernment) adalah jawabannya.
Setelah mengadakan perjamuan malam terakhir, Yesus ditemani Petrus, Yakobus dan Yohanes berdoa di taman Getsemani dalam suasana penuh penderitaan (agony). Dalam Injil Markus bab 14, ayat 36, Yesus berdoa “Ya Abba, ya Bapa, tidak ada yang mustahil bagi-Mu, ambillah cawan ini dari pada-Ku, tetapi janganlah apa yang Aku kehendaki, melainkan apa yang Engkau kehendaki.” Yesus mengalami dilemma > di hadapan penderitaan amatlah masuk akal bila Yesus boleh menghindar, tetapi karena Yesus tidak mau mengutamakan kehendakNya sendiri, melainkan kehendak BapaNya, maka Yesus memilih setia kepada Bapa daripada ngotot berpegang pada kemauanNya sendiri. Inilah contoh spektakular bagaimana Yesus melakukan penegasan Roh (discernment), yang amat syah untuk mendasari prinsip Theokrasi-Demokrasi dalam mengGereja, dan bahkan hidup berbangsa dan bernegara.
Bukankah sangat berbahaya di muka bumi ini, bila kerap kali ada sekumpulan umat beriman berkumpul untuk mendengarkan khotbah dan berdoa lalu keluar dan berteriak-teriak, “Allah Mahabesar! Allah Mahabesar!”, terus bertindak anarkis mengadili, menyerang, menghancurkan…kelompok lain, yang juga mengaku beriman kepada Allah? Demikianlah pula tidakkah berbahaya bila seorang yang dipilih oleh Allah sebagai pemimpin umat dengan sewenang-wenang memperlakukan umatnya benar-benar sebagai “domba-domba” yang tidak manusiawi; atau karena terbiasa dengan mentalitas “yes-men” dalam iklim feodalistik umat pun maunya tunduk-taat-setia kepada sang pemimpin?
Semboyan “Vox populi, vox Dei” – diyakini muncul pada waktu Santo Ambrosius (340-397) diusulkan oleh rakyat menjadi Uskup Milano – tidak bisa diterima begitu saja sebagai dogma > bahwa suara rakyat pastilah mencerminkan suara Allah! Mesti ada konteks tertentu yang mendukungnya. Bila tidak, seperti yang kerap terjadi di masyarakat kita, bahwa sekelompok masyarakat sedang memaksakan kehendaknya, entah melalui demonstrasi, entah dengan melakukan penyerangan atau penutupan tempat-tempat ibadat dari kelompok masyarakat lain, dlsb. Tirani komunal, yang tidak sabar berproses melalui dialog, musyawarah, dengan semangat demokrasi, meskipun mengatas-namakan agama sekalipun, jelas sulit untuk dibenarkan dengan semboyan “Vox populi, vox Dei”. Nah, bagaimana solusi terbaiknya?
# Dalam 1 Tes 5: 19-23, Paulus menegaskan, “Janganlah padamkan Roh, dan janganlah anggap rendah nubuat-nubuat. Ujilah segala sesuatu dan peganglah yang baik. Jauhkanlah dirimu dari segala jenis kejahatan. Semoga Allah damai sejahtera menguduskan kamu seluruhnya dan semoga roh, jiwa dan tubuhmu terpelihara sempurna dengan tak bercacat pada kedatangan Yesus Kristus, Tuhan kita.” Penegasan Roh, adalah suatu seni rohani, yang mengajak kita untuk mencermati “habitus” manusiawi kita, yang dikendalikan oleh Roh, roh, jiwa dan tubuh. Bagaimana gugus kepribadian kita, yang terpilah-pilah dengan kemampuan akal-budi, kehendak, hati, jiwa, kebebasan, rasa, dorongan psiko-motorik, — yang meng-insting pada pewujudan diri pribadi benar-benar cukup dijernihkan oleh kehendak Allah melalui terang rahmatNya, yaitu Roh KudusNya? Doa yang sungguh-sungguh, seperti dialami oleh Yesus di taman Getsemani memberi kesempatan kepada kita untuk memilah-milah mana kehendak Allah dan mana kehendak manusia. Karena itu, siapa saja yang hendak menghayati partisipasi penuh dalam hidup mengGereja, demikian juga dalam hidup berbangsa dan bernegara, perlulah mengembangkan kemampuan membedakan Roh (discernment). Pemimpin atau umat yang kualitatif, salah satu tolok ukurnya ialah dia adalah seorang pendoa (man/women of prayer). Tidak hanya formal berdoa!
Demokratisasi dalam hidup bermasyarakat, tidak terkecuali juga dalam hidup mengGereja yang beraspekkan kemasyarakatan, bagaimanapun perlu dilengkapi dengan aturan main, yang dicantumkan dalam bentuk hukum, konstitusi, pedoman, direktorium, dan sejenisnya. Apakah pewujudan demokrasi mau dilakukan dengan sistem perwakilan atau pemilihan langsung, baik para pemilih maupun yang dipilih haruslah berdasar dan berpegang pada kontrak sosial (ingat Jean Jacques Rousseau -1762). Ada tanggung-jawab (responsibility) bersama timbal balik yang datang dari semua pihak. Karena itu juga ada tanggung-gugat (accountability) bersama yang juga datang dari semua pihak, yang secara periodik dilakukan sampai batas akhir mandat dikembalikan kepada yang memberi dan yang menerima. Demokrasi yang sehat dengan sendirinya memperhatikan adanya kesinambungan mengurus hidup bersama ini, sehingga komunikasi timbal-balik antara yang terpilih dengan konstituen terus menerus ditumbuh-kembangkan. Hukum, konstitusi, pedoman, direktorium atau apapun namanya menjamin proses demokratisasi yang demikian ini.
# Rapat, yang dibedakan antara rapat umum dengan kewibawaan tertinggi untuk mengambil keputusan ataupun rekomendasi, dengan rapat-rapat lain yang adalah wujud eksekutif dari yang pertama, menjadi kepentingan semua pihak. Pesta demokrasi yang menghasilkan kelompok pemimpin, misalnya Pastor Paroki, yang ex officio sebagai Ketua Dewan Paroki, ditambah belasan anggota Dewan Paroki Harian, tidaklah berhenti dengan memberi kesempatan kepada mereka menjadi “politburo”, kasarnya “gang para pemimpin” guna untuk melegitimasikan kehendak yang bisa bersifat pribadi atau komunal manusiawi elit saja. Karena itu, suasana rapat pun perlu dicermati: apakah ada konsistensi antara hukum, pedoman, konstitusi, dan bahkan kehendak Allah yang tertuang dalam Kitab Suci dan Magisterius Gereja Katolik?; apakah doa atau sharing Firman Allah juga mendapatkan tempat?; apakah ada “trasnparansi” konstan dengan sebagian besar umat atau dengan kata lain apakah tetap ada getaran kepekaan yang menembus ke segala segi kehidupan para anggota?; dlsb.
# Yesus mempunyai visi-misi berupa proyek Kerajaan Allah (Mrk 1: 15), yang digenapi baik melalui Sabda maupun perbuatan kasihNya, “Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang.” Kemudian Ia menutup kitab itu, memberikannya kembali kepada pejabat, lalu duduk; dan mata semua orang dalam rumah ibadat itu tertuju kepada-Nya. Lalu Ia memulai mengajar mereka, kata-Nya: “Pada hari ini genaplah nas ini sewaktu kamu mendengarnya.” (Luk 4: 18-21). Setiap Gereja Lokal/Setempat – dengan mengadakan penegasan Roh (discernment) – pastilah berupaya memaknai kehadirannya secara konkret dengan mencari relevansi tugas panggilan dan perutusannya di lingkungan setempat maupun lebih luas yang bersifat universal, yakni berupaya menjawab tanda-tanda zaman sebagaimana terungkap pada kebutuhan masyarakat dan lingkungan setempat.
# Satu hal lagi yang tidak boleh dilupakan dalam Penegasan Roh atau discernment, yakni mewasdai dan sekaligus menolak segala pekerjaan dan godaan setan. Sebelum menerima Sakramen Baptis, kita menyatakan “penolakan” terhadap: (1) kejahatan di dalam diri sendiri dan dalam masyarakat; (2) setan dalam bentuk takhyul, perjudian, dan hiburang yang tidak sehat; (3) segala tindakan dan kebiasaan yang tidak adil atau tidak jujur, dan yang melanggar hak-hak asasi manusia; (4) setan sumber segala dosa dan pengusaan kegelapan (lih. Puji Syukur no. 97, hal. 107). Petrus dalam suratnya mengingatkan kita, “Sadarlah dan berjaga-jagalah! Lawanmu, si Iblis, berjalan keliling sama seperti singa yang mengaum-aum dan mencari orang yang dapat ditelannya. Lawanlah dia dengan iman yang teguh…” (1 Ptr 5: 8-9). Dan Yesus pun mengajar kita berdoa, “…janganlah membawa kami ke dalam pencobaan, tetapi lepaskanlah kami dari pada yang jahat.” (Mat 6: 13).
Penegasan Roh atau discernment sungguh merupakan kegiatan mendasar di dalam mengGereja kita. Lebih lagi Gereja kita yang kita percayai sebagai satu, kudus, katolik dan apostolik. Memasukkan pendekatan manajerial, sistem organisasi sekular, dlsb. tidak harus melepaskan gerak-langkah Roh Kudus yang adalah Rahmat Ilahi yang menjiwai, menguduskan, menyehatkan, menyempurnakan, melengkapi, membimbing…..realitas manusiawi Gereja kita ini. Dan di bawah bimbingan dan pengarahan Gembala setempat, yaitu Uskup, Theokrasi-Demokrasi Terpimpin mendapatkan locus-theologicus, yakni dalam setiap sini-kini kelompok kaum beriman, yang berhimpun dalam Paroki, gerakan rohani, organisasi ataupun kelompok-kelompok kategorial mewujud-nyatakan kehendak Allah demi untuk keselamatan semakin banyak orang dan nama Allah ditinggikan.
December 1, 2009 at 10:04 am
Selamat siang Romo H Wardjito
Apa khabar Romo, sekarang tinggalnya dimana
April 9, 2010 at 10:08 pm
halo romo apa kbr?sdh tidur?kami br baca tulisan/gagasan rm ttg Penegasan ROH dlm BerDEMOKRASI;THEOKRASI!?
syalom pjs.